Artikel ini pertama kali tayang di Broadly.
Pada 2004, French National Assembly mengeluarkan larangan terhadap segala pemakaian simbol agama apapun di sekolah negeri dan gedung-gedung pemerintah. Banyak warga menganggap larangan tersebut—kini terkenal dengan sebutan “headscarf ban”—sebagai serangan terselubung terhadap hijaber dan perempuan Muslim yang spesifik. Sejak itu, Prancis telah melarang pemakaian burka dan niqab (jenis penutup kepala yang mencakup wajah), dan tahun lalu mencoba melarang burkini, pakaian renang yang dikenakan perempuan Muslim. Pada STATES OF UNDRESS minggu lalu, pembawa acara Hailey Gates terbang ke Prancis untuk ngobrol-ngobrol dengan dua pelajar SMA, Amina Moulay dan Wissem Djaiz, soal betapa larangan tersebut lebih dari sekadar urusan anjuran berpakaian.
Setiap hari, Djaiz dan Moulay dipaksa berkompromi demi menempuh pendidikan; mereka harus melepas hijab mereka sebelum diizinkan masuk ke sekolah. Sekolah mereka memasang cermin di luar bangunan sekolah untuk perempuan berhijab untuk melepas sebelum sekolah dan memasangnya kembali sebelum pulang. Mereka tidak bisa melakukannya di dalam kamar mandi karena dianggap pelanggaran hukum tersebut.
Videos by VICE
“Saya waktu itu memilih [mengenakan hijab] karena keyakinan saya,” kata Djaiz.
Perempuan-perempuan muda ini kecewa bahwa pemerintah Prancis, yang membanggakan diri dengan slogan “liberty, equality, and fraternity,” merenggut kebebasan memilih mereka. Setelah larangan tersebut diresmikan, “banyak perempuan berhenti masuk sekolah, beberapa berhenti masuk kerja karena mereka ingin menjalankan perintah agama mereka,” ujar Moulay. Tahun lalu, mereka berdua tidak bisa menghadiri acara dansa sekolah karena mereka diwajibkan melepas hijab.
Tak bisa menghandiri acara dansa sekolah tidaklah ideal, tapi kedua perempuan ini sadar bahwa saat mereka lebih tua nanti, larangan ini akan menghalangi mereka meraih cita-cita yang lebih penting. Perempuan-perempuan dilarang mengenakan hijab pada pekerjaan-pekerjaan yang mengharuskan mereka berada atau mengunjungi gedung pemerintah, berarti mereka akan kesulitan bekerja di ranah hukum dan politik. Pada bulan Maret lalu, European Court of Justice juga memutuskan bahwa perusahaan-perusahaan Prancis berhak menjalankan larangan tersebut, terlepas apakah mereka badan usaha pemerintah atau swasta.
Moulay dan Djaiz bercita-cita menjadi dokter: Moulay ingin menjadi ginekolog atau bidan, dan Djaiz ingin menjadi dokter bedah jantung atau syaraf. Sebagian besar rumah sakit di Prancis adalah badan milik negara, berarti pemakaian hijab dilarang di sana (meski mereka lebih toleran terhadap pengunjung dan staf). “Kami ingin melakukan banyak hal, tapi tidak bisa, akibat larangan pemakaian kerudung,” ujar Moulay. “Kami harus melepas kerudung kami biar boleh jadi dokter?”
Peraturan tersebut secara efektif memastikan bahwa perempuan Muslim berhijab tidak bisa mengisi berbagai jabatan dan posisi. “Saya bisa menunjukkan padamu belasan perempuan yang mengenakan hijab, yang lulus dengan penghargaan dari fakultas hukum, kedokteran, kimia, teknik, dan mereka tidak bisa mendapatkan pekerjaan—bukan karena mereka tidak mahir, tapi karena mereka mengenakan kain di kepala mereka,” ujar Yasser Louati, aktivis hak asasi manusia.
Larangan ini juga menimbulkan konflik identitas bagi banyak perempuan Muslim di Prancis yang tak lagi merasa diterima di negara kelahiran mereka. “Kami mulai berpikir soal meninggalkan Prancis… pindah ke negara lain di mana kami bisa menjalankan perintah agama dengan tenang,” ujar Moulay, “tapi pikiran seperti itu membuat kami patah hati.”
Keluarga Moulay dan Djaiz berasal dari Algeria—sebuah negara dengan sejarah panjang penjajahan Prancis. Moulay menggambarkan ironi situasi ini: “Di sana kami disebut ‘orang Prancis’. Di sini kami disebut ‘Arab’. Jadi, kita ini sebenarnya apa?”