Sriwijaya Air Jatuh

Geliat Tim Evakuasi yang Bersatu Menguak Penyebab Jatuhnya Sriwijaya Air SJ 182

Mereka yang menyelam demi mengangkat puing hingga jenazah insiden nahas ini berasal dari berbagai profesi. Semuanya kini mencari kepingan lain kotak hitam yang bisa menjelaskan tragedi tersebut.
Proses pencarian kotak hitam Sriwijaya Air SJ 182 yang jatuh di
Salah satu tim penyelam berhasil menemukan serpihan pesawat Sriwijaya Air SJ 182 dekat Pulau Lancang, Kepulauan Seribu. Foto oleh Adek Berry/AFP

Angin cukup kencang berhembus di dermaga Jakarta International Container Terminal (JICT) pada Selasa (12/1) petang. Sekitar 1,5  jam sebelumnya, hujan deras baru saja berhenti mengguyur kawasan yang diubah menjadi pusat informasi kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ-182 tersebut.

Sekelompok laki-laki berbadan tegap dan berseragam biru tua berdiri di pinggir dermaga. Mereka adalah penyelam TNI AL. Di belakang mereka bersandar kapal-kapal milik Angkatan Laut dan Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas). Di hadapan mereka berjejer serpihan-serpihan badan pesawat bernasib nahas itu serta sejumlah kantong jenazah berisi potongan tubuh korban. 

Iklan

Sorot lighting kamera milik berbagai stasiun televisi nasional dan internasional yang mengarah kepada mereka kontras dengan lampu yang menerangi deretan alat berat untuk bongkar-muat peti kemas di kejauhan. Seorang pekerja pelabuhan mendeskripsikan aktivitas dalam 72 jam terakhir sebagai pemandangan yang “tidak biasa”. 

Awak media berkerumun di lokasi tersebut untuk mendokumentasikan penemuan flight data recorder (FDR) oleh penyelam TNI AL. FDR sendiri merupakan bagian dari black box pesawat yang sangat penting untuk mengetahui penyebab kecelakaan. Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengatakan dua underwater locator beacon, berfungsi mengirimkan sinyal black box, turut diangkut. 

“Artinya, satu lagi cockpit voice recorder (CVR) masih perlu dicari,” ujarnya, merujuk pada bagian lainnya. “Kami meyakini semua karena beacon yang ada di cockpit voice recorder juga ditemukan di sekitar situ, maka dengan keyakinan tinggi, cockpit voice recorder juga akan segera ditemukan.”

Ini secuil kabar baik yang muncul setelah pencarian dilakukan selama tiga hari. Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Soerjanto Tjahjono berharap agar penemuan sebagian black box bisa membantu mengungkap misteri di balik jatuhnya pesawat yang menewaskan 62 orang itu.

Para penyelam pun layak diapresiasi atas kerja keras mereka sejak ditugaskan untuk melakukan pencarian. Mayor Laut (T) Iwan Churniawan yang menjadi bagian tim penyelam hari itu mengatakan penemuan FDR tidaklah mudah. Upaya pencarian oleh TNI AL didasarkan pada koordinat yang diberikan oleh KRI Rigel sehari setelah kecelakaan terjadi. 

Iklan

Begitu mendatangi lokasi, mereka menemukan puing-puing badan pesawat. Survei untuk pencarian pun segera dilakukan. Hari itu, Selasa (12/1), ia dan rekan-rekannya harus mulai menyelam pada pukul 07.00. Empat jam kemudian, mereka baru menemukan beacon dan casing FDR. Pada operasi penyelaman terakhir, FDR itu bisa mereka dapatkan.

“Prosesnya dari awal penyelaman sekitar tiga hari,” kata Iwan. “Awal kita survei dulu, abis gitu kita lihat titik-titik yang punya bongkahan besar. Hari kedua dan ketiga kita angkat [bongkahan]. Harapannya itu bisa mempermudah pencarian. Fokusnya memang full mencari FDR dan CVR.”

Salah seorang penyelam yang menolak memberikan identitas mengatakan hujan yang sempat mengguyur Jakarta seharian tidak mengganggu proses pencarian. “Kendalanya adalah gelombang. Kalau cuaca cukup baik di lokasi penemuan,” ujarnya kepada VICE. Ia menyebut FDR sebenarnya sudah ditemukan sejak sekitar pukul 15.00.

Secara pribadi, dia mengaku sulit memprediksi apakah CVR bisa segera diperoleh walau lokasinya kemungkinan sama dengan FDR. “Tidak bisa diprediksi juga apakah CVR masih utuh atau malah sudah hancur,” kata dia.

kotak hitam.jpg

Relawan penyelam dari TNI AL menunjukkan pecahan FDR pesawat Sriwijaya Air SJ 182 yang berhasil diangkat dari dasar laut. Foto oleh Azwar Ipank/AFP

 Detail tentang proses penemuan dan evakuasi black box pun mulai terkuak sehari setelahnya. Panglima Koarmada 1 Laksamana Muda TNI Abdul Rasyid membenarkan bahwa FDR dan serpihan pesawat ditemukan pada jam 14.50 WIB. Karena belum yakin, tim penyelam perlu mengonfirmasi kepada KNKT. 

Iklan

Butuh hampir satu jam untuk mengangkut FDR. Rantai komando yang wajib dipatuhi pun membuat informasi perlu beberapa lama agar sampai kepada Panglima TNI dan siap diumumkan kepada publik. Kemudian, seperti instruksi Presiden Joko Widodo kepada Menteri Perhubungan Budi Karya, proses pencarian serta evakuasi harus tetap dilanjutkan.

Pada Rabu pagi (13/1), TNI AL kembali menerjunkan tim. “Namun, yang didapat masih berupa serpihan pesawat,” kata dia. Kesulitan pun menghadang karena alat untuk mengirim sinyal black box sudah tidak menjadi satu seperti seharusnya. Apalagi ukuran kotak berwarna orange itu tidak terlalu besar. “Jadi, seharusnya kan satu kesatuan utuh. Hanya saja ini sudah seperti ini. Saya enggak mau analisa, tapi yang kita dapatkan terpisah.”

Sayangnya, cuaca menghalangi proses pencarian CVR, puing pesawat maupun tubuh korban. Menjelang tengah hari, Basarnas mengumumkan kepada wartawan bahwa kegiatan dihentikan sementara. Sampai pukul 16.30, belum ada kepastian apakah aktivitas bisa dilanjutkan kembali. Sementara, menurut perkiraan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), masih ada kemungkinan cuaca akan membaik.

WhatsApp Image 2021-01-13 at 5.00.34 PM.jpeg

Suasana di Dermaga 2 JICT, yang menjadi posko utama pencarian Sriwijaya Air SJ 182. Foto oleh Rosa Folia/VICE

Situasi ini membuat Jajang Dirajanegara juga batal menyelam. Sebagai relawan Basarnas dari Persatuan Olahraga Selam Seluruh Indonesia (POSSI), ia sudah menginap di tenda milik organisasinya sejak Senin (11/1) sambil menunggu giliran untuk membantu proses pencarian.

Iklan

Dalam video yang dikirimkan Jajang kepada VICE, terlihat ombak cukup besar di kawasan dermaga sehingga mustahil bagi relawan penyelam untuk memulai aktivitas. “Kita [seharusnya] berangkat dari Pantai Mutiara. [Tetapi] start point kita aja macam gitu ombaknya,” kata Jajang lewat pesan singkat.

Relawan yang ikut membantu Basarnas saat kecelakaan pesawat Lion Air pada 2018 itu terpaksa meninggalkan JICT karena cutinya sudah habis. Waktu ditemui VICE pada Selasa siang, Jajang tampak sudah mengantisipasi momen penyelaman yang semestinya akan dimulai dalam kurang dari 24 jam. 

Wartawan sebuah stasiun televisi itu mengaku berniat turun jadi relawan penyelam sejak mendengar kabar jatuhnya Sriwijaya Air. “Sambil bantu teman-teman breaking news, saya kontak grup POSSI reaksi cepat,” kata Jajang. “Saya bilang kita harus cepat bergerak. Sekjen [POSSI] memutuskan kita bergerak. Basarnas langsung listing [relawan]. Aku bilang POSSI siap berangkat.”

WhatsApp Image 2021-01-13 at 4.30.14 PM.jpeg

Jajang, salah satu relawan yang terlibat pencarian korban jatuhnya Sriwijaya Air SJ 182. Foto oleh Rosa Folia/VICE

Semua logistik dan perlengkapan sudah tersedia, mulai dari kebutuhan makan sampai kapal. “Bawa dua kapal. Kapal utama sama untuk kapal angkut puing-puing biar enggak tercampur antara potongan tubuh dan benda,” jelasnya. Baik dari Basarnas maupun POSSI tidak mengatur apa yang harus diambil oleh relawan penyelam ketika sudah berada di dasar laut. “Apa aja, kita enggak pilih-pilih. Pada prinsipnya, apa pun yang bisa kita angkat, kita angkat.”

Jajang sendiri menilai ketika terjadi kecelakaan pesawat, semua obyek bersifat penting. Ini mengapa peran para relawan penyelam juga krusial dalam mengetahui penyebab tragedi. “Kecelakaan pesawat kan enggak cuma dari human error, enggak cuma dari engine, tapi juga bisa dari metal fatigue,” ucapnya.

Dia mencontohkan bisa saja badan pesawat mengalami keretakan yang sangat kecil sehingga tidak diketahui. “Sebesar [helai] rambut pun bisa bikin pesawat pecah di udara. Makanya kenapa puing pesawat butuh diangkat, dikumpulkan, dianalisis. Body pesawat sekecil apa pun bisa berguna.”