Penampakan puncak gunung bersalju yang terhalang bendera compang-camping
Semua foto oleh Joe Abi Rizk
Travel

Menemukan Kedamaian di Tengah Kerasnya Menaklukkan Gunung Tertinggi di Dunia

Rasa lelah langsung terbayar oleh pesona keindahan alam dari atas Gunung Everest.

Lebih dari empat tahun lalu, saya nekat bertualang menyusuri salah satu lokasi paling ekstrem di muka Bumi. Ya, tempat yang dimaksud adalah base camp Gunung Everest di Nepal, yang menarik ribuan pendaki setiap tahun.

Dua minggu penuh saya habiskan menapaki curamnya lereng gunung sambil menggendong ransel seberat 20 kilo. Setiap harinya, pendakian memerlukan waktu berjam-jam sampai saya menemukan tempat istirahat. Kedengarannya mungkin seperti menyiksa diri, tapi bagi saya itu pengalaman paling mengesankan sepanjang hidupku.

Iklan

Gunung Everest menyandang predikat puncak tertinggi di dunia dengan total ketinggian mencapai 8.849 meter di atas permukaan laut, meski statusnya kerap diperdebatkan karena adanya perbedaan pemahaman istilah “tertinggi”. Jika kita mendefinisikannya sebagai titik terjauh dari pusat bumi, gelar gunung tertinggi lebih pantas diberikan kepada Gunung Chimborazo di Andes Ekuador. Kalau kita melihat dari jarak puncak gunung hingga ke dasarnya, maka gunung berapi Mauna Kea di Hawaii lebih cocok disebut gunung tertinggi, mengingat sebagian besar gunung terendam di dasar laut.

Foto hitam putih gunung yang menjulang tinggi

Ama Dablam, 6.812 meter.

Namun, semua pengertian itu tidak mengurangi fakta Gunung Everest benar-benar tinggi. Butuh kurang lebih satu minggu untuk sampai di Base Camp dengan berjalan kaki dari bandara terdekat. Perjalanannya pasti sangat sulit, tapi saya tidak mau melewatkan kesempatan. Saya harus bisa mewujudkan impian ini sebelum usia menginjak 30-an.

Saya menikmati eloknya pemandangan alam Himalaya dan Lembah Khumbu di sepanjang perjalanan. Saya bisa merasakan betapa sakral daerah tersebut bagi umat Buddha. Hati terasa lebih damai dan enteng di setiap langkahku mengarungi terjalnya medan pendakian. Saya optimis mampu melewati semua rintangan dengan mudah.

Balita makan jagung

Bocah melahap jagung dengan nikmat di Phakding.

Tentu saja, saya kelewat pede. Perjalanan di hari-hari selanjutnya tidak segampang hari pertama. Sebuah perjuangan luar biasa untuk menaklukkan rute Namche Bazar di distrik Khumbu yang panjang nan curam.

Iklan

Hari ke hari terasa semakin sulit seiring bertambah tingginya posisi kami. Saya harus bangun pagi-pagi sekali untuk melakukan peregangan dan makan sebelum mulai mendaki. Kami terus berjalan dan baru berhenti setelah perut terasa lapar. Kami lalu berjalan lagi sampai tiba waktunya istirahat. Saat tidur pun tidak nyenyak karena kekurangan oksigen. Mulut harus mangap supaya bisa tetap bernapas. (Menurunnya tekanan atmosfer berarti kadar oksigen ikut berkurang.)

Musim pendakian utamanya terjadi selama musim semi dan musim gugur, saat tidak ada hujan turun. Saya mulai mendaki bulan September ketika cuacanya masih bagus — sekitar 10°C pada siang hari dan 0°C pada malam hari. Akan tetapi, suhu mencapai titik terendah -15°C setibanya kami di kamp Gorak Shep, yang berada di ketinggian 5.150 meter di atas permukaan laut.

Lelaki mengenakan jubah biksu oranye berdiri di depan gorden putih

Biksu yang saya temui di distrik Durbar, Kathmandu.

Saya dan teman-teman pendaki berhasil mencapai Base Camp (5.364 meter di atas permukaan laut) setelah berjalan sejauh 65 kilometer selama sembilan hari. Momen itu takkan pernah terlupakan dari ingatanku. Angin bertiup kencang dan mentari memancarkan sinarnya dari balik awan. Udara yang tipis membuat setiap langkah kami terasa sudah berjalan 50 kali.

Bohong kalau saya bilang badan tidak remuk. Namun, rasa lelah langsung terbayar oleh pesona keindahan alam yang tiada habisnya.

Berikut foto-foto yang berhasil diabadikan selama mendaki Gunung Everest:

Penampakan desa dari atas

Namche Bazar (3.440 M), pintu gerbang menuju Gunung Everest.

Jalan sempit berbatu

Rute pendakian yang terjal dari desa Phakding menuju Namche Bazar.

Empat orang memeras pakaian yang sedang dicuci

Saya dan teman-teman pendaki mencuci baju di Namche Bazar.

Penampakan puncak gunung bersalju yang terhalang bendera compang-camping

Ama Dablam, Nepal.

Jembatan panjang sempit

Jembatan terakhir menuju Namche Bazar.

Foto hitam putih puncak gunung yang diselimuti salju

Pegunungan Himalaya yang membentang di antara Namche Bazar dan Tengboche.

Tanjakan curam di lereng gunung

Lereng gunung curam menuju kamp Tengboche.

Follow Joe Abi Rizk di Instagram.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Arabia.