Calon Pendeta Pemerkosa Belasan Anak di Alor NTT Berpeluang Dihukum Mati

Calon Pendeta di Alor NTT GMIT memerkosa 12 korban mayoritas anak

Sepriyanto Ayub Snae (36) menjadi kandidat predator seksual terburuk tahun ini di Indonesia. Dia adalah calon pendeta alias vikaris yang harusnya melakukan tugas pelayanan di Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Siloam-Nailang, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Sepanjang Mei 2021 hingga Mei 2022, Sepriyanto memperkosa dan melecehkan setidaknya 12 orang, terdiri dari 10 anak-anak dan 2 remaja. Korbannya adalah jemaat GMIT, dan masih bisa bertambah.

Dari total 12 korban, sebanyak 9 orang pernah diperkosa, sebanyak 1 orang dicabuli, dan 2 orang pernah menerima chat mesum dan foto vulgar. Korban anak berusia 13-16 tahun, sedangkan korban remaja berusia 19 tahun. Mereka kini telah berada dalam pendampingan Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak. Pelaku yang kini ditahan di Polres Alor pun sudah ditetapkan sebagai tersangka.

Videos by VICE

Dalam melakukan kejahatannya, Sepriyanto sengaja memanfaatkan posisinya sebagai rohaniwan yang dihormati jemaat. Sebagian lokasi kekerasan seksual pun bertempat di lingkungan gereja. Polisi menyebut pemerkosaan pernah terjadi di ruang konsistori, rumah pendeta, dan toilet jemaat. Lokasi lain adalah posyandu dan rumah korban. 

“Para korban dicabuli lebih dari sekali, dan yang paling banyak sampai enam kali dan berkelanjutan di beberapa tempat,” ujar Kabid Humas Polda NTT Kombes Ariasandy saat dikonfirmasi Kompas.

Kekerasan seksual dengan korban massal ini bisa langgeng hingga setahun lamanya karena pelaku memakai ancaman klasik. Ia memotret dan merekam korban saat dicabuli, kemudian mengancam akan menyebarkan rekaman tersebut bila korban menolak dilecehkan.

Dalam kasus kekerasan seksual, modus “menyebarkan aib” sangat efektif karena mengeksploitasi perasaan malu korban. Seorang bocah SD di Tasikmalaya meninggal dunia pada Juli lalu. Ia diduga kuat mengalami depresi akibat tak kuat menahan malu setelah video pelecehannya tersebar.

Kejahatan Sepriyanto baru terkuak ketika salah satu korban tak tahan, kemudian lapor kepada orang tuanya. Orang tua korban akhirnya membuat laporan ke polisi pada 1 September silam. Polisi berencana mengenakan UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak Pasal 81 ayat 5 juncto Pasal 76D, serta UU ITE terkait penyebaran pornografi di kasus ini. Hanya dari pasal perlindungan anak saja, pelaku terancam pidana maksimal hukuman mati.

Kuasa hukum pelaku, Amos Aleksander Lafu, mengklaim Sepriyanto sebagai penyintas kekerasan seksual di masa kecil. “Klien saya mengakui semua perbuatannya, dan mengaku punya trauma masa lalu, yakni menjadi korban kekerasan seksual,” ungkap Amos, dilansir Jawa Pos.

Tren hukuman mati dalam kasus kekerasan seksual

Banyak kasus kekerasan seksual diganjar hukuman mati. Umumnya vonis mati baru dijatuhkan jika kekerasan seksual disertai kekerasan fisik yang mengakibatkan korban meninggal dunia.

“Tren” baru muncul di 2022 ini. Datangnya dari Pengadilan Tinggi Bandung, Jawa Barat. Hakim PT Bandung bukan hanya tak sungkan menjatuhkan hukuman mati, bahkan 2 vonis mati dijatuhkan dalam waktu berdekatan, April lalu.

Yang pertama adalah vonis mati untuk Herry Wirawan pada 4 April silam, dalam sidang yang diketuai Hakim Herri Swantoro. Herry Wirawan (37) adalah ustaz sekaligus pemilik pesantren yang tega memperkosa 13 santriwatinya sendiri. Pemerkosaan berlangsung bertahun-tahun hingga para santriwati itu melahirkan anak, bahkan ada satu korban yang dua kali melahirkan. Sebanyak 9 bayi lahir dari kekerasan seksual yang dilakukan Herry.

Tak sampai sebulan kemudian, pada 26 April, PT Bandung kembali menjatuhkan vonis mati untuk Hendi alias Abah Heni. Persidangan itu dipimpin Hakim Yuli Heryati.

Selama empat tahun (2017-2021), Abah Heni (57) aktif memperkosa 10 anak perempuan di lingkungan tempat tinggalnya. Semakin mengerikan, bocah-bocah itu tak lain adalah teman sepermainan anak Abah Heni sendiri. Usia para korban mulai dari 5 hingga 11 tahun. 

Menurut penelusuran kami, sebelum vonis Herry Wirawan, hakim hanya memberi vonis mati pada kasus kekerasan seksual yang memakan korban jiwa. Dua contoh terkenalnya adalah pemerkosaan dan pembunuhan sadis Yuyun di Bengkulu dan Eno Fariha di Tangerang. Kedua kasus mengerikan ini terjadi pada 2016.

Yuyun (14) disergap oleh 14 pria mabuk ketika sedang berjalan kaki pulang sekolah pada 2 April 2016. Padahal hanya 1,5 km jarak rumah Yuyun dengan sekolahnya, SMPN 5 Padang Ulak Tanding, Rejang Lebong, Bengkulu.

Usai disergap, para pelaku memukuli Yuyun dengan kayu, mencekiknya, serta mengikat kaki dan tangannya. Ia kemudian diperkosa berkali-kali. Hasil visum jenazahnya menunjukkan bahwa ketika sudah meninggal pun, Yuyun masih diperkosa. 

Para pelaku, yang masih terhitung tetangga Yuyun, kemudian membuang jasadnya ke jurang. Mayatnya baru ditemukan dua hari kemudian dalam keadaan penuh luka dan patah tulang pinggang. 

Dari 14 pelaku, satu orang bernama Zainal alias Bos (23) dihukum mati karena terbukti jadi otak kejahatan. Vonis mati ini muncul karena Zainal dijerat KUHP pasal pemerkosaan dan pembunuhan berencana sekaligus.  

Sisi lain pemerkosaan sadis Yuyun adalah usia para pelakunya yang masih muda. Zainal adalah yang paling tua. Empat pelaku lain yang divonis 20 tahun penjara, masih berusia 19 dan 20 tahun. Lalu 8 pelaku malah masih berusia anak; 7 orang divonis 10 tahun penjara, 1 orang divonis rehab. Sedangkan 1 pelaku bernama Firman buron.

Para pemerkosa dan pembunuh Eno Fariha di Tangerang, 2016 silam, juga divonis mati atas dakwaan pembunuhan dan pemerkosaan sekaligus. Dari 3 terdakwa, 2 orang dihukum mati oleh PN Tangerang, sedangkan 1 pelaku dihukum 10 tahun penjara karena masih berusia anak.

Eno (18) adalah buruh pabrik plastik PT Polita Global Mandiri. Pada malam hari tanggal 12 Mei 2016, ia didatangi tersangka RAI (15) di mesnya. Dalam pertemuan itu, RAI yang masih duduk di bangku SMP mengajak Enno berhubungan seks, namun ditolak karena korban takut hamil.

RAI lalu pergi dari kamar Eno. Secara kebetulan ia bertemu Rahmat Arifin (23), yang juga buruh di pabrik yang sama dengan korban, serta Imam Harpriadi (23). Ketiganya tak saling kenal, tetapi ketiganya mengenal korban. Menurut Polda Metro Jaya yang menangani kasus ini, Arif pernah dikatai “jelek” oleh Enno, sedangkan Imam pernah mendekati korban, tetapi tidak bersambut. 

Walau tak saling kenal, ketiganya bisa sepakat untuk memperkosa Eno malam itu. Mereka pun mendatangi kamar korban. Imam mendapat tugas membekap dan memegangi korban, sedangkan Arif langsung memperkosa. Sedangkan RAI diperintah mencari pisau untuk dipakai membunuh Eno. Saat kembali, RAI malah membawa gagang cangkul. Atas suruhan Arif, RAI menghantamkan cangkul ke wajah Eno hingga wajah dan leher korban bersimbah darah.

Dalam keadaan luka-luka, kepala korban dibungkus kain. Kedua tangannya diikat ke atas. Arif kemudian menyuruh RAI menggigit puting korban. Arif sendiri membuka selangkangan korban dan memasukkan gagang cangkul ke vagina korban. 

Polisi menyatakan, 90 persen gagang cangkul masuk di vagina Eno ketika jasadnya ditemukan. Juga terdapat luka di bibir, pipi, dan puting, serta leher dalam keadaan patah. Salah satu penyebab hakim memberi vonis mati kepada Arif dan Imam, selain karena kekejaman perbuatan mereka, juga karena mereka tak menunjukkan penyesalan.