Curhatan Soal Bos Sampai Kucing dari Mereka yang Kerja dari Rumah Selama Pandemi Corona

Curhatan Karyawan Jakarta Karena Kerja dari Rumah Selama Pandemi Virus Corona

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengumumkan Indonesia berstatus darurat bencana virus corona sampai 29 Mei 2020. Artinya, imbauan work from home alias WFH kemungkinan bisa diperpanjang sampai libur Lebaran.

Kalau udah begini, mau enggak mau mayoritas pekerja harus beradaptasi dan mencari cara gimana sistem kerja jarak jauh tetap bisa se-efektif kerja tatap muka. Tapi ya namanya adaptasi, tentu akan timbul kendala-kendala. Di internet, udah bertaburan beberapa testimoni WFH dari netizen yang kocak dan ngeselin.

Videos by VICE

Intermezo dikit karena ini penting banget: enggak cuma mereka yang berkantor, epidemi corona juga membuat sistem kerja pedagang sayur keliling berubah jadi lebih futuristik.

Tiga hari berlalu setelah imbauan WFH diserukan, netizen mulai berbagi keluh kesah dari yang goblok-goblok sampai yang superkritis. VICE lantas menghubungi Cyuta, tenaga ahli muda di salah satu kementerian (kami harus samarkan nama institusi ini demi keselamatan kariernya), untuk bertanya gimana pengalaman dua harinya jadi ASN yang kerja dari rumah.

VICE memutuskan ngontak pria 27 tahun ini karena sebelumnya doi tercatat mengunggah cuitan di Twitter pribadinya berisi kekesalan pada seorang rekan kerja (tidak kami cantumkan twitnya dengan alasan sama). Gimana enggak kesel, rekan kerjanya itu menganggap WFH sebagai hari libur. Hadeh.

“Kalau di kantorku konteksnya lebih ke gagap sih. Kayak enggak pernah ada yang bekerja dari rumah sebelumnya. [Mereka] kalau di rumah tahunya ya enggak kerja. Jadi, untuk menanggulanginya, dibuat lah SOP untuk ‘absen online’ pakai conference call,” kata Cyuta.

Cuitan Cyuta membuat saya tergugah bikin polling sederhana di media sosial. Jangan-jangan, ada lebih banyak cerita lucu atau nyebelin dari mereka-mereka yang biasa kerja di kantor dan mendadak harus berganti WFH. Benar saja, proses adaptasi tiap-tiap tempat kerja lumayan mengocok perut. Berikut kompilasinya:

“Dari manajemen kantor udah ada keputusan memperbolehkan pegawainya WFH, tapi bos gue enggak rela. Bos gue bilang, ‘Ya WFH itu kan keputusan manajemen, bukan aku.’ Dasar sempak kuda!” — Anggi, asisten manajer sebuah bank yang masih harus ngantor karena bosnya ngerasa WFH bikin ribet. Mari hening kan cipta sejenak untuk bersimpati kepada Anggi.

“Aku udah dua hari di rumah tapi belum kerja-kerja, bingung ngatur jamnya kalau di rumah. Kayak urusannya jadi banyak gitu. Harus cuci piring, cuci baju dulu. Ngobrol sama mama-papa dan lain-lain.” — Serina, penulis konten yang kelimpungan sama sistem kerja di rumah akibat merasa cuci piring adalah prioritas.

“Di kantor gue, setengah jam enggak ngerespon [atasan], dihitung cuti.” — Carina, pegawai 26 tahun yang parno jatah cutinya habis sia-sia karena ketiduran.

“Abis beli makan siang, pas pulang ke rumah ternyata mati listrik. Terpaksa enggak ngapa-ngapain. Nunggu listrik nyala jadi lumayan dapat momen rebahan.” — Efan, komposer musik di salah satu startup. Diduga kuat ia mensyukuri padamnya listrik rumah.

“Digangguin anak gara-gara laptopku mau dipakai dia ngerjain tugas sekolahnya. Jadi dilema.” — Laode, bapak satu anak yang terlibat konflik kepentingan dengan sang anak gara-gara WFH.

“Rekan kerjaku beberapa ada yang punya kucing di rumah. Dua hari ini terganggu karena setiap mau kerja kucingnya selalu rewel. Mungkin karena enggak biasa ngeliat ‘emak’-nya ada di rumah jam segini kali ya. Jadinya susah karena enggak bisa kabur ke kafe juga.” — Shabrina, j unior c onsultant yang heran kenapa kucing-kucing ini merasa mereka lebih penting dari kerjaan majikannya.

Kalau di tempat kerjamu, gimana?