Seperti apa caramu memulai hari? Saya sih biasanya blogging dulu sebelum beranjak dari ranjang setelah matahari menyinari kamar.
Saya bekerja sebagai editor situs pengulas kuliner. Kerjaan saya di situs itu full-time tapi kadang saya masih ngambil tawaran proyek lepasan paruh-waktu. Dengan beban kerja seperti itu, makanya saya harus aktif setiap saat.
Biasanya tiap pukul 6.30 pagi, iPhone saya sudah menyarakan alarm, membangunkan saya dari tidur. Saya langsung ngecek email, log-in ke dalam CMS, mengunggah satu atau dua artikel, sambil menunggu kopi saya jadi. Di sela-selanya saya nge-scroll Twitter untuk mencari berita-berita bidang kuliner yang mungkin muncul ketika saya tidur atau saya lewatkan sehari sebelumnya.
Agak siangan, saya bersepeda ke kantor. Setelah delapan jam, saya pulang sambil mengunjungi restoran untuk bikin preview, dan kalau lagi mood saya mampir ke bar bareng rekan kerja, minum-minum sambil menulis press release atau merespons berbagai masukan dari pembaca.
Videos by VICE
Itulah kegiatan saya nyaris setiap hari.
Apakah kalian yang sedang membaca artikel ini termasuk millennial seperti saya?
Kalau iya, kemungkinan besar alur kehidupanmu sehari-hari tidak jauh berbeda dari saya. Generasi kita adalah segerombolan workaholic—kita demen banget kerja dan menyibukkan diri sama pekerjaan. Kita memandang diri sebagai “martir pekerjaan”, sering tidak menggunakan jatah cuti sampai hangus. Pendapatan millenial 20 persen lebih rendah dibanding generasi baby boomers saat mereka di umur kepala dua atau tiga seperti kita. Mungkin itulah alasan kenapa banyak dari millenials—tepatnya mendekati 30 persen—yang terpaksa mempunyai pekerjaan sampingan: kadang nyupir Uber, ngambil kesempatan freelancing, jadi surveyor, SPG rokok, dan lain sebagainya. Itu baru yang kerja sama orang. Banyak millenial bermental wirausaha. Nah tantangannya tidak jauh beda. Wirausahawan di usia 20’an atau 30 tahun awal di seluruh dunia sekarang dituntut menyeimbangkan pekerjaan utama dengan usaha-usaha kreatif sampingan. Sama-sama stres sih.
Perlu ditegasin dulu nih, saya suka banget lho sama pekerjaan saya sekarang. Saya tidak akan berhenti bekerja dari bidang jurnalisme kuliner, dan saya akan selalu up-to-date dengan email, slack, gchat, dan notifikasi Twitter. Hanya karena beban kerja saya bejibun, bukan berarti saya merasa terbebani.
Kalian pernah baca artikel menganjurkan orang supaya tidak mengecek email kantor setelah jam 6 malam supaya terhindar dari stres? Halah, taek. Omong kosong itu. Enggak mungkin kita bisa menghindari pekerjaan di luar jam kerja. Kecuali kerjaannya memang tidak ada hubungannya sama orang lain, klien, atau semua aspek teknologi informasi.
Tapi artikel kayak gitu ada benarnya. Kebiasaan gila kerja sudah terbukti memicu gangguan kecemasan, depresi, peningkatan berat badan—ya pokoknya yang “bagus-bagus” deh efeknya. Kabarnya workaholisme juga bisa mendorong rusaknya pernikahan (makanya kita agak males buru-buru nikah sih, sepakat enggak yang umurnya masih 20an?)
Beberapa ahli sudah mengkategorikan workaholisme alias kebiasaan gila kerja sebagai gangguan mental. Lalu apa yang kita bisa lakukan—secara realistis—agar tidak jatuh sakit akibat pola hidup ini? Apalagi kalau kita sulit untuk sepenuhnya berhenti, baik karena tidak bisa ataupun tidak mau berhenti jadi workaholic.
Oke, nasehat serius pertama: Kurangi multitasking. Bukan saya yang ngomong nih, tapi dokter beneran yang sudah jadi pakar kesehatan mental.
“Salah satu penyebab millennial sering kelelahan adalah multitasking. Beban kerja yang berat memicu orang melakukan banyak hal bersamaan. Dampaknya banyak orang mengembangkan kebiasaan memikirkan rencana, tanggung jawab, dan tugas mereka di dalam kepala dalam satu waktu,” kata Ashwini Nadkarni, psikiater sekaligus direktur dari digital integrated care di RS Brigham & Women’s.
Nadkarni mengatakan kebiasaan mikir dan melakukan banyak hal berbarengan membuat produktivitas kita turun. Multitasking dan workaholic rupanya tidak bisa digabungkan. Kalau kamu sedang menulis proposal penting tapi diganggu terus oleh notifikasi Google Hangout, pekerjaanmu pasti tidak akan oke hasilnya. Jadi kamu harus pintar-pintar mematikan notifikasi agar tidak menganggu kamu dari apapun yang sedang kamu kerjakan.
Kalau kamu emang sibuk banget, satu kebiasaan ini akan membantu. Yakni cobalah menyisipkan waktu istirahat kilat—biarpun hanya sebentar—dalam jadwal kerja harianmu. Iya, merencanakan waktu istirahat emang kesannya norak, tapi sebenarnya efektif meningkatkan kesehatan mentalmu. “Tidak harus tidur atau selonjoran, tapi intinya aktivitas yang membuatmu bersemangat, bisa meningkatkan mood dan produktivitas,” kata Amy Morin, psikoterapis dan penulis buku best-selling internasional 13 Things Mentally Strong People Don’t Do. “Misalnya, tiap hari luangkan waktu untuk ngobrol sama sahabatmu, atau sisihkan waktu membaca buku favoritmu. Kegiatan-kegiatan kayak gitu dapat menjadi pereda stres sehingga membantumu kembali ke pekerjaan dengan energi dan kesegaran baru.”
Sekali lagi, kita enggak lagi ngomongin ngobrol panjang pas break makan siang lho, tapi lebih kayak curcol WhatsApp 10 menitan atau baca buku beberapa halaman.
Morin sekaligus merekomendasikan menghabiskan waktu di alam bebas—tepatnya jalan-jalan beberapa menit—mengutip kesimpulan penelitian yang menunjukkan ruang hijau meningkatkan kekuatan mental manusia yang mengunjunginya. Biarpun mungkin tidak realistis untuk “mengunjungi alam” selama beberapa jam sehari (kalau kerjamu di lantai 10-an, males banget kan harus ke turun tangga, naik taksi online terus menuju taman kota terdekat), Morin mengatakan paling enggak kamu harus melakukannya sesekali. Ini tak berarti harus ke taman kok. Selain itu tak masalah bila durasinya sangat pendek: seperti meninggalkan ponsel di mobil ketika kamu berbelanja, atau menaruh hape dalam tas ketika kamu sedang makan malam di deretan warung kaki lima.
Sulit meninggalkan ponselmu? Coba matikan notifikasi Slack/Grup WA sebentar, atau tutup tab Gmail-mu. “Istirahat sejenak dari teknologi baik dampaknya baik buat otakmu,” kata Morin. Nadkarni menambahkan satu cara termudah agar tetap waras ketika sibuk bekerja, yaitu memanfaatkan momen-momen senggang yang langka untuk dirimu sendiri.
“Kebanyakan orang yang gila kerja mengatakan mereka tidak mempunyai waktu senggang, tapi kesimpulan ini muncul karena mereka memiliki definisi yang berbeda tentang apa itu waktu senggang,” kata Nadkarni. “Mengurangi stres tidak harus berarti nge-gym sejam atau pergi ke kelas yoga. Bukan juga berarti ngabisin malam di panti pijat. Mengurangi stres bisa dilakukan ketika kamu sedang menuju kantor, makan siang, atau bahkan sedang di toilet.”
Gimana caranya? Nadkarni mengatakan di sinilah latihan ketenangan batin (mindfulness) diperlukan. Intinya, mindfulness itu adalah praktik memfokuskan kesadaran akan diri sendiri di saat itu, membantu kita mematikan mode “autopilot” pikiran dan membuat kita lebih fokus dengan waktu sekarang. Jadi ketika sedang kencing, kencinglah dengan tenang. Cobalah kosongkan pikiran, damaikan hatimu ketika kamu memiliki 30 detik untuk tidak memikirkan apa-apa di toilet.
Dua pakar tadi juga memberi saran pada saya yang kerja di industri media yang ritmenya gegas. Blogging rutin tiap pagi tak masalah, tapi saya dirasankan untuk tidak memaksa memikirkan paragraf pengantar atau judul yang baik seharian penuh. Ambil lima menit untuk berfokus dengan kegiatan sampingan di pagi hari—menikmati secangkir kopi misalnya—atau bau dan rasa kopi di mulut yang baru kita teguk. Saat berangkat menuju kantor? Lupakan ponselmu sebentar dan nikmati bau gerbong KRL atau bus yang kamu naiki (biarpun mungkin gak enak baunya sekalipun—ini nasihat dari Nadkarni lho) dan serap pengalamanmu jadi komuter untuk menangkan pikiran. “Melalui metode mindfulness, kamu bisa belajar untuk mengembangkan tingkat kesadaran yang lebih tinggi di masa sekarang,” ujarnya.
Satu saran terakhir, ingatlah untuk selalu menjaga diri ketika sedang tidak bekerja—memperlakukan tubuh seenaknya dengan selalu mencari-cari kesibukan akan membuat beban kerja semakin berat di masa depan.
“Kurang tidur, tidak berolahraga, dan tidak menjaga makan akan menghancurkan kesehatan dan memperlambat produktivitas—dan kemudian kamu mungkin harus bekerja lebih lama agar pekerjaan cepat selesai,” kata Morin. “Workaholisme bisa menjadi siklus yang kejam. Jadi tidak peduli seberapa sibuk dirimu, tetap jagalah kesehatan.”