Pandemi Corona

Di Tengah Pandemi, IDI dan Pemerintah Adu Data Korban Meninggal karena Corona

Harus banget berantemnya sekarang? Korban meninggal versi IDI dua kali lebih banyak dari data pemerintah. Kini pemerintah dituntut transparan buka data nasional ODP dan PDP.
Data Korban Meninggal Virus Corona Covid-19 indonesia versi IDI dan pemerintah
Petugas TPU Tegal Alur mengubur jasad pasien positif Covid-19 dengan memakai baju hazmat. Foto oleh Muhammad Ishomuddin/VICE

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengatakan jumlah kematian corona versi pemerintah jauh lebih kecil dari laporan yang dikumpulkan pihaknya. Ketua Umum IDI Daeng M. Faqih bilang, dari catatan rumah sakit, ada seribu lebih kematian pasien corona per Sabtu (18/4). Selisih angka ini terjadi karena rumah sakit memasukkan angka kematian pasien dalam pengawasan (PDP) sebagai kematian akibat wabah corona.

"Saya melihat langsung data itu dari Pusat Pengendalian Operasi BNPB yang itu langsung laporan dari rumah sakit seluruh Indonesia. Data itu bukan hanya yang dinyatakan hasil PCR-nya positif. Tapi, data kematian yang status PDP itu masuk di situ," kata Daeng dilansir Kumparan. "Jadi, semua data kematian yang pasien itu dirawat dengan tata laksana Covid-19, baik itu yang sudah dinyatakan positif PCR, maupun yang masih dalam status PDP yang belum diperiksa PCR-nya, itu seribu lebih datanya,”

Iklan

Daeng menambahkan, perhitungan model begini harus digunakan mengingat ada kasus di mana korban meninggal bukan karena corona, namun beberapa saat kemudian hasil tes PCR menunjukkan positif corona. "Ini menunjukkan kecepatan pemeriksaan kita masih kurang. Sehingga kawan-kawan yang sudah keduluan meninggal dengan status PDP itu banyak juga [yang positif]," tambah Daeng.

Poin PDP yang dimasukkan dalam data korban meninggal dianggap Daeng sebagai salah satu biang keladi perbedaan data kematian pasien antara pemerintah daerah/provinsi dengan pemerintah pusat.

Mendengar ini, pemerintah pusat sebagai penguasa data paling akurat merasa punya pesaing. Pemerintah lantas mempertanyakan validitas sumber data IDI. Namun, pemerintah tidak mengelak dengan menegaskan angka resmi pemerintah terkait korban hanyalah mereka yang terkonfirmasi positif dari laboratorium, tidak termasuk PDP atau ODP.

"Dia [IDI] dapat data dari mana? Kalau data dari saya kan jumlah konfirmasi positif, apakah semua orang yang meninggal harus Covid? Kalau enggak Covid enggak boleh meninggal? Enggak, kalau di saya itu data yang konfirmasi Covid saja," kata Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 dr. Achmad Yurianto kepada Detik. "Kalau data yang bukan Covid juga ada datanya, tapi yang saya umumkan cuma data Covid."

Melihat perdebatan data macam ini, anggota Komisi IX DPR Kurniasih Mufidayati meminta pemerintah membuka data secara transparan agar masyarakat bisa percaya. Kalau masing-masing pihak simpan data dan masing-masing saling merasa benar, yang rugi tetap masyarakat.

Iklan

"Kita minta ada sinkronisasi data yang valid dan adanya transparansi dalam data. Supaya apa? Supaya kita bisa evaluasi secara sungguh-sungguh dan masyarakat awareness-nya juga lebih tinggi,” kata Mufidayati kepada CNN Indonesia. Secara pribadi Mufidayati menduga angka kematian akibat corona emang lebih banyak dari pengumuman pemerintah.

Doi mengaku melihat sendiri jumlah pemakaman sesuai prosedur standar Covid-19 di TPU Pondok Rangon, Jakarta Timur melebihi jumlah kematian yang dicatat pemerintah. "Sudah melebihi angka yang diumumkan. Kita enggak mungkin menutup mata bahwa ada jenazah-jenazah yang diproses pemakamannya dengan SOP Covid."

Soal transparansi ini enggak permintaan DPR saja, tapi juga semua lapisan masyarakat. Mulai dari kepala daerah, pemuka agama, organisasi profesi, sampai kelompok pemerhati hak asasi manusia. Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia dr. Aman Bhakti Pulungan mengatakan dalam wawancaranya kepada Narasi Newsroom bahwa transparansi data pasien berpengaruh besar untuk keselamatan tenaga medis di garda terdepan.

Sejak awal pandemi, pemerintah menolak terbuka. Pada 13 Maret lalu, Presiden Jokowi membuat pengakuan yang mengesalkan. Ia menyebut sejak awal pemerintah sengaja tidak membuka data persebaran wabah karena "berhitung mengenai kepanikan dan keresahan di masyarakat." Sebulan kemudian, dalam rapat terbatas dengan Gugus Tugas Penanganan Covid-19, baru Jokowi meminta agar data dibuka.

"Sehingga informasi itu semuanya ada, baik mengenai jumlah PDP di setiap daerah, jumlah yang positif, jumlah yang meninggal jumlah yang sembuh, semuanya menjadi jelas dan terdata dengan baik. Harusnya ini setiap hari bisa di -update dan lebih tepat," ujar Presiden, dilansir Detik.

Melihat kinerja pemerintah yang terus memonopoli informasi, kita bisa maklum mengapa IDI resah dan memutuskan bikin pengumuman sendiri.