Korupsi

Tersangka Korupsi di Riau Terbukti Berpura-pura Gila Saat Diperiksa RSJ

Mantan Camat Kampar Kiri Hilir yang menggelapkan dana bantuan itu langsung dijebloskan ke penjara oleh kejaksaan, karena kondisi kejiwannya baik-baik saja.
Mantan Camat Kampar Kiri Hilir Riau Pura-Pura Gila Saat Jadi Tersangka Korupsi Dana Bantuan Keuangan
Foto ilustrasi penderita gangguan kejiwaan via Getty Images

Metode pura-pura gila tampaknya mulai menjadi pesaing dalih hilang ingatan yang diajukan tersangka korupsi. Dalam kasus hukum yang unik di Kabupaten Tampan, Provinsi Riau, seorang bekas camat mengaku mengalami gangguan jiwa, sehingga tidak memenuhi panggilan kejaksaan berulang kali.

Edi Herisman, sosok mantan camat Kampar Kiri Hilir, tersangkut dugaan korupsi dana bantuan keuangan Provinsi Riau Tahun Anggaran 2015 senilai Rp450 juta. Merujuk laporan medcom.id, Edi sempat tiga kali mangkir dari panggilan jaksa setempat, dengan informasi keluarga bahwa dia sedang mengidap gangguan kejiwaan berat.

Iklan

Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Kampar Amri Rahmanto, saat dikonfirmasi Haluan, menyatakan jajarannya lantas melibatkan tim dari Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Tampan untuk memeriksa Edi. Berdasarkan pemeriksaan dan observasi psikiater selama lebih dari sepekan, pada 13 Desember 2021 lalu disimpulkan kondisi kejiwaan Edi tidak menunjukkan gangguan apapun. Artinya, klaim bahwa dia gila hanyalah pura-pura belaka. Alhasil, petugas kejaksaan langsung menjebloskannya ke penjara.

“Karena hasilnya tersangka tidak mengalami gangguan jiwa, makanya tim Penyidik melakukan pemeriksaan dan penahanan selama 20 hari ke depan,” ujar Amri.

Mengacu pada kronologi kasus yang dirilis Kompas.com, Edi diduga melakukan pencairan bantuan keuangan daerah secara bertahap, tanpa pertanggungjawaban. Sebagai Camat Kampar Kiri Hilir, Edi ditunjuk sebagai Penanggung Jawab (PJ) dana bantuan untuk Desa Mentulik, yang menjadi wilayah kerjanya, sepanjang kurun Oktober 2015 sampai Januari 2016. Dana yang menjadi hak Desa Mentulik sudah ditransfer senilai Rp500 juta oleh Pemprov Riau, namun pelaksanaan programnya nyaris tidak ada sama sekali.

Menurut kesimpulan jaksa, dari pemeriksaan awal selama 3 jam setelah Edi dipastikan tidak gila, dana bantuan keuangan itu digunakan sang mantan camat untuk kepentingan pribadi.

Edi bukan tersangka korupsi pertama di Indonesia yang memakai dalih pura-pura gila. Tersangka kasus korupsi kredit fiktif Bank Riau Kepri (BRK), Muhammad Duha, pada Februari 2019, sudah mengajukan alasan serupa saat akan ditahan sebelum menjalani sidang perdana di pengadilan. Merujuk arsip laporan Okezone.com, Duha terjerat hukum bersama empat orang lain, karena diduga menilap dana bank milik pemerintah daerah itu sebesar Rp32 miliar. Uniknya, selama pemeriksaan awal Duha terpantau baik-baik saja, bahkan bisa berkomunikasi dengan petugas kejaksaan.

Iklan

Seperti kasus Edi, pengakuan bahwa Duha mengalami kegilaan datang dari keluarga. Kala itu, Kejaksaan Tinggi Riau menuntut keluarga menunjukkan surat bahwa Duha terbukti mengalami problem kesehatan mental dari Rumah Sakit Jiwa Tampan. Menilik arsip pembacaan vonis, nama Duha tidak ada dalam daftar pegawai Bank Riau Kepri yang masuk penjara.

Alasan gangguan mental sejak lama ditengarai berpeluang jadi dalih bagi tersangka kejahatan kerah putih menghindari pemeriksaan hukum. Itu salah satu alasan UU Nomor 18 tahun 2014 memuat kriteria lengkap penentuan seseorang menderita problem kesehatan mental.

Mantan anggota DPR di Komisi IX DPR, Nova Riyanti Yusuf, menyatakan UU 18/2014 telah memuat kemungkinan mencegah pelaku kejahatan mengaku gila saat akan diperiksa aparat. Sebab, di dalamnya tersedia dasar hukum pembuatan aturan turunan, sehingga observasi orang yang diduga mengidap problem mental melibatkan 500 butir pertanyaan mendetail.

“Dari situ akan diketahui apakah benar mengalami gangguan jiwa atau tidak? Proses ini tak bisa dimanipulasi bila ada tersangka korupsi yang berpura-pura gila,” ujar Nova Riyanti.

Selain gila, dalih lain yang diajukan tersangka korupsi adalah hilang ingatan. Pengakuan macam ini pernah dilontarkan pengacara tersangka korupsi Masjid Raya Palembang Ahmad Nasuhi pada Agustus 2021. Menurut sang pengacara, Nasuhi sebaiknya tidak dipenjara selama pemeriksaan jaksa, karena menderita sakit hidrosefalus, yang membuatnya hilang ingatan.

“Penyakit ini dulunya pernah membuat Ahmad Nasuhi dioperasi di Singapura hingga membuatnya dua bulan hilang ingatan sampai dia tidak tahu dengan dirinya sendiri dan keluarganya,” ujar pengacara bernama Redho Junaidi.

Klaim hilang ingatan itu tampaknya tidak bertaji. Dalam sidang yang berlangsung 8 Desember 2021, Ahmad Nasuhi dituntut hukuman penjara 15 tahun dan denda Rp750 juta oleh jaksa, karena terlibat dalam skema penggelapan hibah untuk pembangunan Masjid Raya Sriwijaya di Palembang. Masjid Raya Sriwijaya yang ditargetkan menjadi masjid terbesar di Asia kini mangkrak. Kerugian negara dalam kasus ini ditaksir mencapai Rp180 miliar.

Dalih hilang ingatan cukup sering dipakai tersangka kasus korupsi menghindari panggilan aparat. Menurut catatan Tirto, di antara pengguna dalih ini, yang terkenal adalah mantan Wali Kota Depok Nur Mahmudi yang hilang ingatan setelah kepalanya terbentur saat main voli, istri mantan wakapolri Nunun Nurbaeti (alasan tak jelas), serta mantan Ketua DPR RI Setya Novanto setelah insiden “Fortuner vs tiang listrik”.