Music

Baca Cuplikan Buku Roger Miret Membahas Awal Karir Agnostic Front

Artikel ini pertama kali tayang di Noisey

Awal dekade ‘80an, Agnostic Front adalah band paling gahar di Amerika Serikat. Album panjang pertama mereka Victim in Pain masih dikenang sebagai album terkeras dari ranah punk/hardcore yang pernah dirilis oleh manusia. Direkam di Demo Demo Studios oleh produser legendaris Don Fury, 11 lagu dalam album tersebut meletakkan dasar-dasar bagi sound hardcore punk. Lebih dari itu, satu track dalam album itu, “Blind Justice,” di mana Roger Miret berteriak “There’s no justice, it’s just us,” didampuk sebagai anthem kaum skinhead.

Videos by VICE

Dilahirkan di Kuba, Miret dan keluarganya kabur dari rezim Fidel Castro menuju Amerika Serikat. Di usia mudanya, Miret kerap berkeliaran di kawasan Lower East Side pada dekade ‘70an dan awal ‘80an. Terhimpit oleh kemiskinan dan kekerasan, Roger menemukan rumah di kancah punk setempat. Miret lantas mendirikan band pertamanya The Psychos dan kemudian bergabung dengan salah satu pilar penting skena NYHC, Agnostic Front. Miret juga merasakan kerasnya kehidupan penjara karena pernah terlibat dalam jaringan peredaran narkoba di New York. Namun, Roger akhirnta insyaf dan kembali menggeluti musik, wabilkhusus musik di kancah hardcore.

Sebuah buku yang dilepas setahun lalu MY RIOT: Agnostic Front, Grit, Guts, & Glory memberi kesempatan pembacanya untuk menelusuri petualangan Roger Miret dan, pada akhirnya, kelahiran kancah hardcore di New York.

Kami melakukan wawancara singkat dengan Miret, seorang tokoh penting skena NYHC yang kini sibuk jadi seorang ayah. Tak hanya berbaik hati menjawab pertanyaan kami, Miret juga mengirimkan nukilan buku My Riot yang salah satunya mencakup pertemuannya dengan gitaris Agnostic Front, Vinnie Stigma.

Noisey: Halo Miret. Bagaimana prosesmu menulis My Riot? Apakah kamu kesusahan mengenang masa-masa awal kancah hardcore New York?
Roger Miret: Menulis buku ini adalah pekerjaan paling berat seumur hidupku. Kalau cuma mengingat momen-momen penting dalam hidup saya sih enggak terlalu susah, yang ribet adalah menambah-nambahi detailnya biar aku bisa menceritakannya seakurat mungkin. Buku ini penuh ingatan saya tentang pertemuan-pertemuanku dengan orang lain di NYHC, tapi orang-orang itu bisa saja punya kenangan berbeda tentang pertemuan kami. Aku enggak menyadari ini sampai aku mengenang kembali masa-masa itu bersama beberapa teman. Ini benar-benar menyenangkan, menarik dan menantang!

Nukilan buku yang kamu kirimkan memuat bagian saat kamu sadar sebagian orang mengaitkan Agnostic Front dengan skena skinhead dan punk yang rasis, pendapat kamu sendiri bagaimana?
Semua itu berawal dari tur Amerika Serikat pertama kami. Begitu kami sampai di kawasan West Coast, aku baru sadar apa yang dibahas oleh MaximumRocknroll tentang kami selama ini. Seperti yang saya sebutkan dalam buku ini, cap Agnostic Front sebagai band yang dekat dengan kaum skinhead dan punk yang rasis terbawa sampai kami pulang ke New York. Cap ini juga bikin segalanya jadi runyam. Aku enggak menyadari hal ini karena aku tinggal di NYC, tempat bertemunya segala macam ras, agama dan budaya. Aku baru sadar kebencian pada ras tertentu mulai terasa kira-kira awal tahun 1984. Itulah inspirasiku menulis lagi tentang kesatuan dan kekuatan dalam skena hardcore kami.

Di buku itu, kamu tulis kalau 16 Juli 1982 Dead Kennedys, D.O.A, SSD dan Kraut manggung bareng di Paramount Theater, Staten Island sampai berakhir rusuh. Bisa dijelaskan kronologinya?
Insiden yang terjadi pada show itu enggak bisa dikategorikan sebagai “kekerasan” dalam skena. Yang terjadi adalah konfrontasi dengan penduduk setempat yang enggak paham pergerakan hardcore punk. Waktu itu, punk belum diterima dan dipahami sepeti sekarang. Imbasnya, manggung di kawasan tertentu bisa jadi tantangan tersendiri. Sebagian besar gig hardcore punk digelar di kawaan paling paring parah dari sebuah kota. Makanya, pergi nonton gig-gig itu adalah sebuah komitmen dan risiko besar yang harus diambil. Justru itu yang bikin menarik. Aku kangen elemen berbahaya saat pergi ke sebuah gig. Bermacam bahaya ini juga membuat NYHC menjelma menjadi sebuah skena kuat dan paten. Meski begitu, aku enggak merestui kekerasan dalam gig-gig kami. Aku benci kekerasan dan enggak pernah mentolerirnya. Kalau sudah rusuh, aku mendingan berhenti main dan cabut dari panggung.

Buku ini juga dengan baik menggambarkan pengalamanmu menonton penampilan Fear di acara Saturday Night Live yang sekarang sudah jadi legenda televisi AS.
Emang kacau tuh. Kami tahu bahwa bakal kacau tapi engak tahu pas kapan. SNL enggak tahu juga apa yang akan terjadi dan enggak bisa menanganinya dengan baik. sebelumnya gabung dengan Agnostic Front, aku cuma seorang penonton yang taat karena aku seorang introvert. Aku suka nonton kekacauan berlangsung di depan mukaku.

Silakan baca nukilan bab awal buku Miret di bawah ini:


Aku pertama kali melihat Vinnie pada tanggal 14 Oktober 1981 di Peppermint Lounge. The Stimulators dan The Professionals (salah satu anggotanya adalah Steve Jones) sedang manggung, dan Vinnie adalah seorang maniak. Vinnie tengah beraksi di lantai, melakukan tarian-tarian gila. Aku berdiri di balkoni, menatap ke bawah. Aku sedang mengonsumsi mescaline. Ini alasan aku ada di balkoni, bukan di bawah bersama Vinnie.

Tiap kali mengonsumsi mescaline, aku menarik diri dari dunia dan anteng dengan diriku sendiri. Aku selalu merasa kuatir, kayaknya ada sesuatu yang buruk yang akan terjadi. Aku tak tahu kenapa aku sering mengonsumsi mescaline, tapi aku sering banget melakukannya. Dalam keadaan teler dan sadar betul akan ketakutanku, aku mencari segala sesuatu yang paling bikin aku takut di sekitarku. Mungkin ini cara mekanisme bertahanku bekerja. Apapun itu, aku merasa itu menyenangkan. Saat itu, Vinnie adalah orang paling gila dan kasar yang pernah aku lihat. Dia moshing keras sekali, melawan arah dalam pit. Biasanya, orang-orang yang moshing dalam pit berputar satu arah seperti sepotong kayu di pusaran air. Vinnie beda lagi. Dia moshing mirip kayak ikan salmon berenang melawan alur sungai dan dia melakukannya tepat di tengah pit. Semua yang berada di dalam pit bergerak ke satu arah, Vinnie dengan seenaknya berjoget melawan arus, menabrak banyak orang dengan picingan mata yang gila. Dia di sana bersama Big Paul, seorang skinhead Amerika yang baik hati.

Di Inggris, skinhead adalah sekumpulan orang goblok. Mereka penuh rasa benci dan dengki. Sudah gitu, kebanyakan dari mereka mendukung supremasi kulit putih. Skinhead Inggris doyan sekali mengejar-ngejar kaum gay dan menghajar orang hitam dan kaum minoritas lainnya. Aku tak mengabaikan pesan-pesan dalam musik-musik yang aku gemari. Aku selalu memikirkan dalam-dalam apa yang disampaikan sebuah band dalam lirik mereka. Aku jelas tak pernah menyenangi band-band yang rasis dan berisi para bigot. Aku benci sebenci bencinya pada apa yang diusung band-band itu—termasuk pengikutnya. Aku tak mau sama sekali dikait-kaitkan dengan mereka. Sayangnya, segala sesuatu tak segamblang dan sejelas itu.

Agnostic Front tampil di klub legenrasi CBGB pada 1983. Foto oleh: Amy Keim

Musik itu lucu; kadang musik mampu membutakan. Kalau musiknya catchy dan keren, kamu bisa saja abai dengan liriknya yang culun atau pesan sumir di belakangnya, apalagi saat kamu masih belia, bego dan punk abis.

Daya kejut musik juga bisa merusak logika berpikirmu. Maksudku begini. Aku pernah loh melihat band punk kulit hitam yang dengan bangga pakai pin swastika. Ini konyol kan? Makanya, begitu White Power jadi genre hardcore dengan agenda-agenda penuh kebencian, kami lekas memboikot genre dan mentalitas tersebut. Ada beberapa orang yang diam-diam—atau enggak diam-diam banget sih—terus mengusung nilai-nilai supremasi kulit putih. Alasannya karena mereka ngefan musiknya atau karena delusi ideologis semata.

Di awal-awal skena NYHC, selama kamu menghormati orang lain dan tak campur tangan dalam urusan mereka, orang akan woles-woles saja. Cuma masa-masa ini akhirnya lewat juga. Skena NYHC berkembang dengan pesat dan menjadi sangat multikultur. Ini tak bisa diterima begitu saja oleh para bigot di dalam skena. Sebagian yang diam-diam gembira dengan makin beragamnya skena NYHC mengambil pendekatan yang lebih subtil. Sebagian lagi, terang-terangan menyambut dengan tangan terbuka keberagaman ini.

Pendekatan inilah yang menginspirasiku menulis lagu-lagu untuk album panjang pertama kami, Victim in Pain. lagu-lagu seperti “United and Strong,” “Fascist Attitudes,” dan “Your Mistake,” fokusnya untuk menyatukan anak-anak NYHC. Baca saja liriknya!

Sayangnya, bahkan sebelum kami berupaya memupuk persatuan dan mengenyahkan kebencian dalam skena NYHC, beberapa orang-orang yang terlibat di dalamnya sudah lebih dahulu membentuk opini. Mereka jelas tak pernah menyetel dan membaca lirik Victim In Pain! Mereka juga tak sadar kalau saya adalah seorang imigran dari Kuba. Aku dibesarkan di sebuah lingkungan yang merayakan keberagaman, baik di New Jersey dan New York. Aku punya teman dari beragam latar belakang dan persahabatan kami masih terjaga hingga kini.


Tonton juga dokumenter VICE soal persekusi terhadap komunitas punk di Aceh:


Di akhir dekade ‘80an, setelah mayoritas menggambarkan komunitas skinhead sebagai sebuah golongan yang sepenuhnya mengusung supremasi kulit putih, muncul reaksi yang lebih keras terhadap subgenre Skinhead yang kental dengan pesan-pesan White Power. Kami menarik garis batas yang membedakan kami dan mereka. Menurutku, sangat disayangkan sekali media tak pernah menuli tentang sisi multi rasial dalam skena NYHC. Apa mau dikata, barangkali berita seperti tak bisa melonjakkan oplah. Berita tentang kebencian, sebaliknya, bikin surat kabar laris manis.

Inspirasiku menjadi skinhead Amerika diambil dari band-band seperti Iron Cross dan The Effigies. Jelas, enggak semua skinhead Inggris itu bigot. Kalau bukan karena Sham 69, Cockney Rejects, The Business, atau The Last Resort, aku mungkin tak bisa menulis lagu-lagu kelas pekerja yang keren dan menemukan band-band skinhead Amerika.

Elio adalah orang pertama yang saya kenal yang berdandan seperti seorang skinhead di skena New Jersey. Dia memang orang Inggris. Rambutnya selalu dipotong pendek. Elio selalu mengenakan kemeja Ben Sherman, celana panjang ketat, brace dan boot Dr. Marteen. Kami, waktu itu, umumnya memakai sepatu personel militer Amerika, T-shirt band kesukaan kami (yang tentunya kami bikin sendiri), jeans bolong-bolong dan gelang paku. Kami punya cara berpakaian sendiri. Cuma, ini semua terjadi sebelum kami khawatir kaum fasis menyambangi gig-gig hardcore di New Jersey.

Kami datang dari New York dan New Jersey. Kami bersama berdampingan dengan orang-orang yang memiliki ras, agama dan warna kulit yang beragam. Inilah asal muasal keragaman dalam skena hardcore. Kami menyambut dengan tangan terbuka semua orang selama mereka punya selera musik yang sama. Kami tak jeri membuat orang lain tersinggung. Kami suka itu. Menghina orang lain itu dan menjadi keras kepala itu menyenangkan. Hanya saja ada satu batasan yang tak bisa kami langgar: kami tak pernah sama sekali menghina atau merendahkan anggota satu ras tertentu. Kami tak pernah setuju sama rasisme.

The Psychos tak pernah benar-benar besar hingga bisa mengundang beragam penonton. Chessie selalu datang ke gig kami. Dia adalah salah satu dari sedikit cewek di skena hardcore—di samping pacarnya Billy, Kitty Hawk dari Killer Instinct dan sepupuku sekaligus pacarnya Tito, Laurie. Kami juga dekat dengan beberapa anak hardcore, segelintir skinhead New York dan satu dua anak punk. Kala itu, ada dinding besar yang memisahkan punk dan hardcore. Aku untungnya selalu menyukai keduanya. Sayangnya, punk bagi saya kelewat nyeni, punya kecenderungan menghancurkan diri dan bunuh diri yang besar. Banyak sekali musisi dan penyuka punk yang kecanduan narkoba. Parahnya, mereka tak cuma “nyuntik” pas lagi depresi doang. Ini jauh dari kesan positif. Hardcore itu keras, tapi keras yang asik—selebrasi dekaden akan penghancuran dan kekacauan.

Waktu aku belum kenal heroin sama sekali. Lalu pada tanggal 30 Oktober 1981, aku nonton gig di The Misfits dengan seorang gadis. Namanya Zoe. kami baru saja pacaran. Itulah saat pertama kali aku mencicipi bubuk laknat itu. The Misfits bermain di Ukriane Hall bareng Necros. Aku kegirangan seeprti anak kecil, meloncat-loncat tanpa henti sambil memegang pundak Zoe. Aku pikir Zoe sama senangnya menonton The Misfits. Sebelum konser malam itu selesai, Zoe minta izin ke kamar kecil. Mungkin mau buang air kecil, pikirku. Wajarlah, malam itu kami minum banyak sekali bir. Aku juga mau kencing, tapi emoh melewatkan konser barang sedetik pun. Setelah akhirnya bisa ke kamar kecil dan membuang seluruh isi kantong kemihku, aku kembali semangat. Mood-ku sedang bagus kala itu.

Kami kembali ke mobil Zoe, aku bisa melihat dia sepertinya sudah capek. Aku pikir. “Wah dia kepayahan karena lompat-lompat sepanjang konser.” Ternyata, dia mengonsumsi banyak heroin selama konser dan imbasnya baru terasa. Alkohol yang dia konsumsi butuh beberapa saat untuk sampai di aliran darahnya. Entahlah, malam itu aku pikir dia bisa menyetir. Zoe duduk di kursi supir. Bahkan sebelum menyalakan mobil, dia ambruk.

Aku tak sadar kalau dia OD. saat itu, aku belum mencicipi dengan narkoba berbahaya macam kokain. Aku tak tahu bagaimana bentuk orang yang kebanyakan mengonsumsi obat-obatan terlarang. Aku tak melihat dia nyuntik. Mungkin dia melakukannya di kamar kecil. Aku berusaha mengoyang-goyang tubuhnya. Zoe dia sama sekali tak bergerak sama sekali. Ada liur berbusa yang keluar dari pinggir bibirnya. Aku tak bisa memastikan apa dia masih bernapas. Posisi kami waktu itu ada tepat di samping St. Mark’s Place. Dan lantaran konsernya baru saja bubar, ada banyak sekali orang dan polisi di jalan hari itu. Aku akhirnya menghampiri salah satu polisi.

“Hai, ada yang salah di sini! Aku lihat seorang cewek di mobilnya. Aku pikir dia tidur, ternyata dia enggak gerak sama sekali.”

Aku pura-pura baru lihat Zoe OD karena waktu itu aku lagi agak teler dan tak mau dicokok polisi. Polisi yang tadi aku hampiri segera memerisa Zoe dan meneriakan sesuatu ke walkie-talkienya. Sebelum aku bisa bertanya apa yang terjadi, ambulans tiba di lokasi. Petugas medis meloncat keluar dari dalam ambulan, menggotong Zoe dan membawanya pergi.

Aku tak tahu Zoe diangkut ke mana. Aku enggak pernah mendengar kabarnya. Aku enggak tahu apa dia kejang-kejang, kena serangan jantung atau aneurisma otak. Aku mengontak salah satu temannya karena penasaran. Darinya, aku dapat kabar kalau Zoe OD. dia orang pertama yang aku kenal yang OD. Konon, sejumlah doktor berhasil menyelamatkan namanya. Akan tetapi, setelah itu Zoe menjauhi skena punk. Atau mungkin orang tuanyalah yang menariknya jauh-jauh dari punk. Aku enggak tahu. Aku enggak ketemu dia lagi.

Agnostic Front tampil di CBGB pada 1983. Foto oleh: Amy Keim

Aku juga butuh waktu memahami apa yang terjadi di malam Halloween, ketika Fear mangung di Saturday Night Live. John Belushi, salah satu fan terbesar skena NYHC, mendesak produser SNL, Lorne Michaels, untuk mengundang Fear. Vokalis Minor Threat Ian McKaye dan beberapa orang dari DC dan Boston juga ikut datang menonton di Rockefeller Center. Kami harus mengantri untuk bisa masuk bersama mereka. Fear memainkan enam lagu, dua di antaranya direkam untuk ditayangkan di TV. Panitia acara malam itu mengizinkan kami masuk segera setelah Fear mulai beraksi. Bukannya dibawa ke depan panggung, kami malah digiring ke ruang belakang pangggung. Kami keki dan berang. Imbasnya kami obrak-abrik tempat itu.

Kami mencabut kawat piano dan menghancurkan wastafel kamar mandi karena kami frustasi dan kebelet nonton Fear. Akhirnya, mereka mengizinkan kami turun dan masuk ke studio di lagu terakhir. Kami menggila. Bahkan sebelum Fear memainkan lagu terakhir, kamu sudah saling membenturkan diri dan melakukan stage dive ke arah penonton. Lalu, semua orang mulai melakukan kekerasan dan saling jotos. Anak-anak dari Boston dan DC malam itu sedang bertamu ke kota kami. Mereka sok-sokan gagah. Kami tak suka dan kami akhirnya melabrak mereka. Gig malam itu kacau balau. Petugas keamanan berusaha melerai selagi Fear memainkan lagu terakhir. Kami melihat beberapa labu di atas panggung. Dalam waktu singkat, labu-labu itu jadi senjata kami. Ujungnya, NYPD datang membawa baton dan memulai memukuli kami. Kami akhirnya berhasil dilerai. Polisi juga mengejar kami. Untung, kami bisa selamat dan kabur ke jalan.

Semua ini memang gila—satu konser The Misfits, jadi saksi OD, nonton Fear, beberapa perkelahian dan dipungkasi dengan dikejar-kejar polisi. Bagi anak punk, hidup itu seperti berjalan di atas tali yang direntangkan setinggi 17 meter dan terbuat dari kawat yang tajam. Intinya, makin bahaya, makin sedap. Kami siap bersemuka dengan bahaya bahkan di malam Halloween. Banyak sekali anak hardcore di skena NYHC tak memasang target hidup sampai tua, tapi mereka juga tak terlalu memikirkan kematian. Mereka cuma menghidupi satu hari demi hari dan tak terlalu mengkhawatir apa yang bakal mereka hadapi. Kami hidup dan jadi anak hardcore sebisa kami. Kami terus senang-senang dan berkeliaran di jalan, bahkan kalau bisa, kami ingin menunda kedatangan hari esok.

Di hari biasa, kami akan nongkrong di Mudclub karena mereka punya punk night di lantai bawah dan reggae night di lantai atas. Dan begitu malam sudah hampir habis, kami akan beralih ke A7, yang baru buka jam 2 malam. A7 juga sering dijadikan lokasi gig reggae. Tentu saja, aksi jotos-jotosan bisa meletus di gig punk mana pun. Ironisnya, kadang kami paling aman justru di gig-gig punk. Kalau tak terjadi apa-apa, barulah kami bosan. Nah di saat-saat seperti inilah, kami beraksi bak sampah masyarakat karena kebanyakan mengonsumsi amphetamine dan clenbuterol atau biasa kami sebut Angel Dust.

Pernah suatu kali, aku berdiri di samping mobil yang sedang diparkir di Mudd Clubb. Hari itu, yang manggung adalah Fear danThe Young and The Useless. Big Paul dan Jimmy Gestapo dari Murphy’s Law rupanya cari gara-gara hari itu. Mereka merusak satu antena mobol dan mulai memukuli satu orang pria. Baju pria itu sudah compang-camping. Kalau saja insiden itu dibikin slow motion, niscaya hasilnya mirip versi hardcore dari A Clockwork Orange. Antena mobil itu putus dan mengeluarkan bunya krak! Ada segaris darah di baju pria malang itu. Darah mengalir dari salah satu robekan kaosnya dan mengalir dari satu sisi kaos ke sisi lainnya. Dari mataku—yang saat itu sedang teler halusinogen, luka itu berwarna merah tua. Aku melihat kejadian itu dan aku cuma bisa tertekun sembari sedikit bergidik. Insiden yang terjadi di depan mataku itu mengingatkan pada ayah serta semua bentuk hukuman yang dia obral kalau moodnya buruk. Ah tapi, kadang dia juga tetap memberi hukuman saat moodnya bagus. Dia kadang cuma pengin merasa berkuasa.

Ketika aku berpaling, aku melihat sekumpulan orang turun ke jalan dan merangsek ke arahku! Aku sudah langung kepikiran “Bangsat! Berabe nih!” Aku copot gesper rantaiku dan siap bertarung. Tak dinyana, aku cuma dilewati orang-orang itu. Target mereka ternyata Billy Psycho. Billy jadi bulan-bulanan. Billy lagi-lagi bikin hari jadi lebih menarik.

Billy selalu jadi sasaran. Akan tetapi, Billy malah suka. Dia berulang masuk pit, dipukuli dan bangkit lagu dengan lebih garang. Kadang, Billy kena tendang tulang iganya. Kali lain, giliran kepalanya diinjak. Saban kali selesai nonton gig, Billy berjalan terseok-seok dan lebam. Kadang tulang hidungnya patah. Kadang bibirnya jontor atau matanya hitam karena jadi bulan-bulanan jotosan orang. Intinya, makin sering dihajar, makin baik bagi Billy.

Dulu, waktu aku masih bermain di The Psychos, aku sering nongkrong Billy dan Stu, tapi aku kurang sreg dengan orang-orang lain di skena New York. karena rambutku di-mohawk (yang lebih dekat dengan hardcore daripada punk) dan aku datang dari New Jersey, kebanyakan dari mereka tak mau merangkulku jadi teman mereka. Mereka menghormati bandku—menurutku ini keren sih. Cuma begitu aku turun dari panggung, aku jadi rikuh kendati aku dikelilingi orang yang punya banyak persamaan denganku.

Begitu The Psycho dapat kesempatan manggung di A7, aku menilainya sebagai sebuah capaian penting. Ternyata, kami cuma ditonton sepuluh orang—ini sudah bagus bagi kami sih—dan salah satunya adalah Vinnie. Kami ngobrol selepas aku manggung. Ternyata kami suka banyak band yang sama, bahkan saat kami ngobrol tentang band-band di luar punk. Vinnie adalah salah satu alasan aku bergabung dengan Agnostic Front. Dia selalu ada untukku bak seorang kakak yang baik. Alex Kinon dari Cause For Alarm dan Jimmy Gestapo dari Murphy’s Law juga menyukai The Psycho. Kami bermain bersama Murphy’s Law, The Mob, Abused, Major Conflict, Urban Waste, Cause For Alarm, Kraut, Rapid Deployment dan Killer Instinct. Kami selalu mencoba jadi lebih gila dan bersemangat dari pada mereka semua. Tujuannya cuma satu, biar banyak yang tahu The Psychos. Awalnya, kami tak diterima di kalangan anak hardcore, kami kelihatan lebih punk dari band-band lainnya yang mengadopsi tampang-tampang khas hardcore. Orang lain punya gaya rambut yang sangat pendek, memakai jins dan sepatu perang. Rambutku masih di-mohawak dan aku senang memakai jaket kulit berduri. Hanya saja, kami tak mati kutu. Kami main sesering mungkin. Akhirnya, orang mulai tahu siapa kami dan pada gilirannya, penampakan kami mengalami perubahan juga.

Dalam beberapa tahun saja subkultur punk dan hardcore menyebar ke berbagai tempat. Semakin banyak tempat yang menampilkan band-band dan beberapanya sangat tidak biasa. Ada sebuah tempat bernama 171A yang menayangkan film dan pertunjukan terjadwal. Suatu hari aku pergi ke sana pada tahun 1982 untuk melihat Shellshock Rock, sebuah film dokumenter 1979 tentang evolusi skena punk di Belfast, Irlandia. Mereka juga memainkan film konser The Outcasts, Self-Conscious Over You, dan di antara dua film itu Stimulator tampil.

Itu seingatku malam ketika aku benar-benar ngobrol nyambung dengan drummer mereka, Harley Flanagan, yang sempat kutemui sebelumnya di sebuah pertunjukan. Dia berusia 14 tahun pada saat itu dan sedang bermain drum untuk Stimulator. Dia tampak berusia 12 tahun, dan aku berumur 16 tahun. Aku ngajak dia ngobrol setelah pertunjukan. Aku kagum pada betapa dekatnya dia dan para anggota Stimulator lainnya. Saat itulah aku menyadari betapa asiknya skena NYHC itu. Segera setelah itu, Harley pergi ke Kanada selama satu tahun jadi aku tidak melihatnya untuk sementara waktu. Setahun bisa tampak seperti seumur hidup ketika kamu belum berusia 20 tahun.

Agnostic Front tampil di CBGB pada 1988. Foto oleh: Amy Keim

Sebuah malam akrab bagi skena hardcore New York terjadi pada 16 Juli 1982, ketika Dead Kennedys manggung dengan D.O.A., SS Decontrol dan Kraut di Paramount Theatre di Staten Island. Pertunjukan itu digelar di bioskop film art deco kuno yang telah diubah menjadi aula konser. Seluruh kru New York naik Staten Island Ferry ke konser. Dan Meski penduduk setempat di sana sudah terbiasa dengan konser, mereka belum pernah melihat sekelompok penyimpang seperti kami mendatangi wilayah mereka di Teluk New York. Warga setempat dari kelas pekerja tidak menyukai cara kami berpakaian. Mereka bilang akan mencegah kami kembali ke sana, sambil memberi kami sebuah pelajaran. Warga lokal itu meremehkan kami, calon lawan yang mereka hadapi. Anak punk sudah terbiasa dengan konflik dan pelecehan. Kami sembrono dan ingin sekali punya alasan untuk memenggal beberapa kepala. Dan kami terhipnotis oleh volume dan intensitas konser.

Beberapa penduduk setempat mencoba mengancam dan mengintimidasi kami di acara itu, tetapi kami tidak menerimanya. Sebelum Dead Kennedys menyelesaikan set mereka, orang-orang mulai bertengkar. Padahal kan semua orang di Staten Island ini hanya tinggal menunggu sampai akhir acara dan kami akan naik feri dan kembali ke kota. Entah mereka memang tak sesabar itu atau mereka kurang pintar. Mereka mengira kami penjahat dan ingin kami pergi. Mereka ingin kami melarikan diri ketakutan. Tidak akan terjadi! Aku belum sepenuhnya ajek, tetapi saya belajar bagaimana cara mengambil sikap. Segera setelah acara dibiarkan keluar, mereka mulai memukul dan kami melawan balik.

Bassis asli Agnostic Front, Diego, melepas gesper rantai dan mulai memukuli orang-orang ini. Mereka jelas tidak siap untuk menghadai orang-orang yang gila yang menjadi kru kami malam itu. Seorang perempuan asal Staten Island memukul pada fotografer kami, Ran-D, dan pacarnya mendorongnya pergi dan menamparnya. Jadi Ran-D menjotos pria itu. Itu membuat para guido semakin marah.

Kami berjuang kembali ke feri. Lazar melihat setumpuk batu bata di tanah, memungutnya dan melemparkannya sekuat mungkin ke siapa pun yang berada dalam jangkauan. Dia mengenai kepala seseorang sampai pingsan. Selain sabuk Diego, yang pasti telah mengenai setengah lusin orang, batu bata Lazar dan punk lain dengan cincin dan gelang berduri, kami menghabisi orang-orang itu sampai ke titik di mana kami naik feri. Kami merayakan seluruh perjalanan kembali ke New York, melantunkan dan meneriakkan lirik dari lagu-lagu punk favorit kami. Pada sebagian besar malam musim panas di feri, udaranya panas dan lembab dan berbau seperti kaus kaki lama. Malam itu bau kemenangan ada di udara.


‘MY RIOT: Agnostic Front, Grit, Guts & Glory’ diterbitkan sejak Agustus 2017 oleh Lesser Gods