Memoar Satu Dekade Siklus ‘Roekmana’s Repertoire’ Menghantui Pendengarnya konser tigapagi
Suasana "Konser 10 Tahun Roekmana's Repertoire" di Gedung De Majestic, Kota Bandung. Semua foto oleh Muhammad Ishomuddin untuk VICE.
Konser Musik

Memoar Satu Dekade Siklus ‘Roekmana’s Repertoire’ Menghantui Pendengarnya

VICE menghadiri konser 10 tahun album “Roekmana’s Repertoire” yang menandai kembalinya grup experimental folk asal Bandung, Tigapagi, setelah empat tahun hiatus.

Hampir jam 7 malam. Sesosok siluman berkepala tiga beserta makhluk sebangsanya menggentayangi wisatawan dan sederet penonton yang menunggu dibukanya pintu gedung pertunjukan De Majestic di Braga, Bandung. Gedung buatan tahun 1920-an tersebut dulunya bioskop Concordia. Malam itu ia akan jadi saksi kembali bangkitnya unit ensemble akustik Tigapagi.

Iklan

Soal hantu yang gentayangan, well, mereka cosplayer yang mencari nafkah di jalanan Braga. Atraksi ini sedang marak di kota-kota wisata.

Tangan seorang penonton tampak gugup membolak-balik tanda masuk berwujud digipack CD yang dijual terbatas. Rilisan dibanderol Rp200 ribu itu ludes tak sampai dua menit usai dipajang di situs dagang demajors, 25 September lalu. CD tersebut cetak ulang khusus untuk memperingati 10 tahun album Roekmana’s Repertoire, magnum opus Tigapagi yang masuk jajaran album terbaik Indonesia 2009-2019 pilihan VICE.

Format fisik pertamanya dirilis label Helat Tubruk pada 30 September 2013, sengaja bertepatan dengan peringatan Tragedi ‘65. Kala itu harganya Rp35 ribu.

Konser “Roekmana’s Repertoire” malam ini menandai bangkitnya Tigapagi setelah empat tahun hiatus. Tigapagi terbentuk di Bandung pada 2006 dengan formasi trio, terdiri dari Sigit Agung Pramudita, Prima Dian Febrianto, dan Eko Sakti Oktavianto.

Iklan
Memoar Satu Dekade Siklus ‘Roekmana’s Repertoire’ Menghantui Pendengarnya konser tigapagi

Antrean penonton showcase Tigapagi mengular menunggu pintu gedung De Majestic dibuka.

Malam ini formasinya menggemuk menjadi lima sekawan. Sigit (gitar, vokal), Prima (gitar), Achmad Kurnia (cello), Aisyah Sekaranggi Andjani (vokal, synth), dan Indra Kusharnandar (keyboard, synth, piano), dibantu sejumlah kolaborator untuk mengisi vokal dan instrumen di beberapa lagu.

Mereka akan membawakan 14 lagu dalam bahasa Indonesia, Inggris, dan Anglo-Saxon. Diuntai menyambung tanpa jeda dan disusun dalam pembabakan pagi, sore, sampai dini hari, menyerupai siklus hari. “Untuk pertama kalinya” Tigapagi akan membawakan album Roekmana’s Repertoire secara utuh dan kolosal.

Tak lama kemudian penonton dipersilakan masuk. Tampak panggung yang seluruh sudutnya dibalut kain merah seperti sampul CD albumnya—hasil intuisi Wisesa Weninggalih dan gambar gerak yang dikerjakan Muhammad Akbar ini akan menstimulasi penonton menghayati isi pemikiran sang tokoh sentral, Roekmana. Figur perempuan usia senja yang gelisah menafsirkan hikayat hidupnya, dengan latar suasana Tragedi ‘65.

Iklan
Memoar Satu Dekade Siklus ‘Roekmana’s Repertoire’ Menghantui Pendengarnya konser tigapagi

Poster resmi showcase "Konser 10 Tahun Roekmana’s Repertoire" tertempel di samping pintu masuk gedung De Majestic.

Konser dimulai pukul 8 malam, dibuka dengan “Alang-alang”. Di layar terpampang sosok perempuan membuka tirai jendela untuk menyambut mentari. Track pertama Roekmana’s Repertoire pada versi aslinya dinyanyikan Ade Paloh (SORE), namun kali ini posisinya digantikan solois Bilal Indrajaya, salah satu kolaborator. “Cuma pilu!/ Cuma pilu!’// Anakku hilang tak kembali// Anakku yang hilang, tak kembali//” Sepenggal lirik dari lagu pembuka mendayu sekaligus muram.

“Alang-alang” dijahit tanpa jeda dengan “Erika”. Lantunan Ida Ayu Made Paramita Sarasvati dari Nadafiksi langsung merasuk, membuat bergidik, dipadu dengan ritme pentatonik dan instrumen biola yang menghanyutkan. 

Nada diatonik dengan notasi damina begitu khas terdengar di lagu “S(m)unda”. “Satu per satu/ hilang/ dari hidupku/ seiring waktu// Satu per satu/ tiada lagi/ beranjak pasti/ menghantuiku//”. Dinyanyikan Sigit dan Sekar, lagu ini menceritakan kegundahan Roekmana yang kehilangan sesuatu di tanah kelahirannya. Penonton makin termenung saat masuk ke “Yes We Were Lost in Our Hometown” yang diiringi lengkingan suling.

Iklan

Akapela berkumandang bersamaan gambar pohon kering tak berdaun, tampak uzur, sebagai petunjuk datangnya lagu “Batu Tua”. Menuntun untuk mengilhami arti kerelaan. “Hei Batu Tua/ jangan pernah mengukir/ mimpi menjadi/ seindah/ seelok permata//”. Kesedihan ini masih berlanjut menghantui di lagu “Sorrow Haunts”, terpacak diam, berlinang merambai air mata.

Lampu panggung beralih hanya menyorot pemain cello, gitar, dan piano, tanda sudah tibanya entitas magis bertajuk “Heufken” yang kemudian disambut intro “Tangan Hampa Kaki Telanjang”. Sontak merinding di sekujur badan menyahut. Secarik syair yang termaktub, “Namun tertolong asa/ rasa mati//”. Secara personal, saya sepakat dengan paradoks “rasa mati”, rasa yang selalu “membantu” untuk menghadapi bahtera hidup ini. “Mungkin hancur ragaku/ namun tanpa buta hati//”.

Memoar Satu Dekade Siklus ‘Roekmana’s Repertoire’ Menghantui Pendengarnya konser tigapagi

Rendi Muhammad Jamhur mengiringi lagu "The Way" dengan instrumen bass.

Penonton diberi jeda sejenak untuk mencerna apa yang baru saja mereka dapatkan dari setengah kisah Roekmana. Personel Tigapagi bergilir mengosongkan panggung. Tiba-tiba sayup terdengar intro panjang dari “Sembojan (Sebuah Entitas Pendek)”. Secara mengejutkan layar panggung memunculkan gambar kepala Delpi Suhariyanto, disusul Ildo Hasman, lalu Giovani Rahmadeva, Rizal Taufik, Tesla Manaf, Angkuy Suherman, Basboi, Hasief Ardiasyah, dan Ade Paloh. Para musisi dan pengamat musik ini bercerita awal perkenalan mereka dengan album Roekmana’s Repertoire, ditutup dengan pernyataan David Tarigan, “Tidak harus memahami narasi tahun ‘65 untuk bisa menikmati album ini.”

Iklan

Hiruk pikuk absurditas hajat hidup di negeri ini ditampilkan dalam layar, salah satunya video mukbang, sebagai latar audio lagu “Sembojan (bagian pertama)”. Selanjutnya, lanskap sawah, gunung, dan portrait masyarakat Indonesia mengisi “Sembojan (bagian kedua)”. Lalu jeda singkat sebelum dimulainya lagi untaian separuh akhir kisah Roekmana. Dari sisi kiri panggung sudah berdiri Monica Hapsari yang akan menyanyikan “Pasir”, menggantikan vokal versi asli dari Cholil Mahmud (ERK). Lagu ini bagi saya memiliki syair paling puitis yang pernah diramu Sigit.

Danilla Riyadi meneruskan estafet dari Monica dengan berdiri di sisi kanan panggung, bersiap membawakan “Vertebrate Song (The Maslow)” dengan latar visual cerobong pabrik yang tak hentinya mengepulkan asap. Sebuah representasi tentang naluri hewani manusia yang rakus dan merusak. Lagu selanjutnya, “Happy Birthday”, masih dinyanyikan Danilla dengan sempurna. Setelah itu giliran Rendi Muhamad Jamhur memasuki panggung untuk mengiringi lini bass, membawakan lagu “The Way”, berkisah tentang upaya membunuh kekosongan yang ada di antara awal dan akhir kehidupan.

Iklan
Memoar Satu Dekade Siklus ‘Roekmana’s Repertoire’ Menghantui Pendengarnya konser tigapagi

Danilla Riyadi membawakan lagu "Vertebrate Song (The Maslow)".

Penyair sekaligus pelukis Kidung Paramadita meneruskan ke “De Rode Slaapkamer”. Versi asli lagu ini berupa potongan-potongan pidato Soeharto yang diutak-atik menjadi susunan bait baru. Kidung secara apik menukar baitnya dengan larik puisi gubahannya. “Engkau yang sedang mendengarkan ini/ Engkau pengampun?/ Engkau pengampun?// Matilah segala hasrat memiliki!// Musnahlah segala ingar!//” menggema diiringi instrumen yang terasa kelabu.

“Tertidur (þū Scēawast Mec on Slæpa)” menjadi babak penutup di mana Roekmana dan kisahnya bermuara, diantarkan oleh Ajie Gergaji (The Milo). “Ku/ tertidur/ sendiri/ lagi// Namun kini/ mungkin abadi//”. Outro panjang seraya berpamitan, menjauh, begitu langsam, sampai akhirnya benar-benar hening senyap. Semua terhenyak beberapa detik, mencerna apa yang baru saja terjadi, barulah penonton serentak berdiri dan tepuk tangan pecah bersahutan.

Penampilan yang intens dan membius. Saya mengalami untuk pertama kalinya hanyut seutuhnya ke dalam kisah Roekmana. Tigapagi berhasil melunasi kerinduan yang mengendap empat tahun lamanya, dibayar dengan waktu nisbi singkat: 1 jam lebih 23 menit. 

Konsep album pertama Tigapagi ini digarap selama lima tahun (2008-2013). Dalam proses ini mereka bertemu sang mentor, Agus Roekmana, gitaris yang mendedikasikan hidupnya untuk musik Sunda. Nama Roekmana dipilih namun dengan membangun ulang figur penokohannya.

“Roekmana’s Repertoire” tidak tersedia di layanan streaming musik mana pun. Pasalnya dalam format rilisan aslinya, CD, ke-14 lagu menyambung jadi satu track panjang. Tigapagi mengindahkan marwah sebuah album untuk diresapi dari lagu pertama sampai akhir, tanpa diacak.

Memoar Satu Dekade Siklus ‘Roekmana’s Repertoire’ Menghantui Pendengarnya konser tigapagi

Dari kiri ke kanan: Indra Kusharnanda, Achmad Kurnia, Aisyah Sekaranggi Andjani, Prima Dian Febrianto, dan Sigit Agung Pramudita sedang melangsungkan sesi legalisir dan swafoto bersama penonton seusai pentas.

Memoar Satu Dekade Siklus ‘Roekmana’s Repertoire’ Menghantui Pendengarnya konser tigapagi

Salah satu penonton memamerkan CD "Roekmana’s Repertoire" cetakan 2013 dan 2023 yang sudah dilegalisir semua personil Tigapagi.

“Tidak menutup kemungkinan akan melakukan kolaborasi bersama seniman lainnya pada album ke-2 nanti,” kata Sigit saat konferensi pers sebelum konser.

Legasi mahakarya berusia satu dekade ini begitu terasa. Indah getirnya termaktub dalam liriknya sendiri secara sempurna. “Happy birthday and happy anniversary to you/ but don’t be too happy/ ‘cause you will see your face of death// Yeah you will see your face of death// Happy obituary day//“.