FYI.

This story is over 5 years old.

Kopi

Apakah Kopi Bakal Punah Akibat Perubahan Iklim? Jawabannya Ada di Kebun Tertinggi Sedunia

"Berbeda dari manusia, kopi tak bisa melarikan diri dari tempat ia ditanam. Ia menanggung beban yang dihasilkan perubahan kondisi selama masa hidupnya."
Pemandangan kebun kopi tertinggi di Bolivia
Semua foto oleh penulis.

Selama perjalanan panjang dari pegunungan Andes ke Finca Takesi, kamu wajib duduk di sebelah jendela—tapi jangan lihat ke bawah. Di daerah terpencil Bolivia, setengah hari perjalanan dari Ibu Kota La Paz, pagar yang melindungi mobil di antara jalanan dan jurang dalam amat jarang terlihat. Satu-satunya cara mengarungi jalan berkelok ini adalah menyetir telaten, tepat di ujung tebing. Di satu pertigaan, bahkan, ada pilihan untuk mengambil yang namanya "Jalan Kematian."

Iklan

Jika kamu bekerja di industri kopi, perjalanan berisiko ini bagaimanapun layak dilakoni. Finca Takesi merupakan perkebunan kopi tertinggi di dunia. Seharusnya menanam kopi dalam kondisi iklim tersebut sangatlah tidak mendukung, bahkan banyak yang menganggapnya mustahil. Tapi dengan iklim bumi yang semakin panas, industri kopi harus menghadapi fakta bahwa arti ‘mustahil’ sudah saatnya direvisi.

Menurut World Coffee Research (WCR), 32 derajat celsius adalah titik kritis di mana kondisi iklim tidak mendukung pertumbuhan biji kopi. Dalam laporan yang terbit pada 2017, WCR menyimpulkan 47 persen produksi kopi kini berasal dari negara-negara yang diprediksi akan kehilangan 60 persen daerah yang cocok untuk bertani kopi pada 2050. Statistik ini menandakan sekitar 28 persen tanah pertanian kopi terpapar risiko tak bisa ditanami kopi lagi.

Sebagian besar lahan kopi yang terancam itu terletak di daerah rendah, kering, dan panas di negara-negara seperti Brasil, Nikaragua, dan India. Penelitian lainnya dari 2016 oleh Climate Institute menyatakan 50 persen daerah perkebunan kopi saat ini akan tidak layak ditanam kopi pada 2050. Kopi liar, sebuah sumber genetika yang dimanfaatkan peneliti untuk membiakkan variasi kopi baru, diramal akan punah pada 2080.

Meskipun semua ramalan suram tadi masih butuh dibuktikan beberapa puluh tahun lagi, situasinya sekarang sudah jauh lebih mendesak untuk ditangani menurut para peneliti. "Perubahan iklim sudah berdampak pada para petani kopi," ujar Christophe Montagnon, direktur keilmuan WCR kepada MUNCHIES. "Perubahan iklim meningkatkan risiko yang diambil petani, dan dengan harga pasar rendah, mereka tidak dibayar cukup untuk mengimbangi risiko tersebut. Hasilnya, pada banyak kasus, para petani beralih ke tanaman lain, seperti petani kopi Arabika di India beralih ke kopi Robusta, atau petani kopi di Kenya beralih menanam kacang macadamia. Begitu pula petani kopi yang sekarang membudidayakan kakao di Nikaragua."

Iklan

Bagi kalian yang bukan coffee nerd—arabika dan robusta merupakan kedua varietas utama kopi. Robusta memiliki daya tahan dan hasil panen lebih tinggi, tapi lebih sering digunakan untuk campuran kopi tingkat rendah. Arabika, sebaliknya, memiliki daya tahan dari hama dan iklim lebih rendah, tapi kualitasnya jauh lebih tinggi. Arabika adalah jenis kopi yang kamu temukan di kafe mewah, yang harga secangkir kopinya bisa mencapai Rp60 ribuan.

Nasib kopi Arabika lebih suram. Penelitian dari 2015 oleh peneliti di Kolombia, Nicaragua, dan Texas menyatakan kemungkinan Brasil bakal kehilangan sebesar 95 persen tanah pertanian yang cocok ditanami kopi, pada 2100—tak sampai seratus tahun lagi.

1543859733573-_MG_2302

Biji kopi tumbuh tak beraturan di Finca Takesi

Tak heran bila para petani Finca Takesi hanya menanam Arabika, termasuk variasi mahal bernama geisha (harga segelanya kira-kira mencapai Rp60 ribu). Sembari kami berjalan melalui perbukitan Finca Takesi, presiden Intelligentsia Coffee, James McLaughlin, menunjukkan pada kami bagaimana tidak ada biji yang bertumbuh di pohon secara seragam. "Perkebunan ini mengandung keanehan alam," katanya. Ada biji yang bertumbuh besar, merah, dan lunak. Ada juga yang hijau, kecil, dan sekeras batu. Tanaman tersebut menjadi matang secara bertahap. "Panennya setengah mati, mereka harus memetiknya sepanjang tahun," kata McLaughlin.

Alasan sebenarnya McLaughlin datang ke perkebunan ini untuk ketiga kalinya, bukan karena kopi di situ benar-benar luar biasa. Dia hadir hari ini melakukan lebih dari sekedar memamerkan cita rasa biji-biji fenomenal para petani Bolivia. Kunjungannya ini adalah bagian dari Extraordinary Coffee Workshop yang digelar Lembaga Intelligentsia, yang menyerupai konferensi TED untuk industri kopi sekaligus reuni keluarga bagi jaringan global petani kopi. Petani-petani dari seluruh dunia, bahkan dari Ethiopia, berkumpul dan mengamati beban logistik yang ditanggung para produsen akibat perubahan iklim.

Iklan

"Setiap kali kami mengunjungi produsen, mereka selalu melaporkan isu-isu keringnya cuaca atau gelombang panas, dan itu benar-benar berdampak pada mereka," kata McLaughlin. "The Extraordinary Coffee Workshop adalah kesempatan bagi para petani untuk membicarakan teknik-teknik melawan isu-isu tersebut."

Solusi paling logis terhadap iklim Bumi yang semakin panas adalah berpindah ke dataran lebih tinggi, tapi tidak semua petani kopi memiliki kesempatan itu. Bahkan awalnya para petani di Takesi ikut merasakan dampak dari perubahan iklim.

1543859802409-_MG_2564

Rosa Chambi Corina menerima penghargaan atas pengabdian seumur hidup merawat kebun kopi Finca Takesi bersama Mariana Iturralde, Carlos Iturralde, Michael Sheridan, dan seekor anjing yang lucu.

"Kami melihat salju di puncak gunung Mururata yang terlihat dari perkebunan kami semakin berkurang," ucap Mariana Iturralde, manajer Koalisi Perkebunan Finca Takesi. Cuaca dingin dan hujan juga menjadi semakin tidak terprediksi tahun-tahun terakhir, yang menunda panenan dan membuat proyeksi ekonomis tidak stabil.

Bertani kopi di ketinggian 2.400 meter, seperti yang dilakukan para petani Bolivia ini, melambangkan ancaman besar terhadap industri kopi dan solusi potensial. Pola hujan yang sulit diprediksi menjadi salah satu penyebab utama karat daun kopi (CLR), penyakit yang memusnahkan persediaan kopi di Amerika Tengah mulai 2011 (begitu pula di Indonesia dulu). WCR melaporkan dalam lima tahun setelah insiden karat daun, penyakit tersebut menyebar ke 70 persen perkebunan, menimbulkan kerugian sebesar US$3,2 miliar (setaraRp 46 triliun), dan menyebabkan 1,7 juta orang di selatan Benua Amerika kehilangan pekerjaan mereka.

Iklan

"Bahkan petani yang selamat dari dampak terburuk CLR bertahan melawan perubahan iklim yang membuat CLR tersebar," kata Michael Sheridan, Direktur sumber dan nilai saham Intelligentsia. "Kekurangan hujan, suhu tinggi, dan pola hujan tidak teratur. Intinya CLR itu hanya efek samping, dan pasti akan muncul efek samping dan krisis lainnya di masa depan."

Solusi terbesar masalah ini terkait dengan perekonomian impor. Sebagian besar importir mengaitkan harga mereka dengan pasar komoditi, di mana harga sudah terjun di bawah $US1 (Rp14-15 ribu). Karena US$1 juga merupakan harga produksi, sudah tidak mungkin para petani kecil dan tingkat rendah memperoleh keuntungan.

Perdagangan kopi tidak terkait dengan pasar komoditas pertanian lain, jadi para petani mengetahui harga yang mereka akan dapat untuk kopi mereka setiap tahun. Hasil panen mungkin masih belum dapat diprediksi, tapi setidaknya mereka bisa tahu berapa banyak uang mereka akan hasilkan untuk setiap kantong kopi.

Pendekatan ini membantu para petani merencanakan investasi infrastruktur jangka panjang yang bisa melegakan beban mereka ketika bumi menjadi semakin panas. WCR menegaskan irigasi, pohon rindang, pengelolaan tanah, dan keragaman panen sebagai solusi jangka pendek demi mengurangi risiko. Tapi bagi banyak petani, hal-hal ini merupakan investasi besar dan sulit diimplementasi tanpa jaminan harga andalan untuk produk mereka.

1543859844456-_MG_2400

Kopi akan siap diseduh untuk setiap pengunjung Cafe Typica di Finca Takesi

Organisasi ini juga mendukung variasi kopi hibrida F1, tanaman campuran yang rentan terhadap perubahan iklim, berkualitas tinggi, dan dengan hasil panen tinggi. Sekarang mereka mengembangkan jenis-jenis baru yang dirancang untuk menjadi rentan terhadap kepanasan dan mencobanya di tempat dengan iklim panas dan kering, seperti Zambia. Dan petani progresif seperti yang di Finca Takesi masih bereksperimen dengan variasi biji kopi dengan menanam kopi Jawa dan Catuai dengan tujuan meneliti bagaimana mereka beradaptasi pada mikro-iklim unik.

Iklan

Untungnya tidak hanya WCR yang melakukan penelitian. Profesor asal Brasil Lucas Louzada menunjukkan bahwa penelusuran di Google Scholar menghasilkan lebih dari 5.000 karya mengenai modifikasi genetika tanaman kopi sejak 2014. Selain modifikasi genetika, dia percaya pertanian kopi sedang bergerak. “Ada daerah-daerah baru yang muncul. Produsen terbesar seperti Brasil, Vietnam, dan Kolombia harus mencari solusi baru. Tiongkok sudah mulai menjadi produsen kopi, dan kini Myanmar dan Filipina mulai bertani kopi lagi.”

Seperti unsur-unsur perubahan iklim lainnya, efek-efeknya pada industri kopi mungkin terlihat jauh, jadi lebih nyaman mengabaikan masalah tersebut untuk saat ini. Tapi mengingat masa hidup sebuah perkebunan kopi hanya 30 tahun, petani-petani sekaranglah yang akan membangun dasar demi melawan distopia kopi yang diproyeksikan akan datang pada 2050. Tetap saja, jika iklim bumi ternyata lebih panas daripada yang diproyeksikan, ada kemungkinan skenario tingkat kiamatlah yang akan terjadi.

1543859862282-_MG_2313

Biji kopi siap dipetik di Finca Takesi.

“Secara sederhana, tidak seperti manusia, tanaman kopi tidak bisa melarikan diri dari tempat ia ditanam. Sebagai tanaman, ia menanggung beban yang dihasilkan perubahan kondisi-kondisi alam semasa hidupnya,” ucap Montagnon dari World Coffee Research. “Para petani bisa mengurangi efek perubahan iklim dengan irigasi dan menanam pohon rindang; itu sangat membantu. Tapi jika perubahannya terlalu drastis, sebuah pohon kopi—kendati ada upaya alamiahnya untuk melawan—belum tentu akan bertahan hidup."

Artikel ini pertama kali tayang di MUNCHIES