Kekerasan Seksual

Film 'Penyalin Cahaya’ Hapus Nama Kru Terduga Pelaku Kekerasan Seksual

Rumah produksi film pemenang FFI 2021 inimengambil sikap usai muncul laporan korban. Ironisnya, ‘Penyalin Cahaya’ menceritakan sulitnya korban kekerasan seksual mendapat keadilan.
Kru Film 'Penyalin Cahaya’ Tersandung Kasus Kekerasan Seksual Dihapus Namanya dari Kredit
Salah satu adegan di balik layar film Penyalin Cahaya. Foto dari arsip Rekata Studio

Rekata Studio dan studio film Kaninga Pictures, dua rumah produksi di Indonesia, mengumumkan telah menghapus nama salah satu kru di proyek produksi bersama mereka, Penyalin Cahaya dari kredit dan semua dokumen resmi terkait film tersebut. Penyalin Cahaya bakal tayang di Netflix, dan telah menyita perhatian publik setelah memborong piala di ajang Festival Film Indonesia 2021.

Iklan

Pernyataan soal penghapusan nama kru itu dirilis bersama dua PH pada 10 Januari 2021 di media sosial. Atas prinsip praduga tak bersalah, nama pelaku tidak disebut, namun identitasnya sudah tersebar dan dibicarakan pengguna media sosial. Rekata dan Kaninga sebatas menyebut telah menerima laporan sebuah komunitas, bahwa salah satu kru Penyalin Cahaya pernah melakukan pelecehan seksual di masa lalu.

“Sebagai tanggung jawab etik atas komitmen kami dan untuk menghormati pelaporan dan proses yang akan terjadi setelahnya, kami memutuskan untuk menghapus nama terlapor dari kredit film ‘Penyalin Cahaya’ dan di materi-materi publikasi film. Pihak terlapor tersebut tidak lagi menjadi bagian dari film ‘Penyalin Cahaya’ dan Rekata Studio,” demikian bunyi rilis dari dua rumah produksi tersebut.

Penyalin Cahaya (Photocopier), film panjang pertama sutradara berbakat Wregas Bhanuteja, menyabet 12 Piala Citra dari 17 nominasi yang mereka dapat di Festival Film Indonesia 2021. Film tersebut memenangkan, di antaranya, kategori utama film panjang terbaik dan penulis skenario asli terbaik.

Kisah 129 menit dalam Penyalin Cahaya memotret merananya korban kekerasan seksual di lingkungan kampus seni untuk memulihkan reputasinya. Cerita berpusat pada Sur, mahasiswi anggota teater kampus, yang suatu hari mendapati swafotonya saat sedang mabuk tersebar di seantero kampus. Ia sedang tak sadar ketika foto itu dibuat, dan yakin tengah dijebak. Namun, kampus tak peduli. Beasiswa Sur dicabut, ia diusir dari rumah. Sur bersama Amin, kawannya sejak kecil yang seorang tukang fotokopi, berjuang mencari tahu kronologi sebenarnya di balik penyebaran foto tersebut.

Iklan

Isu kekerasan seksual di antara pelaku industri film Indonesia bukan hal baru. Pada Hari Perempuan Sedunia 2019, sembilan pelaku industri film meluncurkan kampanye #SinematikGakHarusToxic untuk mendorong iklim perfilman dalam negeri yang aman dari kekerasan seksual. Penggagasnya adalah Adrian Jonathan Pasaribu, Agus Mediarta, Albertus Wida Wiratama, Amerta Kusuma, Arie Kartikasari, Lintang Gitomartoyo, Lisabona Rahman, Mazda Radita and Vauriz Bestika.

Gerakan ini memfasilitasi masalah awal penanganan kekerasan seksual, yakni bagaimana menciptakan ruang aman bagi korban melapor dan ke mana harus melapor. Lewat form yang dibuka ke publik, #SinematikGakHarusToxic memfasilitasi aduan kekerasan seksual ke Komnas Perempuan.

Nyaris setahun kemudian, aktris Mian Tiara buka suara di Twitter mengenai kekerasan seksual yang pernah ia terima dari seorang aktor senior. Cerita Mian memancing pengakuan korban lain, aktris Hannah Al Rashid dan editor film Aline Jusria, yang pernah mengalami kekerasan seksual dari pelaku yang sama. Namun, ketiganya menolak mengumumkan nama pelaku karena dibayangi ancaman UU ITE. 

Iklan

Usai pengakuan tersebut, pada Hari Perempuan Sedunia tahun lalu, Mia, Hannah, dan organisasi dan pelaku film lain meluncurkan film pendek Silenced untuk mendorong kesadaran adanya ancaman kekerasan seksual di perfilman. Film ini menyorot masalah yang juga disinggung Penyalin Cahaya: korban kerap tidak dipercaya. 

Aktivis perempuan Kalis Mardiasih mengatakan, tindakan rumah produksi Penyalin Cahaya mengumumkan kekerasan seksual yang diduga dilakukan salah satu krunya sudah tepat. “Benar dan memang sudah seharusnya. Itu bare minimum banget,” ujar Kalis kepada VICE. “Pernyataan tetap penting untuk memastikan komitmen PH demi mewujudkan dunia perfilman yang aman dari kekerasan seksual.” Ia menambahkan, “Ekosistem yang tidak aman, tidak setara, dan tidak inklusif kan sudah ketinggalan zaman dan terbukti bikin industri kebudayaan kita ketinggalan.”

Meski rilis Penyalin Cahaya tak menyebut nama terduga pelaku, warganet mencari sendiri dan mulai menyebarkan terduga nama yang bersangkutan. Tentang hal ini, Kalis mengingatkan agar kebutuhan dan keinginan korban yang diprioritaskan.

“Kembalikan ke korban kebutuhan dan keinginannya apa. Dalam situasi viral based kayak gini, orang-orang pasti pengin spill-spill, siapa korban, kejadiannya gimana, dan lain-lain. Itu enggak boleh. Bisa aja kebutuhan korban hanya enggak ingin pelaku mendapat tempat di industri perfilman yang banyak lampu sorot, sehingga pelaku semakin bersinar. Selebihnya, korban hanya ingin pulih, misalnya. Kalau korban ingin mengurus kasusnya secara litigasi, ya mesti difasilitasi dan dibantu. Intinya kembalikan kepada kebutuhan korban, bukan kepentingan tim produksi film atau artis-artisnya.”

Sepanjang tiga tahun terakhir, setidaknya terjadi 8 kasus kekerasan pada perempuan tiap harinya, berkaca dari laporan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2021. Sebanyak 11,33 persen di antaranya adalah kekerasan seksual.

Kementerian PPA juga mengabarkan, ada peningkatan jumlah laporan kekerasan pada perempuan. Data ini memicu desakan agar DPR RI segera mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.  Namun, dalam kabar terakhir Desember lalu, DPR masih menunda pengesahan agar bergeser di tahun ini, diduga karena masih ada silang pendapat antar-fraksi.