Sriwijaya Air Jatuh

Menurut Penyelidikan Awal KNKT, Sriwijaya Air SJ 182 Alami Anomali Fungsi Pesawat

Namun, sampai CVR ditemukan, KNKT belum bisa memastikan apakah sistem autothrottle pesawat Boeing 737-500 nahas itu memang rusak, atau ada unsur kelalaian manusia.
Laporan awal KNKT simpulkan Sriwijaya Air SJ 182 Alami Anomali Fungsi Pesawat Sebelum Jatuh
Pilot dan awak kabin Sriwijaya Air menggelar tabur bunga di Kepulauan Seribu pada 22 Januari 2021, mengenang rekan mereka yang meninggal dalam insiden jatuhnya SJ 182. Foto oleh Mariana/AFP

Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) merilis laporan awal mengenai kecelakaan Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan SJ 182 yang terjadi pada 9 Januari lalu. Pesawat tujuan Pontianak yang mengangkut sebanyak 62 penumpang dan kru tersebut mengalami kecelakaan setelah lepas dari Bandara Soekarno-Hatta Jakarta pada pukul 14.36 WIB.

Menurut keterangan yang disampaikan Kepala Sub Komite Investigasi Keselamatan Penerbangan Nurcahyo Utomo, Flight Data Recorder (FDR) merekam sistem autopilot pesawat aktif di ketinggian 1.980 kaki. Namun, saat mencapai ketinggian 8.150 kaki, tuas pengatur tenaga mesin atau throttle bagian kiri mundur sehingga tenaga mesin berkurang. Sedangkan throttle bagian kanan tidak bergerak.

Iklan

Setelah pesawat terbang selama dua menit, pilot menghubungi pengatur lalu lintas udara (ATC) dan meminta untuk berbelok ke arah 075 derajat karena kondisi cuaca. ATC mengizinkan, kemudian meminta agar pilot berhenti naik di ketinggian 11.000 kaki sebab khawatir akan berpapasan dengan pesawat lain dengan tujuan sama.

Tak berapa lama setelahnya, yaitu sekitar pukul 14.39 WIB, pesawat mulai berbelok ke kiri dan throttle bagian kiri kembali bergerak mundur. ATC menginstruksikan agar pesawat naik ke ketinggian 13.000 kaki. Setelah menyetujui, pilot tak lagi bisa dihubungi.

FDR yang ditemukan oleh penyelam pada 12 Januari sempat mencatat pesawat berada di ketinggian 10.900 kaki pada pukul 14.40 WIB. Dengan kata lain, badan pesawat justru terbang lebih rendah dari yang diinstruksikan. Hasil analisis FDR memperlihatkan bahwa dalam kondisi ini, sistem autopilot tidak aktif. 

Nurcahyo mengungkap sikap pesawat sempat ada dalam posisi naik dan miring ke kiri. Dalam hitungan detik, posisinya berubah drastis menjadi menunduk dengan autothrottle yang masih tidak aktif. Ini merupakan situasi terakhir yang terekam oleh FDR.

KNKT sendiri menegaskan bahwa kondisi cuaca tidak buruk ketika pesawat Sriwijaya Air mengudara. Analisis menunjukkan wilayah yang dilewatinya bukan merupakan area hujan maupun turbulensi. 

Sementara itu, KNKT belum bisa menyimpulkan apakah kedua autothrottle memang mengalami kerusakan sehingga berakibat kecelakaan. “Apakah yang rusak sebelah kiri, kita belum tahu, karena dua-duanya sikap yang berbeda atau mengalami anomali,” tutur Nurcahyo. 

Iklan

“Anomali yang kiri, dia mundurnya terlalu jauh, sedangkan yang kanan benar-benar tidak bergerak, seperti macet. Jadi, kita tidak tahu sebenarnya yang rusak yang kiri atau kanan. Inilah yang kita belum bisa menjelaskan sampai hari ini apakah ada kerusakan autothrottle.” Oleh karena itu, KNKT masih akan menyelidiki masalah ini lebih lanjut.

Hal lain yang masih menjadi pertanyaan adalah mengapa pilot tidak bisa mengembalikan pesawat ke dalam kondisi normal setelah mengalami kemiringan dan menunduk. Menurut Nurcahyo, ini baru akan bisa terungkap ketika Cockpit Voice Recorder (CVR) sudah ditemukan dan dianalisa. 

Ini menjadi salah satu prioritas utama KNKT dua hari sejak kecelakaan terjadi. Sayangnya, cuaca buruk masih terus berlangsung di kawasan Jakarta sehingga menyulitkan para penyelam untuk melakukan pencarian. “Seperti diketahui, dalam beberapa hari terakhir curah hujan di Jawa dan terutama sekitar Jakarta sangat tinggi. Ini berakibat pada terjadinya gelombang tinggi dan arus di bawah laut,” urai Nurcahyo.

Banjir di sejumlah titik di Jawa juga menyebabkan menumpuknya lumpur di dasar laut yang kian memperburuk jarak pandang penyelam. “Namun, cuaca pagi ini cukup baik dan kondisi di bawah permukaan cukup jelas, jadi kami melanjutkan operasi [pencarian],” imbuhnya.

Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono menambahkan para penyelam sulit menemukan CVR karena beacon yang semestinya mengindikasikan lokasinya telah terlepas. “Jadi, sekarang tidak ada metode, tidak ada petunjuk tentang bagaimana mencari lokasi CVR. Maka, kami melakukannya secara manual, dan mungkin dalam beberapa hari mendatang kami akan menggunakan peralatan lain untuk mengangkat lumpur,” kata dia.

Iklan

KNKT sangat berharap agar CVR akan bisa ditemukan mengingat kesimpulan penyebab kecelakaan sangat bergantung pada bagian black box tersebut. “Jika tidak ditemukan, pengaruhnya akan sangat signifikan buat kami karena kami menjadi tidak memiliki data--terutama data terkait apa diskusi para pilot, bagaimana komunikasi antara keduanya, dan apa yang terjadi di dalam kokpit,” ujar Nurcahyo. 

“Kita belum bisa berpikir jika CVR tidak ditemukan,” tambah Soerjanto. “Ini kondisi-kondisi yang sangat menyedihkan bagi kami sebagai badan investigasi kami tidak bisa memberikan suatu hasil atau kesimpulan yang bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Jadi, apa pun, CVR ini harus kita temukan. Sepanjang kita masih sanggup, akan kita akan melakukan [pencarian].”

Data laporan perawatan pesawat juga tidak memperlihatkan ada persoalan serius. Pilot sempat dua kali melaporkan autothrottle tak berfungsi pada awal Januari, yang kemudian berhasil diperbaiki. Akhir Januari 2021, maskapai penerbangan mengeluarkan surat edaran berisi instruksi agar para pilot mempelajari buku panduan dan mengikuti beberapa pelatihan. 

KNKT menegaskan investigasi lanjutan tetap dilakukan, untuk mengetahui apakah ada faktor kesalahan manusia dan organisasi yang mengakibatkan kecelakaan nahas ini.