Khim Lal Gautam dan Rabin Karki menempuh lapisan salju tebal dipandu Tshiring Jangbu Sherpa, warga setempat yang hafal tiap jengkal rute menuju puncak Everest bagaikan halaman rumahnya sendiri. Ketiganya menjalankan tugas yang diberikan Departemen Statistik dan Survei Nepal. Gautam dan Karki membawa beragam piranti seberat 40 kilogram, termasuk pemancar GNSS serta radar yang bisa ditanam ke dalam lapisan salju. Tugas mereka tidak mudah: mengukur ulang Puncak Everest, gunung tertinggi di dunia.
Mereka sudah memulai misi ini dari Ibu Kota Kathmandu sejak 11 April 2019. Karena Everest adalah medan yang ganasnya tak kenal ampun, proses pengukuran harus ditebus dengan harga yang mahal. Gautam sudah kehilangan satu jempol tangan akibat suhu ekstrem.
Videos by VICE
Pada 21 Mei tahun lalu, ketiganya berhasil naik hingga ketinggian 8.000 meter, tapi terjebak “kemacetan” akibat masih banyaknya pendaki yang berusaha sampai ke puncak Everest. Butuh 24 jam buat Gautam dkk sebelum akhirnya berkesempatan menuju puncak.
Tugas belum selesai. Mereka harus memasang GNSS dan merekam data selama satu jam lebih 16 menit, di suhu minus 78 derajat celcius. Selepas data terekam, ketiganya tanpa buang waktu bergegas turun, mengakhiri misi pengukuran yang amat menyiksa tersebut.
Gunung Everest sejak lama dicatat memiliki ketinggian 8.848 meter, tapi angka tersebut diperoleh dari survei tim India pada 1955. Sejak itu, ada beberapa misi pengukuran sejenis yang dilakukan oleh tim kiriman pemerintah Amerika Serikat, Uni Eropa, hingga Tiongkok. Angkanya selalu berubah, antara 8.884 meter hingga 8.8850 meter.
Nepal akhirnya memutuskan mengirim tim pengukuran sendiri, mengingat 90 persen wilayah Everest berada di negara mereka. Karena keterbatasan teknologi, SDM, dan biaya, negara itu baru berhasil mengirim misi resmi pada 2017. Ada alasan lain Nepal merintis pengukuran tersebut tiga tahun lalu.
“Kemungkinan besar gempa yang dialami Nepal pada 2015 mengubah topografi di pegunungan Everest,” kata Niraj Manandhar, Mantan Diretur Jenderal Departemen Statistik dan Survei Nepal kepada VICE News. “Pengukuran ulang ini bukan tugas mudah, tapi harus dilakukan setelah gempa tersebut.”
Dr. Christopher Pearson, dari University of Otago, Selandia Baru, ditunjuk sebagai penasehat teknis pemerintah Nepal untuk pengukuran ulang. Dia bilang, upaya ini perlu dilakukan selain karena gempa, juga lantaran teknologi bertambah presisi.
Data dari tim di lapangan akan dicocokkan dengan citra satelit. Dia yakin, proses pengukuran yang dilakukan Nepal akan menyediakan angka ketinggian Everest secara lebih akurat. “Selain itu, survei ini perlu memantau ketebalan lapisan es di puncak tertinggi dunia,” kata Pearson kepada VICE News. Perubahan iklim diyakini ilmuwan menggerus es abadi, sehingga ketinggian Everest turut terpengaruh olehnya.
Nepal menjadikan misi ini sebagai salah satu proyek penting nasional. Dana pengukuran ulang Everest mencapai US$1,3 juta (setara Rp19 miliar), disokong pula bantuan teknologi oleh enam lembaga donor asing.
“Proses pengukuran kali ini berbeda dengan misi-misi sebelumnya, karena ada kombinasi antara survei lapangan dengan teknologi pengindraan jauh termutakhir,” kat Susheel Dongol, mewakili Departemen Statistik dan Survei Nepal.
Metode tradisional yang selama ini dipakai adalah memulai pengukuran dari basecamp pertama, menarik garis lurus hingga permukaan tertinggi Everest. Sementara, karena misi Nepal sekarang melibatkan pengindraan jauh, maka angka yang dikirim Gautam dkk dapat dikombinasikan dengan koordinat yang terbaca dari satelit, berdasarkan ketinggian ellipsoidal (bukan lagi dibandingkan dengan permukaan laut).
Ada 12 titik pos pemantauan yang dikunjungi tim survei lapangan sebelum sampai puncak, sementara gravimeter dipasang di 298 titik. Kesalahan pengukuran diyakini hanya akan terjadi dalam hitungan cm.
Gabungan dua metode ini, menurut Pearson, mengurangi risiko yang selama ini menghantui upaya pengukuran Everest yakni problem pembiasan cahaya. “Tim survei lapangan sebelumnya cenderung termakan persepsi gunungnya jadi lebih besar atau kecil, gara-gara efek cuaca tersebut,” tandasnya.
Meski tiga orang itu yang menempuh marabahaya hingga puncak, tapi proses pengukuran sebenarnya melibatkan lebih dari 80 orang.
Angka ketinggian terbaru Gunung Everest sebetulnya sudah didapat oleh Nepal. Namun data dari tahun lalu itu untuk sementara masih disimpan, karena ada ketegangan diplomatik dengan Tiongkok. Dua negara itu saling mengklaim sebagai “pemilik sah” Everest. Di Nepal, penduduk setempat menamai Everest sebagai Sagarmatha. Sementara orang Cina menjuluki puncak tertinggi dunia dengan nama Zhumulangma.
Realitasnya, hanya ada sebagian lereng Everest yang menuju rute Tibet, wilayah pendudukan Tiongkok. Mayoritas pegunungan Himalaya berada di Nepal, dan turis yang ingin mendaki 95 persen memanfaatkan jalur dari Kathmandu lantaran Tiongkok membatasi akses orang asing ke Tibet.
Namun, pada Oktober 2019, Tiongkok melakukan manuver dengan ikut mengumumkan adanya upaya pengukuran Everest, ketika tim Nepal sudah separuh jalan. Presiden Xi Jinping tahun lalu melawat ke Kathmandu, lalu secara tidak langsung mendesak Nepal agar mengumumkan angka ketinggian terbaru Everest bersama-sama. Sampai sekarang, ketinggian Everest belum bisa diumumkan ke publik, karena tim Nepal terpaksa menunggu selesainya pengukuran terpisah yang dilakukan ilmuwan Tiongkok.
Salah satu pejabat di Departemen Statistik dan Survei Nepal, yang meminta namanya disamarkan karena sensitifnya topik ini, menyesalkan politisasi misi ilmiah Everest oleh Tiongkok. Dia sakit hati, karena keputusan Perdana Menteri Nepal “menerima” tawaran pengukuran bersama dengan Tiongkok baru diberitahukan padanya 10 hari setelah seremoni kedua pemimpin.
Tak ada informasi apapun sebelumnya yang didapat para ilmuwan Nepal yang terlibat proyek sejak 2017. “Akibatnya tidak jelas sekarang kapan pengumuman pengukuran bisa kami sampaikan kepada masyarakat,” ujarnya.
Kedua negara sempat berpegang pada angka yang berbeda di masa lalu. Pada 2005, Tiongkok secara sepihak mengumumkan bahwa ketinggian Everest adalah 8.848 meter, lebih rendah 3,7 meter dari angka yang dipegang pemerintah Nepal.
Sempat ada ketegangan dari komunitas ilmiah Nepal, namun kedua negara berusaha mengakhiri debat pada 2010, dengan Tiongkok menerima angka dari Nepal. Kini, potensi debat macam itu hendak diakhiri lewat metode ilmiah yang canggih, namun ternyata politik kembali merasuki misi pengukuran Everest.
Follow Abha Lal di Twitter.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE India