FYI.

This story is over 5 years old.

Keajaiban Jenggot

Perjuangan yang Bodoh dan Menyedihkan Demi Menumbuhkan Jenggot

Dari dulu saya tak bakat punya jenggot, boro-boro brewokan. Tapi saya berusaha mati-matian, sampai menghalalkan segala cara.
Foto oleh Carlos Jaramillo.

Menumbuhkan jenggot itu mirip kemampuan super—semacam cara mengubah wajah yang secara alamiah diberikan orang tuamu. Sebuah jenggot bisa memberikan pemiliknya kesan serius akademis atau nuansa cuek yang keren. Jenggot bisa memberikanmu kesan sebagai seorang penyendiri yang terluka atau ayah yang konyol. Tapi yang terpenting, sebuah jenggot itu seolah mengatakan “Saya memilih untuk terlihat seperti ini.” Biarpun memiliki jenggot sudah tidak lagi keren, para lelaki yang memilikinya tetap banyak dipandang sebagai lebih jantan dan menggairahkan. Jenggot menjadi jalan pintas menuju citra maskulin. Apesnya, saya tidak bisa menumbuhkan brewok.

Iklan

Setelah beberapa hari tidak bercukur, saya hanya mendapatkan beberapa utas rambut garing, sebagian besar di daerah leher. Rambut wajah saya terlihat sangat tipis, membuat saya terlihat seperti kombinasi antara penyihir dan remaja yang depresi. Saya tidak suka jenggot, tapi saya benci bahwa saya tidak bisa menumbuhkan jenggot! Kenapa sih susah bener?

Jadi saya memutuskan untuk berhenti cukur sama sekali hingga saya berhasil menumbuhkan jenggot penuh. Tidak peduli berapa lama waktu yang dibutuhkan. (Saya hanya bertahan sekitar sebulan.) Berikut kisah petualangan saya menumbuhkan jenggot mati-matian. Karena hari pertama dan kedua berlangsung biasa saja, mari langsung skip ke hari ketiga saya mencoba punya bulu di wajah.

HARI KE-3 Wah, muka gue ancur banget. Alih-alih tumbuh rambut pendek yang seksi, saya malah mendapatkan beberapa helai rambut hitam kasar yang mencolok di wajah. Saya terlihat seperti gelandangan yang sudah menyerah berusaha hidup.

HARI KE-4 Gak ada yang berani keluar rumah mengenakan pakaian dengan noda besar kan? Nah seperti itulah rasanya wajah saya. Saya terlalu malu untuk bertemu orang lain, jadi saya ngendok di rumah seharian dan tidur jam 6 sore.

HARI KE-5

Saya ngendon di rumah lagi, dan tidur jam 7 malam.

Penulis artikel ini, di hari ke-6. Foto oleh Sam Weiner.

HARI KE-6 Saya lagi-lagi di rumah seharian, dan tidur jam 5 sore.

HARI KE-7 Saya tidak lagi takut untuk keluar rumah. Akhirnya jenggot saya tidak lagi terlihat malu-maluin. Sekarang jenggot saya terlihat seperti sebuah kesalahan yang disengaja. Kata yang biasa digunakan untuk mendeskripsikan jenggot seperti saya di titik ini adalah “setengah-setengah”, tapi alih-alih memiliki gumpalan rambut, pipi kiri saya terlihat seperti pasir putih bersih di pantai dihiasi puluhan pohon palem yang habis kesamber petir.

Iklan

HARI KE-11

Saya memiliki jenggot di sekitar leher.

Penulis artikel ini di hari ke-11.

Lagi-lagi non-eksistensi jenggot membuat saya merasa sedih, dan ini semua salah saya sendiri. Piring kotor dan debu dibiarkan berserakan. Alih-alih pergi ke toko swalayan, saya hanya mengkonsumsi coklat botolan. Ini tentu saja membuat saya merasa semakin buruk. Saya tidak membaca atau menonton TV. Saya hanya berbaring di ranjang, menatap ponsel selama berjam-jam, membuka app yang sama berulang kali setiap beberapa detik.

HARI KE-14

Memasuki pekan kedua upaya punya brewok.

HARI KE-15 Setiap hari saya terbangun dan berpikir, “Wah setiap hari rasanya makin gatel wajah, asik!” Saya bahkan tidak sadar bahwa jenggot membuatmu sangat gatal. Kirain bakal alus gitu rambutnya. Sekarang, wajah saya terasa seperti seseorang menempelkan remukan biskuit ke leher ketika saya sedang tertidur. Tapi rasanya sedikit lagi saya akan mencapai tujuan. Saya menghapus semua app dari ponsel dan memaksa diri keluar dari rumah.

HARI KE-20

Jenggot dan kumis saya masih belum terhubung. Pipi saya penuh dengan 36 titik rambut kasar di antara keduanya. Sepertinya mereka sudah tidak bertumbuh lagi. Seakan hormon saya sadar saya mengincar tingkat bulu Manusia Gunung, tapi malah berhenti di tingkat bulu: Babi yang Sedang Membusuk.

Saya memulai setiap percakapan dengan penjelasan tentang kenapa wajah saya gak karuan begitu, tapi sepertinya tidak ada yang peduli.

HARI KE-22

Jujur, saya berharap akan dipelototi pelayan, orang lain di transportasi umum, dst. Saya ingin menulis cerita lucu tentang cewek-cewek lucu di bar yang menyukai selera humor saya tapi membenci rambut wajah saya. Sayangnya, ini tidak terjadi. Sepertinya dunia tidak peduli dengan misi bodoh saya ini.

Iklan

HARI KE-23 Menyebalkan banget melihat dirimu sendiri di cermin dan berpikir, “Njir, gue gak pernah sejelek ini dah.” Saya penasaran apabila rambut wajah yang menolak keluar justru tumbuh di atas kepala saya, merayap seperti tanaman di antara lipatan otak, kemudian menutupi bola mata, mengubah saya menjadi zombi buta, seiring saya berteriak berharap tetangga akan datang dan membunuh saya.

Inilah hasil akhirnya. Dipaksain mau gimana, ya mentok segini doang. Foto oleh Carlos Jaramillo.

HARI KE-24

Ngapain juga sih gue ngelakuin ini? Ide siapa sih ini? Kenapa juga saya tertarik menumbuhkan jenggot? Biar maskulin? Kayaknya enggak deh. Ada banyak masalah kecil dan buatan yang bisa memberikan seseorang gangguan kecemasan seumur hidup, tapi untungnya bagi saya, maskulinitas bukanlah hal yang saya pikirkan. Saya lebih mengkhawatirkan hal-hal yang bodoh seperti seberapa sering saya harus mengenakan dasi bolo atau apakah hidup layak dijalani ketika kekejaman justru dihargai. Saya tidak pernah mengkhawatirkan seberapa “cowok” saya, karena jawabannya sudah jelas: “sangat enggak cowok.” Jujur, mengkhawatirkan tentang maskulinitas rasanya isu yang kuno.

Namun tetap saja ketidakmampuan saya untuk menumbuhkan jenggot yang layak telah membuat saya kecewa. Eksperimen ini telah membuat saya letih. Saya menyiksa diri sendiri dan saya tidak bisa memikirkan satu alasan bagus kenapa saya melakukannya.

HARI KE-25 NATALAN!

Brewok saya yang menyedihkan difoto dari angle berbeda.

HARI KE-31 Saya berjalan keluar rumah. Hembusan angin menggelitik rambut tipis di pipi saya. “Ooh, gini kali ya rasanya jadi anjing,” Itu adalah sensasi terbaik yang saya rasakan dalam beberapa minggu terakhir.

Iklan

HARI KE-34 Rambut di pipi kanan saya tebalnya dua kali lipat dibanding di pipi kiri. Namun tetap saja tidak bisa dihitung sebagai sebuah jenggot. Teman saya mengucapkan kebenaran yang menyakitkan: “Kalau kamu merampok bank sekarang, di siang hari, tanpa masker, saksi mata tidak akan mendeskripsikan pelaku sebagai berjenggot.”

HARI KE-37

Saya mengunjungi Gasper Como, barber Italia favorit warga Brooklyn, untuk dicukur. Dalam waktu sepuluh menit, saya kembali menjadi diri saya yang lama dengan wajah yang segar. Saya langsung mendingan.

Eksperimen absurd saya dan jenggot akhirnya selesai. Foto oleh Carolos Jaramillo.

Selamat tinggal jenggot jelek. Foto oleh Carlos Jaramillo.

Dari pengalaman ini saya belajar…. enggak ada yang saya pelajari sih. Pesan moral aja enggak. Beneran. Saya cuma berharap bahwa saya akan menemukan bahwa penampilanmu itu tidak sepenting perasaanmu, atau ilmu lain yang bersifat platitudinal. Tapi mengkhawatirkan penampilan dalam lima minggu terakhir memang memegang peranan penting. Hasilnya, saya tidak ngapa-ngapain dan malah mengasihani diri sendiri. Perasaan negatif ini dimulai karena saya terlihat jelek. Tapi di akhir eksperimen, saya merasa negatif karena gagal mencapai hal sederhana yang ingin saya capai. Dan kegagalan ini nampak di seluruh wajah saya.

Paling tidak saya sudah mencoba. Kini saya sadar apa yang tidak bisa saya capai. Dalam perihal rambut wajah, paling enggak. Eksperimen ini merupakan 36 hari terpanjang dalam hidup saya, dan saya lega mereka sudah berakhir. Enak rasanya bisa menatap mata orang lagi tanpa merasa malu.

Jenggotan tapi jelek, atau mending cukur bersih? Silakan kamu nilai. Foto oleh Carlos Jaramillo.

Follow Sam Weiner di Twitter. Jangan lagi membahas jenggot sama dia.