Menyepelekan 'Sensasi' Kebaikan Kecil yang Diupayakan Awkarin Adalah Kekeliruan Budiman Sudjatmiko Sindir Karin Novilda
Ilustrasi oleh Bobby Satya Ramadhan.
Views My Own

Menyepelekan 'Sensasi' Kebaikan Kecil dari Awkarin Adalah Kekeliruan

Budiman Sudjatmiko memicu debat online ketika menyebut ajakan berbuat baik Awkarin kurang esensial. Masalahnya, sangat mungkin Karin di medsos menggerakkan orang lebih efektif dari yang kita bayangkan.

Ketika influencer Karin Novilda, atau lebih populer dijuluki AwKarin, kembali beken sepekan terakhir atas berbagai usahanya mengajak follower berbuat baik, aku jadi tahu kalau ternyata "berbuat baik" punya tingkatan berbeda-beda. Yakni, berbuat baik yang esensial dan cuma sensasional. Penjelasan itu disampaikan salah satu politisi beken di Indonesia, Budiman Sudjatmiko.

Anggota partai PDI Perjuangan itu memicu perdebatan di Twitter, ketika mengomentari tindakan Awkarin. Bahwa dari dua macam kebaikan (esensi dan sensasi) tadi, umat manusia lebih butuh kebaikan berbasis esensi.

Iklan

Budiman menambahkan satu lagi contoh kontras kebaikan: antara Greta Thunberg sebagai aktivis berbasis sensasi, sementara Butet Manurung masuk kategori menebar kebaikan berbasis esensi.

Komentar Budiman sejalan dengan opini influencer lain di jagat Twitter, Poltak Hotradero, yang menyatakan kebaikan ala Awkarin bisa dilakukan dengan berbagai cara, tanpa harus kelihatan "heroik".

Sebenarnya opini Budiman ataupun Poltak Hotradero sah-sah saja. Tapi yang menjadi problem adalah, komentar mereka secara tidak langsung mengerdilkan perbuatan baik seseorang. Kita bisa berdebat semalam suntuk membahas persoalan semantik dari kata 'sensasi' yang dimaksud eks-pendiri Partai Rakyat Demokratik itu. Tapi jujur saja, siapapun bisa menilai bahwa komentar Budiman membangun impresi bahwa kebaikan ala Tri Mumpuni dan Butet Manurung lebih dibutuhkan masyarakat Indonesia.

Bagi saya figur Tri Mumpuni dan Butet Manurung jelas panutan bagi siapapun—lelaki maupun perempuan. Keduanya rela mendedikasikan hidupnya demi kebaikan bersama.

Buat pembaca yang belum kenal mereka berdua, Tri adalah aktivis yang mendorong pemanfaatan listrik swadaya di lokasi terpencil; sedangkan Butet adalah pendiri Sokola Rimba, lembaga yang memfasilitas pendidikan bagi masyarakat adat nusantara. Mereka menekuni kerja sosial itu bertahun-tahun tanpa banyak sorotan di media sosial.

Persoalannya sekarang, menerima begitu saja pembingkaian opini dari Budiman ataupun Hotradero membuat kita meninggikan salah satu jenis aktivisme ataupun upaya berbuat baik. Padahal, yang dilakukan Greta dan Karin tak kalah pentingnya bagi gerakan manapun.

Iklan

Tonton wawancara VICE bersama Awkarin membicarakan soal kebebasan berpendapat dan topik lainnya:


Lihat saja Greta yang memosisikan diri sebagai ikon, yang sukses menggalang protes Climate Strike secara bersamaan di 150 negara. Tanpa "sensasi" yang dia dorong lewat berbagai medium—terutama cuplikan pidatonya yang kerap beredar di medsos—sulit membayangkan jutaan anak muda tergerak ikut mendesak kebijakan lingkungan berbagai negara. Manusia bergerak bersama untuk satu tujuan atas kekuatan narasi. Greta adalah pembuat narasi yang piawai—dan poin plusnya, narasi itu disusun untuk kebaikan bersama para penghuni planet ini.

Sementara, dengan influence seorang Karin yang memiliki yang memiliki hampir 5 juta followers di Instagram (dan lebih dari setengah juta di Twitter), dia dengan daya tak disangka-sangka sukses mengajak banyak orang mempedulikan pada isu sosial. Citra Awkarin sebagai sosok anak muda yang peduli pada isu sosial tentu tidak terbayangkan tiga tahun lalu. VICE pernah bikin wawancara bareng dia saat itu, dan banyak pembaca kami mengecam keputusan redaksi. Awkarin kala itu dihujat, dianggap memberi pengaruh buruk bagi follower, dipanggil KPAI, dan kolaborasi bersama Young Lex hanya membuat kecaman tambah besar padanya.

Tapi Karin membuktikan manusia berubah—setidaknya untuk dirinya sendiri. Karin belajar memanfaatkan pengaruh yang dia miliki di medsos. Dia bersolidaritas dengan gerakan mahasiswa yang menolak RUU KUHP dan berbagai beleid bermasalah lainnya.

Iklan

Dia sekalian mengajak follower mengurangi penggunaan sampah, menyebarkan kesadaran soal parahnya kebakaran hutan, sampai membantu pengemudi ojek online yang ketiban sial. Doi bisa aja tetep jadi "selebgram" dengan uang yang cukup untuk hidup nyaman. Lalu dia mencoba peduli, dan hasilnya adalah nyinyiran beberapa pihak.

Menurut Mancur Olson, pencipta teori sosial Collective Action, manusia itu terkadang susah berbuat baik secara efektif dan berdampak,seperti contoh perbuatan baik esensial yang diusulkan Budiman Djatmiko. Namun aksi kecil yang dilakukan bersama-samaan itu tetap bisa membuat perubahan signifikan dan notabene menyelamatkan dunia.

Coba aja enggak ada Karin yang ngajak bersih-bersih sampah, pasti kaum rebahan dan sosialita mungkin tetap stay safe di bubble nyaman mereka karena takut mulai. Pengaruh narasi ajakan berbuat baik memang sulit dikuantifikasi. Tapi justru di situ poinnya. Sangat mungkin pesan-pesan Karin di medsos menggerakkan orang lebih efektif dari yang dibayangkan Budiman atau Hotradero.

Dalam cuitan klarifikasinya, Budiman menegaskan ia tak memiliki tujuan merendahkan tindakan Awkarin. Dia pun bilang keduanya penting. Budiman lantas menilai dari twit tersebut ia berharap ada dialektika yang terjadi serta pemunculan ide baru. Ia mengatakan dikotomi kebaikan itu memang disengaja supaya ramai pro kontra serta mengajak orang merenungi esensi gerakan sosial.

Harapan Budiman jelas tercapai. Perdebatan di medsos muncul. Tapi pesan awal dari cuitannya yang dianggap beberapa netizen bermasalah itu harus tetap disorot.

Ketika perbuatan kecil seorang individu, seperti mencoblos surat suara saat pemilu, dianggap politikus macam Budiman sangat penting bagi masa depan demokrasi Indonesia (karena golput menurutnya hanya "memproklamirkan kekalahan"), seharusnya perbuatan baik para influencer sekecil apapun juga patut diakui sama pentingya.

Atau lebih baik lagi, semua pihak yang kurang cocok melihat sensasi ala Awkarin menyita perhatian publik mending menghabiskan energinya agar influencer bisa berkolaborasi dengan sosok yang esensial seperti Tri Mumpuni dan Butet Manurung. Sebab, debat di medsos tak akan pernah mengubah dunia yang kita tinggali sekarang.