Perlindungan Satwa

Pemerintah Tiongkok Akhirnya Larang Trenggiling Jadi Bahan Baku Obat Tradisional

Bertahun-tahun aktivis penyayang binatang mendesak pemerintah Cina merevisi daftar resmi hewan yang diizinkan jadi obat. Pandemi Corona mengubah sikap kaku tersebut.
Koh Ewe
oleh Koh Ewe
SG
Trenggiling Tak Boleh lagi Jadi bahan obat tradisional di Tiongkok Cina
Seekor trenggiling di kebun binatang Taipei. Foto oleh Sam Yeh/AFP 

Selama bertahun-tahun, aktivis penyayang binatang di Tiongkok maupun dari berbagai negara lain gigih mendesak Cina merevisi daftar hewan yang diperbolehkan jadi bahan baku obat tradisional (TCM). Sedikit kemenangan hadir, setelah Tiongkok resmi menghapus trenggiling (atau 'tenggiling' kalau menurut KBBI) dari daftar tersebut. Sayangnya, perubahan sikap ini bukan karena desakan aktivis, melainkan akibat kajian ilmiah yang mengaitkan penyebaran pandemi corona lewat trenggiling.

Iklan

Selama berabad-abad, penduduk Tiongkok terbiasa mengonsumsi sisik trenggiling dengan dalih obat tradisional untuk mengobati penyakit kulit, persendian, serta rematik. Di era modern, otoritas Beijing lah yang mengatur hewan apa saja dibolehkan menjadi bahan baku obat tradisional semacam itu. Berdasarkan laporan Global Times, tabloid online yang didanai pemerintah Tiongkok, trenggiling kini tak lagi masuk kriteria diizinkan jadi bahan baku obat.

Akibat keyakinan trenggiling bisa menjadi obat kulit, perdagangan liar satwa ini di pasar internasional terus meningkat dari tahun ke tahun. Hewan endemik di Benua Asia dan Afrika itu statusnya kini dilindungi, akibat populasinya di alam bebas berkurang drastis, mayoritas pemburu liar menyelundupkannya ke Tiongkok.

Perubahan sikap otoritas Tiongkok didasari kajian ilmiah peneliti pada Februari lalu, yang mengaitkan trenggiling sebagai salah satu terduga hewan penyebar Covid-19, selain kelelawar, hingga akhirnya menular ke manusia. Patut digarisbawahi, komunitas ilmiah belum semuanya sepakat kalau trenggiling termasuk pembawa endemik corona.

Setidaknya pandemi yang meluluhlantakkan ekonomi global tahun ini membuat Beijing mengubah kebijakan. Badan Kehutanan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang bertanggung jawab menyusun daftar hewan layak jadi bahan baku obat tradisional, menyatakan per 3 Juni 2020, trenggiling sepenuhnya tak boleh diperjualbelikan, karena statusnya naik jadi hewan dilindungi tingkat 1. Tindakan mengimpor atau jual beli trenggiling otomatis diancam pidana lebih berat. Hewan yang sangat dilindungi macam itu di Tiongkok tak banyak, misalnya Panda, harimau tiongkok selatan, serta monyet emas.

Iklan

Apapun pemicunya, Petinggi World Wildlife Fund’ Margaret Kinnaird menyambut gembira kebijakan Tiongkok tersebut. "Ini adalah capaian bersejarah," ujarnya. Sebetulnya, Tiongkok sudah melarang impor trenggiling sejak 2018. Tapi karena status mamalia bersisik ini "cuma" dilindungi tingkat 2, tak ada hukuman yang keras bagi para pelakunya di Tiongkok. Serta, ada banyak pedagang obat yang menemukan celah hukum di masa lalu, untuk tetap diizinkan mendatangkan trenggiling dari luar negeri.

Merujuk data Februari, diperkirakan ada 900 ribu trenggiling telah diperjualbelikan secara ilegal di seluruh dunia sejak tahun 2000. Angkanya terus meningkat. Bahkan sepanjang 2019 saja, ditengarai 195 ribu trenggiling menjadi korban pemburu liar.

Suwanna Gauntlett, pendiri organisasi perlindungan satwa Wildlife Alliance, menyatakan perubahan sikap Tiongkok patut diparesiasi. Meski demikian, bukan berarti upaya melindungi populasi trenggiling jadi lebih mudah. Sebab, pekerjaan rumah yang kini harus dibuktikan Tiongkok adalah kesungguhan menghukum orang di negara mereka yang masih coba-coba menjual trenggiling.

"Sebab, sekadar menghapus trenggiling dari daftar resmi bahan obat tradisional belum akan mengubah keadaan," ujarnya saat dihubungi VICE.

Persoalan lain adalah soal keyakinan warga awam di Tiongkok, kalau sisik trenggiling berkhasiat. Agak sulit meyakinkan orang untuk mengubah keyakinan, sekalipun sudah muncul kajian ilmiah yang menegaskan sisik itu tidak punya efek medis apapun. Sisik trenggiling terbuat dari keratin, tidak jauh beda dari rambut dan kuku manusia.

Aktivis masih berharap revisi daftar TCM bisa mengubah keadaan. Sebab, selama ini industri obat tradisional di Cina sangat patuh pada rekomendasi TCM.

"Tentu untuk sampai pada perlindungan sepenuhnya terhadap trenggiling makan waktu panjang. Bukan cuma Tiongkok yang bertanggung jawab menghentikan konsumsi trenggiling. Pemerintah dan otoritas dari negara lain juga harus punya komitmen serupa," kata Gauntlett. "Sebab, jalan trenggiling menjadi obat cukup berliku. Diambil paksa dari habitat alaminya, dikirim melewati batas-batas beberapa negara, sampai akhirnya dikonsumsi karena keyakinan manusia akan khasiat medisnya."

Follow Koyu di Instagram.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.