“Confessions” adalah seri artikel VICE memuat cerita pengalaman pribadi yang disembunyikan banyak orang, terutama soal kesehatan mental, fobia, dan bermacam pikiran gelap. Melalui pengakuan para narasumber dalam seri ini, redaksi berharap pembaca sekalian bisa mendapat inspirasi, keberanian, serta perasaan lebih ringan menghadapi problem-problem kejiwaan yang sedang dihadapi. Sebab, seunik apapun ketakutan, depresi, trauma; atau seaneh apapun pengalaman seseorang dalam hidupnya, selalu ada orang di luar sana yang mengalami hal serupa—kalian tidak sendirian.
Saat itu siang sedang cerah sekali, pada pertengahan Agustus 2015. Aku mampir ke restoran langganan di pinggir Sydney, menerima telepon dari sahabat baikku, Paul. Dia mengajakku minum-minum malamnya, sambil menikmati seafood di kawasan pelabuhan. Tentu ajakannya kuterima. Namun, itu terakhir kali Paul menelepon siapapun di dunia ini.
Videos by VICE
Saat Paul tewas mendadak, aku masih menjadi salah satu anggota senior geng motor “Mongols”, yang dianggap sebagai organisasi kriminal oleh kepolisian Australia. Geng kami mengedarkan narkoba, kerap bikin onar, dan sering menghabiskan malam dalam keadaan teler karena berpesta hingga pagi menjelang. Sudah lazim bila kafe dan bar di berbagai kota melarang anggota geng motor masuk supaya tidak merusuh.
Di hari Paul meninggal, aku sedang menengok nenekku yang harus dirawat di RS karena mengalami gejala stroke ringan. Sebuah pesan masuk di Facebook Messenger, dari kawan lain yang mengabarkan kemungkinan telah terjadi insiden serius di rumah Paul. Banyak mobil polisi parkir di depan rumahnya. Akses jalan ke gang rumahnya ditutup garis polisi.
Sepupuku yang pertama kali memastikan Paul tewas. Usianya baru 24 tahun ketika kedua orang tuanya mendapati jasad anak mereka bersimbah darah, dengan luka menganga akibat peluru menembus salah satu matanya. Dia tak bisa dimakamkan dengan peti mati terbuka. Apakah dia bunuh diri? Atau dibunuh geng rival? Tidak ada yang tahu. Polisi pun tak sanggup menyimpulkan apa-apa. Kami, sahabat-sahabatnya yang ditinggalkan mendadak, terkejut luar biasa.
Ada rasa sendu, getir, sedih, marah, takut, sekaligus gelisah bercampur jadi satu. Aku seperti mati rasa sesaat. Di film biasanya ada adegan gagang telepon jatuh atau gelas yang dipegang tokoh utama pecah karena terkejut dapat kabar buruk. Sementara yang kualami, bukan cuma barang yang pecah. Seluruh pondasi keyakinanku ikut hancur berantakan.
Aku berusaha melupakan kematian misterius Paul dengan menenggak banyak dosis Oxycontin. Aku sering terbagun akibat mimpi buruk. Aku terus-terusan capek. Kawan-kawan geng sampai minta selalu ada yang mengakaku tiap minum obat penenang, supaya tidak terjadi apa-apa.
Setelah enam bulan kondisiku seperti itu terus, aku tidak tahan lagi. Aku merasa akan senantiasa hidup sendu, karena dikelilingi orang-orang beringas, para preman jalanan Australia. Kenalanku jarang sekali manusia dengan “kerjaan bener.” Rata-rata bekas napi, pengedar aktif, dan anggota geng kriminal. Dulu aku tak pernah mempertanyakan latar belakang mereka. Tapi, sejak Paul mati, melihat manusia di sekeliingku macam itu, pikiranku selalu kacau.
Aku sudah lupa bagaimana persisnya. Tapi aku tiba-tiba saja memutuskan minta bantuan psikiater. Tidak ada yang memaksa. Aku ingin bantuan profesional.
Di pertemuan pertama, dokter bertanya dengan lugas, “sudah ada yang kamu ajak membicarakan persoalan ini?”
Kujawab, “tidak”, sebab curhat bukan karakter seorang preman. Di dunia kami, jarang sekali orang terbuka membicarakan masalah pribadi saat nongkrong bareng. Kalau memang sedang stres, solusi satu-satunya di lingkunganku adalah menenggak narkoba.
Setelah dua kali pertemuan lanjutan dan menjalani tes, psikiater memastikan aku mengidap sindrom stres pascatrauma (PTSD). Efeknya, mood-ku tidak pernah bisa berubah dengan wajar. Aku bisa marah besar lalu kalem banget dalam waktu singkat. Menurut penilaian dokter, aku terlalu sering mengubur perasaanku dan tidak membicarakannya terbuka pada orang lain.
Psikiater memberiku resep legal untuk mengonsumsi Prozac dan Seroquel. Selain itu, aku wajib mengikuti konsultasi rutin dengan psikolog agar gangguan mentalku dapat berkurang intensitasnya. Sayangnya, beda dengan sang psikiater, sosok psikolog yang kutemui agak menyebalkan. Intinya, kami kurang cocok dengan satu sama lain. Aku berhenti datang ke tempat praktiknya setelah beberapa sesi konsultasi saja.
Aku kembali lari ke obat-obatan. Mabuk terasa lebih simpel daripada harus terbuka sama orang lain. Namun, jangan dikira tak ada harga yang harus dibayar. Keseringan mabuk obat tidur/pil penenang membuat libidoku anjlok parah. Mataku sering berkabut. Aku sama sekali tidak bisa fokus beraktivitas, apalagi bekerja.
Aku ingin memulai hidup dengan lembaran baru. Tapi jerat obat-obatan penenang serta lingkarang pergaulan yang mudah memasok narkoba membuatku sulit lepas. Maka, keputusan ekstrem terpaksa kuambil. Aku sepenuhnya keluar dari geng motor. Keputusan ini sulit diterima petinggi geng lainnya. Aku juga memutuskan kontak dari lingkaran pergaulan selama ini. Aku ganti nomor, beli ponsel yang nomor id caller-nya bisa dienkripsi, menghapus semua akun medsos, lantas kembali meneruskan kuliah yang terbengkalai. Tidak ada lagi hidup bebas di jalanan dan mabuk-mabukan sampai pagi. Aku bertahan di kamar kos sempit yang kusewa ini.
Beberapa bulan setelah menjalani hidup macam itu, siapa sangka, pola pikirku berubah drastis.
Semasa remaja, aku dengan sadar gabung geng motor supaya merasa diterima oleh (sebagian) masyarakat. Aku jadi korban KDRT oleh orang tuaku sendiri. Sebagai anak, aku tidak pernah merasa diterima oleh mereka. Hanya teman-teman geng motor itu yang mau menerima semua kekurangan sekaligus kelebihanku.
Lepas dari obat dan kehidupan geng jalanan membuatku sadar, aku tidak sedang menyelesaikan persoalan pribadi. Aku cuma lari dari masalah-masalah tersebut dengan mabuk hampir tiap hari. Aku harus menghadapi trauma yang menghantuiku akibat gabung dengan kehidupan geng kriminal. Bukan cuma kematian Paul, tapi juga bermacam kekerasan dan hal rahasia lain yang tak bisa kami ucapkan ke orang di luar komunitas. Aku harus menghadapi penyebab PTSD, bukannya lari.
Keputusan kembali kuliah itu yang ikut berperan mengubah pola pikirku. Aku jadi rajin membaca jurnal ilmiah. Di satu artikel, aku membaca potensi pengembangan jamur tahi menjadi obat anti-depressan yang dilaksanakan gabungan kampus berbagai negara. Jamur tahi (populer disebut ‘magic mushroom’),relatif tidak punya efek ketagihan dan aman bagi tubuh.
Informasi itu segera kupraktikkan sendiri. Aku menjajal jamur tahi dalam dosis ringan. Luar biasa. Aku seharian tertawa ngakak dan menangis kencang, tapi tubuh dan pikiranku terasa lebih rileks. Sensasinya beda banget dari obat penenang yang diresepkan psikiater. Aku tidak pernah merasa mata ini berkabut. Semua berkat kajian ilmiah lintas kampus mempelajari manfaat jamur tahi. Bayangkan, jamur tahi.
Dari situ, aku percaya, ilmu pengetahuan itu hal yang penting untuk bertahan hidup di dunia. Jangan bangga jadi orang goblok yang merasa sudah punya segala-galanya, hanya karena kita diterima di suatu komunitas. Tapi aku sadar, tidak bisa terus-terusan menenggak jamur tahi supaya depresiku sembuh. Aku tak lagi mengonsumsi jamur setelah dua kali eksperimen. Aku beralih ke latihan tinju.
Tiga tahun setelah tragedi yang menimpa Paul, teman lainnya ditembak mati seseorang di jalanan dekat rumah pamanku. JAku membayangkan jasad kawanku itu, yang teronggok tanpa “harga” di trotoar itu bisa jadi siapapun. Bisa adikku sendiri, ayahku, teman nongkrong, atau diriku sendiri. Apa iya aku mau hidup seperti ini selamanya?
Mati itu sederhana kok. Mereka yang kehilangan nyawa tak merasakan sakit. Justru kita yang masih hidup, terutama yang menyayangi mendiang, yang paling kehilangan dan terpukul. Ibu mendiang kawanku sampai diwawancarai TV lokal, berharap pelaku menyerahkan diri supaya anaknya tenang di alam baka. Usianya masih 20 tahun.
Preman jalanan kerap bersikap sok jago buat hal-hal tak penting. Sikap jagoan itu, aku yakin, segera hilang ketika dia harus datang ke pemakaman sobatnya yang sama-sama meninggal misterius. Kami hanya bisa menerka-nerka, apakah mereka berdua mati karena gabung geng kami? Atau ada sebab lain?
Sayangnya, PTSD itu terus menghampiriku. Saat antre beli kopi, atau di tengah rapat kantor, tiba-tiba menyelinap perasaan bersalah. Harusnya aku bisa melindungi kawan-kawanku itu. Aku harus membalas geng musuh dengan ganti membantai anggota mereka. Kadang, ketika pikiran gelap itu datang, aku mengunci diri di kamar dan tidak ngomong sama siapapun.
Sampai kemudian, psikiater yang kutemui menyarankan terapi lain: psikoanalisis. Sebenarnya ini hanya variasi terapi psikologi, tapi dengan fokus lebih besar menggali semua yang ada di pikiranku sampai tidak ada sisa. Termasuk pikiran-pikiran gelap. Semua hal yang masuk alam bawah sadar, kalau menyitir teori bapak psikoanalis Sigmund Freud.
Kesan pertamaku bertemu praktisi psikoanalis itu sangat positif. Dia datang dengan pembawaan santai. Pakai jaket bomber hijau dan sepatu Doc Martens. Hebatnya lagi, dia jujur. Itu gaya pakaiannya sehari-hari andai tidak praktik di kantor. Dia tidak berpakaian formal untuk menemaniku terapi, atau berpura-pura sok pakai street fashion karena tahu kliennya orang yang dulu percaya kredo ‘Thug Life forever’.
Rupanya, metode psikoanalisis ini yang paling efektif untuk terapiku. Aku tidak sekadar dikasih resep dan curhat seadanya sama psikiater. Atau malah merasa emosi dengan gerak-gerik sotoy psikolog yang mendampingiku sebelumnya. Pembawaan sang psikoanalis di hadapanku kalem saja. Dia tetap profesional, sekalipun dandanannya seperti bocah selesai puber menjiwai street fashion.
Dia membantuku mengungkap semua beban yang ada di kepala. Semua rahasia, semua pengakuan dosa. Metode wawancara ala psikoanalis dengan efisien memanduku agar terbuka membicarakan rasa penyesalan dan bersalah; karena tidak solider dengan geng, meninggalkan mereka, serta menyaksikan sahabat-sahabatku mati begitu saja seperti tikus got.
Lucunya, psikoanalis yang kami temui irit sekali bertanya atau ngasih nasehat hidup. Aku yang lebih sering bicara. Dan itupun sering awkward, karena masing-masing dari kami canggung memulai sesi. Di tengah keheningan macam itu, dan bahasa tubuhnya yang seakan berjanji tidak menatapku dengan pikiran menghakimi, aku nyaman menceritakan semua keluh kesahku menjalani hidup sebagai anggota geng motor kriminal.
Aku terbiasa bohong karena kehidupan geng. Aku terbiasa menutupi perasaan. Orang jujur cepat mati dalam dunia yang dulu aku geluti. Kalau kamu sampai curhat dan kepergok temanmu sedih, kamu akan dicap lelaki lemah yang tak pantas gabung geng.
Memang, sesi psikoanalisis tersebut lebih mahal daripada konsulatasi sebelumnya. Tapi hidupku terbukti kini lebih baik. Nyatanya aku bisa menuliskan ulang semua pengalaman tersebut. Aku tidak bilang psikoanalisis jauh lebih baik daripada terapi obat dan curhat nanggung dengan psikolog. Bedanya, kamu akan sering mendapat susunan pertanyaan yang akan membantumu keceplosan mengungkap rahasia diri terbesar.
Saran terbaik yang diberikan sang psikoanalis padaku sederhana: catat semua perasaan harianmu. Maka, aku jadi rajin menulis, termasuk di notes Facebook, Tumblr, dan banyak lagi. Aku menulis, dan menulis, dan menulis. Tulisan singkatku soal mood harian itu akan kubaca ulang keesokan atau lusanya. Sekali lagi, terapi psikoanalisis yang menuntut pasien lebih aktif bercerita, jelas tidak cocok buat semua orang. Tapi, yang bisa kubilang, aku yakin berkat sesi psikoanalis efek buruk PTSD yang kualami kini berubah drastis.
Aku juga bisa bilang, sudah sepenuhnya lepas dari masa lalu. Aku tak lagi jadi buronan dan dilarang masuk beberapa bar seperti zaman remaja dulu. Aku tidak harus menyembunyikan wajah menghadap tembok di restoran, supaya tidak terpantau intel polisi. Aku pun kini bebas menuliskan pengalaman buruk di masa lalu tersebut lewat media. Aku menulis ini bukan cuma untuk kalian, yang tak pernah hidup di lingkungan geng. Tulisan ini juga kupersembahkan buat kawan-kawanku yang masih aktif di jalan. Percayalah, masih ada harapan di luar sana.
Follow Mahmood di Twitter
Artikel ini pertama kali tayang di VICE Australia