PPKM Darurat

Protes Razia PPKM Membesar, Sampai Ada Promo Khusus Aparat Bayar Kopi Lebih Mahal

Absurdnya metode razia PPKM membuat banyak pengusaha kecil menjerit atau bikin kampanye sinis ke aparat. Pemerintah punya opsi karantina wilayah yang taat UU, tapi tak diambil karena biayanya besar.
Pengusaha
Petugas Satpol PP di Jakarta Timur memaksa pemilik warung pecel lele di Duren Sawit tutup lebih cepat selama pandemi. Foto oleh  Dasril Roszandi/NurPhoto via Getty Images

Hampir dua minggu berjalan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat, laporan aparat yang dianggap asal-asalan merazia lapak pengusaha kecil bertebaran di lini masa media sosial. Ini terkait aturan usaha makanan yang hanya boleh buka sampai pukul 20.00, dan tidak boleh melayani makan di tempat. Sejumlah pelaku usaha makanan mengaku tetap kena semprot, bahkan sampai mengalami penyitaan aset, meski sudah menuruti aturan.

Iklan

Di Bandung, Jawa Barat, misalnya, muncul laporan Satpol PP merazia dua kursi plastik milik pedagang siomay bernama Nana. Aparat menilai kursi itu adalah tanda lapak siomay Nana membolehkan pembeli makan di tempat. Mau kursi kembali? Harus menebus Rp100 ribu.

“Sebelum memutuskan menyita kursi, aparat lebih memilih tabung gas. Tapi, ditolak keras [oleh pedagang] karena memang digunakan untuk memanaskan barang dagangan,” kata Novrianto, pembeli siomay yang jadi saksi mata kejadian, saat dihubungi VICE.

Menurut cerita Novrianto, kursi plastik itu disediakan untuk pembeli yang sedang menunggu makanan mereka dibungkus.

“Awalnya sebelum PPKM, pedagang memang menyediakan kursi dengan jumlah yang banyak, sekitar lima kursi lah untuk dine in. Tapi, semenjak kena razia pertama pas awal PPKM [darurat], dia mengurangi jadi dua kursi untuk pembeli yang take away. Ketika kejadian, saya enggak melihat ada yang sedang makan di tempat, tapi karena melihat ada dua kursi jadi aparat menganggap pedagang menyediakan dine in,” tambah Novrianto.

Masih di Bandung, pedagang lontong padang bernama Jefri Naldi mengaku dibentak polisi karena melihat ada satu kursi di lapaknya, di kawasan Tamansari. Padahal satu kursi itu untuk dirinya sendiri kala menunggu pembeli dan kadang dipakai pembeli yang beli bungkus.

Iklan

“Yang ngebentak saya polisi. Saya tidak sempat menjelaskan apa-apa. Tahu sendiri gimana keadaannya di lapangan, [mereka] ramean gitu. [Saya] langsung tersentak tiba-tiba dibentak,” keluh Jefri kepada VICE.

Setelah para polisi pergi, Jefri kembali memasang kursi karena mustahil ia terus berdiri sejak jualan dari jam enam pagi sampai jam satu siang. “Cuma jika nanti dibentak lagi, dan kondisi saya siap, saya akan adu argumen,” jelas pria 33 tahun tersebut.

Pindah ke Semarang, Jawa Tengah, akun Twitter @adistyaratu melaporkan bahwa usaha orang tuanya dirazia Satpol PP setempat, juga dengan alasan membolehkan pembeli makan di tempat. Pemilik merasa telah mematuhi prasyarat bisnis selama PPKM Darurat. Selain tidak melayani makan di tempat, ia juga bingung karena saat dirazia kondisi warung sedang sepi.

Berbagai kasus dan protes terhadap kebijakan polisi atau Satpol PP, pelan-pelan membesar menjadi sinisme terhadap pemerintah. Timbul perbincangan netizen soal betapa enaknya menjadi pegawai pemerintah yang gajinya tidak terganggu selama PPKM Darurat, sehingga dianggap abai pada pergulatan pelaku wirausaha skala kecil-menengah yang bergantung pada pemasukan harian.

Kesenjangan ini yang mendorong Cahya Sinda, pemilik usaha kafe Atitud Coffee di Kota Malang, Jawa Timur, membuat protes unik. Pengusaha 24 tahun tersebut menggelar program “Big Promo” bayar tiga kali lipat harga normal khusus bagi aparat dan pegawai pemerintahan yang belanja di kafenya. Alasan Cahya, program sebagai “bentuk implementasi bantuan sosial untuk pelaku usaha kecil dan menengah.”

Iklan

Saat diwawancarai VICE, Cahya menjelaskan maksudnya membuat promo itu. “Kedai kopi kami baru buka tanggal 28 Juni [2021] karena dulu Kementerian [Pendidikan] bilang Juli semua aktivitas pendidikan kembali normal tanpa tawar-menawar. Setelah mempersiapkan segala sesuatunya, munculah PPKM Darurat dan semua rencana jadi berantakan. Jadi bikin diskon tiga kali lipat untuk marketing sekalian, selain bentuk protes,” ujarnya kepada VICE.

Saat ditanya mengapa aparat dan pegawai pemerintahan yang dipilih, Cahya mengaku itu sebagai sampel saja. “Orang tua saya PNS, kakak saya petugas kesehatan. Mereka saya jadikan sampel kelompok yang punya penghasilan tetap sehingga punya peluang nyata memberikan bansos. Sebagai pelaku bisnis UKM saya merasa keberatan sama PPKM ini. Pemasukan, tanggungan, dan pengeluaran, semuanya tidak masuk akal dan tidak mungkin terbayar. Peluang bangkrut sangat besar padahal baru buka.”

Pertanyaan besarnya justru di teknis pelaksanaan “Big Promo” ini. Apakah setiap pembeli yang datang akan ditanyain pekerjaannya masing-masing? Kalau ojek online, apakah sang sopir harus nanya dulu profesi pemesannya?

“Jangan ditanya, yang beli aja enggak ada. Paling yang datang karyawan sendiri, sama pemilik ruko yang saya sewa,” ujar Cahya masygul.

Banyak pihak menilai aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan sekarang PPKM dipakai pemerintah untuk mengelak dari opsi karantina wilayah yang diamanatkan UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Iklan

Karantina wilayah adalah pembatasan penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi dan/atau terkontaminasi penyakit untuk mencegah kemungkinan penyebaran. Mekanisme ini berbeda dari PSBB, yang sama-sama diamanatkan UU tersebut, yang hanya membatasi kegiatan.

Menurut Pasal 53 beleid tersebut, karantina wilayah dapat dilakukan ketika terjadi kedaruratan kesehatan dan yang berhak memutuskan hanya pemerintah pusat. Lalu diatur dalam Pasal 55 bahwa ketika karantina wilayah diberlakukan, pemerintah pusat wajib memenuhi kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak.

Kewajiban membiayai hidup penduduk ini yang diduga membuat Presiden Joko Widodo selalu menghindar memberlakukan karantina wilayah, kadang juga disebut lockdown. Dalam berbagai kesempatan, Jokowi berulang kali menegaskan tak akan ada karantina wilayah, tapi tak menyebut alasan eksplisit.

“Perlu saya sampaikan bahwa setiap negara memiliki karakter yang berbeda-beda, memiliki budaya yang berbeda, memiliki kedisiplinan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, kita tidak memilih jalan itu [karantina wilayah],” ujar Jokowi pada 24 Maret 2020, dilansir Kompas.

"Lockdown itu apa sih? Orang enggak boleh keluar rumah, transportasi harus semua berhenti, baik itu bus, kendaraan pribadi, sepeda mobil, kereta api, pesawat, berhenti semuanya. Kegiatan-kegiatan kantor semua dihentikan. Kan kita tidak mengambil jalan yang itu,” ulang presiden pada 1 April 2020.

Menurut sumber anonim Tempo, sebetulnya ada desakan dari pemerintah daerah agar karantina wilayah diberlakukan. Salah satunya dari Gubernur Sri Sultan Hamengku Buwono X, yang ingin Provinsi D.I. Yogyakarta dikarantina. Menurut sumber Tempo, usul itu ditolak karena dikhawatirkan mengganggu target pertumbuhan ekonomi.

Masih kepada Tempo, Juni lalu Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian Iskandar Simorangkir mengatakan bahwa biaya untuk mengadakan karantina wilayah sangat mahal. Ia menjelaskan, karena pandemi dan PSBB saja, pertumbuhan ekonomi kuartal II 2020 minus 5,32 persen.

Gantinya, seperti yang sudah disaksikan saat ini, pemerintah memilih meluncurkan aturan dengan bermacam nama, mulai dari PSBB, PSBB Transisi, PPKM, PPKM Mikro, hingga PPKM Darurat. Modifikasi aturan tersebut lah, dan implementasinya di lapangan yang seakan tidak jelas, yang akhirnya membuat pengusaha mengeluh, lantaran bingung mencari nafkah selama masa pembatasan.