Saat Adikku Mengaku Pengagum Hitler, Aku Putuskan Ngobrol Panjang Dengannya

Cara diskusi dengan orang Indonesia yang mengaku pengagum Hitler

Duniaku masih baik-baik saja ketika tiga tahun lalu adikku minta uang untuk membeli otobiografi Adolf Hitler, Mein Kampf (Perjuanganku), edisi bahasa Indonesia. Waktu itu dia masih SMP, mau baca buku saja sudah kuanggap bagus, meski bukunya agak aneh. Atau malah enggak aneh? Gus Dur semasa SMP sudah baca Das Kapital versi bahasa Inggris.

Aku tak lagi tinggal bareng adikku sejak ia masih TK, karena aku sekolah di luar kota. Kurang tahulah perkembangan dia seperti apa. Adikku pernah bilang ia sedang di tahap menyukai semua trivia seputar Perang Dunia II, serba-serbi Jerman, dan terutama profil Adolf Hitler. Ia membacai sepak terjang sang pemimpin Partai Nazi tersebut selama perang. Awalnya tak ada yang kukhawatirkan dari itu karena kakak-kakaknya pernah mengalami fase sama.

Aku sendiri membeli buku Hitler itu waktu kuliah (penerbit bahasa Indonesianya berkantor di belakang kosku). Atau kalau soal suka sesuatu yang terlarang, aku menyukai Dewa 19 karena dapat pamflet di musala sekolah. Isinya: pengungkapan atas pesan-pesan Yahudi dan lluminati di gambar sampul album Laskar Cinta.

Pamflet itu bikin aku jadi mencari tahu semua hal tentang Dewa 19, mendengarkan seluruh diskografi mereka, dan menghadiahi diri sendiri kaset tape Republik Cinta saat ulang tahun ke-17.

Kekhawatiran mulai muncul beberapa pekan lalu, ketika Instagram Stories adikku—yang sekarang kelas 2 SMA—memuat foto legendaris akhir Perang Dunia II, yakni “Raising a Flag over the Reichstag”, dengan caption macam ini:“The Reich might fallen, but the glory will last forever.”

Videos by VICE

1594814927934-skrinsut-ig-stories
Kayak gini IG Story adikku yang membuatku bertanya-tanya: “apa doi betulan jadi pemuja Nazi?”
.

Setelah tiga tahun, cinta adikku sama Hitler belum luntur. Malah sekarang bawa-bawa kata glory. Hmm, apakah ada fasis remaja sedang tumbuh di rumah kami?

Aku mulai berencana nanya-nanya adikku buat ngecek apa dia betulan jadi fasis sekarang. Kalau dia sampai mengklaim pengikut ideologis Hitler, kacau juga. Masih biasa lah orang ngaku liberal, komunis, sosialis, atau bahkan stalinis.

Masalahnya kalau sampai betulan menjadi pengikut Hitler dan Nazi—mengingat dia adalah remaja yang kini tinggal di Purwokerto, mustahil berdarah ‘Arya Murni‘, serta seumur-umur tinggal di Indonesia—adikku bakalan dicap naif dan bodoh doang. Agak ngeri juga kalau diam-diam dia mendukung gerakan supremasi kulit putih kayak orang-orang ngeselin di Eropa-Amerika.

Sebelum mulai nanya, aku coba minta masukan ke beberapa teman agar diskusi kami berdua seputar kegandrungannya pada Hitler enggak jadi blunder. Saleh Abdullah adalah orang pertama yang aku mintain tips dan trik, mengingat dia aktivis politik yang mendalami berbagai ideologi, sekaligus sudah punya anak sehingga berpengalaman jadi orang tua yang berdikusi soal isu-isu berat. Saleh adalah sekjen pertama Partai Uni-Demokrasi Indonesia (PUDI), yang pas 1996 dipenjara oleh rezim Orde Baru bareng pendiri PUDI lainnya, Sri Bintang Pamungkas

Saleh bilang, aku mesti cari tahu mengapa adikku menyukai Hitler, sekaligus tahu sebanyak apa soal kejahatan Hitler. Aku disarankan mengedepankan diskusi dan dilarang keras langsung menyalahkan. “[Remaja itu] lagi nyari-nyari sikap dan pendirian kok,” katanya.

Bang Saleh lalu cerita tentang anak sahabatnya, aktivis gender Lies Marcoes, yang mengalami dilema sepertiku, meski tak mirip persis. Beberapa tahun lalu, ketika sebagian besar aktivis mendukung Jokowi di pemilu, sang anak memutuskan memilih Prabowo dan Gerindra.

“Ketika dikritik Lies, itu anak bilang: ‘Kalian para aktivis tua itu enggak tuntas ngadvokasi agar Prabowo dihukum. Maka enggak ada kesalahan Prabowo secara hukum. Jangan salahkan kami kalau dukung dia.’ Aku bilang ke Lies, anaknya benar. Kita enggak tuntas nyeret Bowo ke pengadilan,” tutur Bang Saleh.

Aku jadi membayangkan diriku sendiri ketika baru masuk kuliah dulu. Mestinya ortuku juga pusing sih ngelihat keanehan-keanehan yang kubuat. Hahaha. Kalau waktu itu aku dikerasin oleh mereka, jelas cuma bikin aku marah. Oke, I get it, Bang.

Eh, tapi gimana kalau dari sudut pandang sejarah? Tiba-tiba aku meragukan pengetahuanku soal rekam jejak kejahatan kemanusiaan yang diprakrasai Hitler. Soalnya, beberapa waktu lalu aku diceramahi temanku banyak mitos kejahatan Stalin yang sebenarnya bikin-bikinan Amerika. Duh, apakah aku kemakan propaganda Yahudi? Buru-buru aku kirim pesan WhatsApp ke Ivan Aulia Ahsan, editor spesialis isu-isu sejarah di Tirto.id.

“Adikmu harus diedukasi pelan-pelan secara lisan dulu. Kalau dia sudah termakan sama edukasi lu, baru dikasih buku-buku soal betapa bahayanya orang seperti Hitler,” kata Ivan yang terdengar seperti perintah kontraintelijen.

Yang berat adalah tips Ivan selanjutnya. “Untuk mengedukasi kayak gini, kamu juga mesti baca-baca buku terkait Hitler. Biar bisa dijadikan amunisi untuk menghadapi adikmu.” Ivan lalu mengirim dua foto yang bikin aku merasa ikut mata kuliah 6 SKS.

1594815213211-ivan-hitler-1
Ini kutipan nasehat Ivan: “Saranku, kamu baca buku ini, studi klasik banget tentang mentalitas seorang tiran modern. Sama nonton serial di Netflix, judulnya Circle of Evil.”
1594815261236-ivan-hitler-2
“Mesti baca referensi sebanyak ini biar edukasinya bener,” kata Ivan lagi. “Ini semua buku buat ngedukasi? Mati aku,” balasku.

Dari dua pesan kawan tadi, aku rada nangkep pesan utamanya lah. Kuncinya tuh dialog. Tapi kalian pernah ngerasa enggak sih, walau kita belum tua-tua amat (usiaku sendiri belum kepala tiga), kadang susah ngomong sama anak belasan tahun? Rentan terjebak menceramahi gitu.

Maka larilah aku ke Yuna, temanku yang sekarang jadi guru di SMP internasional di Bekasi, untuk minta tips diskusi sama remaja. Jawaban Yuna ringkas, padat, jelas. “Yang jelas jangan dulu judge mereka. Biasanya anak-anak yang punya pikiran berbeda, kalau enggak mau dianggap radikal, karena mereka punya info yang mungkin kita tidak tahu.”

“Enaknya,” kata Yuna lagi, “dibawa ngobrol model discursive yang membandingkan dua perspektif berbeda. Di sini kitanya juga harus kuat secara data atau info untuk siap-siap meng-counter argumen mereka. Bisa jadi adikmu dapat info dari sumber-sumber yang sifatnya propaganda, menanggapinya harus lebih hati-hati.”

Njir, makin berat. Padahal ini cuma mau ngobrol sama adik kandung sendiri.

Setelah memantapkan mental, sesi diskusi kumulai lewat WhatsApp. Aku sudah minta izin ke adikku untuk menuliskan cerita ini buat VICE. Begini inti percakapan kami berdua:

Kamu masih suka Hitler?
Masih dong
Kamu mulai ngefans dia dari kapan sih?
Dari kelas 7 SMP.
Kamu suka Hitler tuh karena apa?
Awalnya aku emang suka sama hal berbau militer sama politik. Lalu aku baca-baca sejarah Perang Dunia II, yang kesuksesan besarnya dia nguasai Eropa. Lalu suka deh.
Apa yang bikin kamu suka sejarah perang?
Aku lupa pastinya, pokoknya tiba-tiba suka sama yang perang-perang gitu, tipikal anak laki lah. Lebih ke strategi militer gitu sih. :v
Bukan gara-gara sering main game perang?
Yaaa, termasuk, tapi bukan yang utama.
Kamu ingat enggak game perang pertama yang kamu mainkan?
Air strike :v
Seriusan nih, apa sih yang menarik dari perang tuh?
Buat seorang bocah yang suka mobil-mobilan sama tentara, tembak tembakan, lalu lihat tank dan ada cerita tentang semuanya dalam satu kejadian dan skalanya masif, of course tertarik sekali kan.
Bisa cerita strategi militer yang kamu tahu?
Blitzkrieg-nya tentara Jerman, tentang koordinasi tentara darat dan udara. Sesuai namanya, taktik perang kilat, jadi tuh dengan koordinasi yang baik dan cepat, pas terjadi pertarungan secara realtime, titik lemah musuh yang terekspos langsung dimanfaatkan, jadi memutari gitu loh. Awalnya misal dimulai dengan serangan frontal ke seluruh titik. Begitu kelihatan titik paling lemahnya, langsung dikerahkan tenaga lebih besar ke titik itu.
Blitzkrieg itu dipakai Jerman di semua pertempuran di Perang Dunia II?
Di setiap gerakan ofensif dipake, paling banyak pas periode awal 1939-1941, terutama di Prancis sama di Uni Soviet, itu yang paling terkenal. Pertempuran yang memakai taktik Blitzkrieg yang terkenal itu kayak penerobosan di hutan Ardennes Belgia buat mutarin garis Maginot [garis pertahanan Prancis di perbatasan sama Jerman, tepatnya di Alsace-Lorraine], lalu di operasi Barbarossa [ofensif Jerman ke Uni Soviet]. Itu setahuku loh ya.
Siapa sih yang pertama kali bikin strategi itu? Emang Hitler yang bikin?
Field Marshall Heinz Guderian. Eh aku enggak yakin ding pangkatnya field marshall atau bukan.
Sejak suka sama tema perang, kamu langsung belajar soal PD II? atau sebelumnya sempat belajar perang-perang di masa yang lain?
Pertama kali aku belajarnya PD II, lalu PD I, lalu perang Napoleon, lalu perang Rusia-Jepang, lalu perang saudara Amerika, cuma aku paling paham di PD II.
Berarti di semua perang yang disebut itu, kamu tahu dikit-dikit lah ya?
Iyap, beberapa.
Menurutmu emang PD II paling menarik?
Yes, [di urutan] kedua PD I.
Di sekolah, pelajaran yang nilainya paling bagus berarti Sejarah dong?
Enggak juga sih.
Lha kok?
Kan [pelajaran Sejarah] enggak selalu melajarin sejarah dunia.
Lalu, apa sih kerennya Hitler dibanding tokoh dunia lain?
Dia kan awalnya cuma anak kere. Lalu dia naik, naik, naik, sampe dipenjara lah, lalu sampe jadi kanselir.
Tapi kan dia membantai jutaan orang.
Ya, itu jeleknya. Bagusnya kan dia naik dengan usaha dan otaknya. Terutama [di] bagian menguasai setengah Eropa-nya. Walaupun dia rasis orangnya.
Jadi, meski kamu tahu dia rasis, kamu tetap suka karena dia cerdas dan pekerja keras, gitu?
Yep. Ya kali kutiru yang rasis sama pembunuhnya.
Emang sisi dia orang kere jadi sukses itu mau kamu tiru?
Enggak gitu juga. Intinya aku suka politik dan militer, dia sukses di keduanya.
Kamu tahu enggak fasisme itu apa?
Aku lupa persisnya. Setahuku fasis itu faham totalitarian, semua [kekuasaan] di tangan kanselirnya kalau enggak salah. Kalau Nazi itu kan juga partai buruh, berdasarkan kebersamaan.
Kamu percaya dan mendukung paham fasisme ala Nazi?
Aku lebih suka sosialis. Supaya kesenjangan sosial enggak ada. Enggak jomplang. Fasisme itu chauvinis juga apa ya? Yang membanggakan bangsanya sendiri.
Iya. Tapi, kalau kamu tahu lebih banyak soal kebrengsekan Hitler dan Nazi, ada kemungkinan bakal berhenti suka?
Enggak, kan aku udah tahu.
Selain Hitler, pemimpin politik dan militer lain yang kamu idolakan siapa?
Militer ya Napoleon. Winston Churchill juga keren.
Sekarang cita-citamu apa?
Wirausaha.
Buset. Oh iya, kamu punya teman yang sama-sama ngefans Hitler?
Ada. Tapi jarang ngobrol. Kalau belajar [sejarah] aku seringnya lewat YouTube sama IG. Kalau YouTube aku ke [ channel] Armchair Historian sama Oversimplified, kalo IG ke Neohistoria.
Oke deh. Aku minta rekomendasi buku atau game perang dong.
Game: Hearts of Iron IV, kalau game hape, World Conqueror. Buku: series-nya Nino Oktorino.

Eh, gimana hasil membaca Mein Kampf?
Belum kubaca, hehe. Capek mataku. Bahasanya keberatan.

Dari obrolan itu, kayaknya bisa kuposisikan ngidolnya adikku ke Hitler lebih mirip temanku yang suka banget sama Pablo Escobar. Masih aman.

Walau, jujur sih, aku tertekan sama pesannya Ivan. Soalnya dari obrolan tersebut, adikku tampak menguasai topik yang dibicarakan, sedangkan aku malah nol besar. OTW masukin “belajar soal perang” di resolusi 2021 deh.