FYI.

This story is over 5 years old.

Bertanya Pada Pakar

Wejangan Mbah Rono: Kita Harus Ikhlas Indonesia Rutin Alami Erupsi Gunung Berapi

Tak ada yang lebih otoritatif menjelaskan gunung dibanding Dr. Surono. Kami bertanya pada mantan Kepala Badan Geologi itu tentang karakter letusan Gunung Agung, dampaknya bagi Bali, hingga kemungkinan manusia mengalahkan kecepatan awan panas.
Foto oleh Darren Whiteside/Reuters
Foto oleh Darren Whiteside/Reuters

Kembali aktifnya Gunung Agung menyita perhatian Indonesia selama dua pekan belakangan. Puncak tertinggi Bali tersebut saat ini dapat meletus setiap saat, memicu upaya pengungsian 144 ribu penduduk yang tinggal di sekitar lerengnya, maupun ribuan ternak yang menjadi mata pencaharian warga.

Aktifnya Gunung Agung terjadi berbarengan dengan beberapa gunung lain di kawasan Cincin Pasifik. Gunung Sinabung, di Sumatra Utara, bahkan saat artikel ini ditulis baru saja meletus, melepaskan abu vulkanik hingga ketinggian 1.500 meter. Di Vanuatu, Gunung Manaro Voui di Pulau Ambae aktif kembali. Akibatnya, 11 ribu penduduk diungsikan dari lereng pulau di tengah Samudra Pasifik tersebut.

Iklan

Tentu, sekian fenomena alam tersebut, termasuk bangkitnya Gunung Agung setelah setengah abad tidur, memicu sekian pertanyaan lanjutan. Dampak erupsi Gunung Agung saat meletus terakhir kali 1963 terasa hingga seluruh dunia. Suhu bumi turun hingga 0,4 derajat celcius. Itu belum termasuk korban tewas sebanyak 200 orang (atau ribuan berdasar catatan tidak resmi), serta hancurnya ribuan rumah di sekitar lereng Gunung yang disucikan penduduk Pulau Dewata itu. Akankah kerusakan serupa kembali terjadi?

Selain itu, persoalan yang sekarang muncul di tengah evakuasi penduduk sekitar Gunung Agung adalah keengganan sebagian orang mengungsi. Pemerintah menetapkan zona merah (karena risiko hancurnya ketika erupsi sangat besar) mencakup wilayah dalam radius 12 kilometer dari kawah. Saat fotografer VICE berkunjung ke zona merah, ada saja penduduk yang ngotot bertahan. Mereka merasa situasi masih aman, ada panggilan dewata yang meminta mereka pulang kampung, serta sebagian punya ide akan segera lari naik kendaraan bermotor jika erupsi, disusul embusan awan panas, benar-benar terjadi.

Dari deretan pertanyaan tersebut, tak ada pakar lain, yang lebih otoritatif untuk menjawabnya selain Surono. Dia adalah juru kunci gunung-gunung api di Indonesia. Surono adalah mantan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi yang pensiun dua tahun lalu. Nama Surono, akrab dipanggil Mbah Rono, mulai mencuat sejak dia memimpin langsung evakuasi besar-besaran, termasuk memberi kabar harian mengenai letusan Gunung Merapi pada 2010. Saat itu, juru kunci Merapi, Mbah Maridjan, meninggal karena letusan. Surono lantas menjadi figur pengganti bagi media maupun publik. Karena itulah, dia juga memperoleh julukan 'Mbah'—sebutan dalam kultur Jawa yang tidak sekadar bentuk penghormatan, namun sekaligus pengakuan atas keilmuan seseorang.

Iklan

Surono saat mendatangi salah satu seminar penanganan pascabencana. Foto dari arsip pribadi.

Doktor geologi lulusan Universitas Savoei Prancis ini menjawab sekian pertanyaan VICE Indonesia. Kami ngobrol mengenai sekian aspek yang akan terjadi menjelang serta sesudah letusan Gunung Agung, dampaknya pada masyarakat Bali, hingga kemungkinan manusia mengalahkan kecepatan awan panas bagi mereka yang menolak evakuasi.

VICE: Gunung Agung berdasarkan catatan bapak itu karakter letusannya seperti apa sih?
Surono: Saya hanya mengacu pada letusan di tahun 1963, dengan korban sampai 1.000 orang lebih. Ada uap panas dan sebagainya itu menandakan jenis letusannya eksplosif, tidak impulsif seperti Sinabung.

Letusan pada 1963 terus berlangsung selama satu tahun. Apakah pola semacam itu bisa terulang kembali?
Yang pasti bisa berulang lagi, (tapi) entah kapan. Kalau sebuah gunung api pernah meletus sebesar Gunung Agung, pasti akan bisa meletus dengan cara yang sama, mengulang pola letusan yang pernah terjadi.

Kenapa pola letusan gunung cenderung tidak berubah setelah ribuan tahun?
Karena di Gunung Agung, Merapi, atau Gunung Kelud, sistem kantung magmanya belum berubah. Beda kalau yang terjadi adalah letusan besar yang sampai membentuk kaldera. Kalau sudah begitu, rusak kantung fluida magmanya. Ibaratnya anda punya gentong, sebelum pecah anda isi segitu, ditumpahin juga segitu. Tergantung makanya, dalam potensi letusan sekarang, apakah [kantong magma] Gunung Agung akan ditumpahin semua isinya atau tidak. Dalam peristiwa alam seperti letusan gunung, kalau tidak ada perubahan sebelumnya, ya akan mengulang seperti itu lagi.

Iklan

Apa yang sebaiknya dilakukan pemerintah di masa menunggu seperti ini?
Tantangan seorang ahli gunung yang paling susah itu menentukan golden timenya. Momen antara munculnya awan panas dan letusan, itu memang sulit sekali [diprediksi]. Andai bisa kita ketahui, masyarakat tidak terlalu lama di pengungsian (menunggu) gunungnya meletus. Ini memang paling sulit. Tetapi langkah pemerintah sekarang sudah bagus, manakala otoritas seperti badan geologi sudah menginstruksikan warga mengungsi. Kalau terjadi letusan mereka selamat, tidak terjadi letusan pun mereka selamat.

Memang, bila proses pengungsian terlalu lama, akan jadi tanggung jawab pemerintah daerah. Kalau memungkinkan, tolong dikasih hiburan apa lah, kan anak-anak masih harus sekolah atau ada yang sekolahnya putus, ya paling tidak dia harus mengatasi kejenuhan di pengungsian. Apalagi itu di tenda-tenda. Nginep di hotel bintang 5 aja ya lama-lama bosen juga kan.

Mungkinkah ketika naik status ke level 'awas', Gunung Agung batal meletus?
'Awas' memang sudah level tertinggi dari kategori aktivitas vulkanik. Tapi bisa saja [batal]. Kenapa tidak? Misalnya, sekarang hari sudah mendung kan, kan kita sepakat kalau mendung itu bakal hujan. Anda yakin ga pasti hujan? Belum tentu kan? Tapi kita semua sepakat mendung adalah tanda mau hujan. Satu hal yang anda lakukan kalau mendung ya bawa payung lah. Kalau benar-benar turun hujan ya bisa dipakai, kalau enggak ya enggak masalah.

Iklan

Lantas gimana pak caranya mengatasi orang-orang yang ngotot balik ke kampungnya atau tidak mau ngungsi?
Begini. Gunung Agung kan sudah ada, di saat masyarakat di sekitarnya belum ada. Anggap saja Gunung Agung itu sebagai tuan rumah, dan masyarakat yang datang itu sebagai tamunya. Kalau memang seperti itu, tamu ini harus respect sama yang punya rumah. Respect salah satu caranya adalah bertamu di waktu yang tepat. Kalau yang punya rumah sedang repot dan kita bertamu, kan mungkin tidak berkenan. Anggap saja, kita ini bertamu, Gunung Agungnya sedang repot. Sudahlah sabar dulu. Memang sulit mengatakan sabar; gampang diucapkan, sulit dilakukan. Tetapi kan mau apa? Yang menentukan [kapan bisa pulang] bukan tamunya, tapi yang punya rumah. Seperti itu lah, kita mengalah sedikit.

Ada sebagian orang yang menolak mengungsi yakin bisa kabur naik kendaraan bila erupsi terjadi. Menurut bapak?
Sekarang gini aja lah. Yang jelas zona merah itu 9 km dan 12 km dari puncak Gunung Agung harus mengungsi ya kan? Itu saja. Masyarakat harus mengungsi karena pengalaman yang pernah terjadi tahun 1963, kemungkinan mereka bisa terkena awan panas. Awan panas ini kecepatannya bisa mencapai sekitar 300 kilometer per jam, temperaturnya bisa 600-800 derajat celsius, Makanya sebelum awan panas datang, sebaiknya mengungsi saja.

Jadi naik motor atau mobil, ngebut sekencang-kencangnya, tidak bisa menyelamatkan kita?
Kalau nanya sama saya sih enggak usah coba ya. Awan panas atau wedus gembel itu kecepatan meluncurnya itu bisa sampai 300km/jam. Kalau anda kena itu, percaya sama saya anda pasti akan gosong. Kalau ada awan panas lewat, jarak 200 meter katakanlah, anda tidak kena awannya. Tapi paling enggak anda dapat uap panasnya. Uap itu paling tidak 200 sampai 300 derajat celcius, sama panasnya. Percaya sama saya, anda akan kering tiba-tiba. Manusia kan terdiri 2/3 dari air, yang jelas anda pasti mati. Percaya, jangan coba.

Prediksinya apakah temperatur global akan ikut turun ketika Gunung Agung meletus nanti, seperti letusan 1963?
Secara keseluruhan, cara kerja alam itu tentu sesuai dengan hukum-hukum alam. Letusan itu adalah akhir dari suatu proses. Setelah sebelum sebuah gunung itu beraktivitas, akhirnya terjadi letusan. Setiap letusan itu tidak harus sama dengan masa lalu. Bergantung dari proses dan situasi saat itu. Dulu saya pernah bilang bahwa ketika Gunung Merapi meletus pada 2010, letusannya akan lebih besar dari 100 tahun lalu, tapi ternyata tidak. Lantas apakah ketika Merapi nanti meletus akan memiliki kekuatan yang sama? Tentu tidak. Jadi untuk memprediksi itu sulit, Gunung Agung saja belum meletus.

Puncak Gunung Agung dipotret dari Temantanda, kawasan timur Bali. Foto oleh Reuters/Bob Strong.

Gunung berapi di Cincin Api Pasifik sepertinya tengah beraktivitas, selain Gunung Agung. Di Vanuatu, Gunung Manaro Vaui tengah menunjukkan gejala meletus. Apakah ini terjadi lempeng Pasifik saling terkait?
Enggak juga. Gunung di Indonesia itu ada banyak lho. Kalau mengatakan bahwa aktivitas Gunung Agung dan gunung di Vanuatu itu berhubungan, kenapa gunung-gunung yang dekat dengan Gunung Agung tidak menunjukkan aktivitas? Di dekat Gunung Agung itu ada Batur, Semeru, dan lainnya. Aktivitas gunung berapi itu didasarkan pada proses yang berdiri sendiri, dan istilahnya tidak menular. Itu adalah fenomena tersendiri. Jadi enggak usah jauh-jauh menghubungkan Gunung Agung dengan Vanuatu.

Pertanyaan terakhir, jenis letusan Gunung Agung yang eksplosif bisa menganggu pariwisata enggak sih pak? Terus, apakah ada peluang penghidupan warga sekitar lereng bisa pulih?
Bali tidak akan seindah sekarang tanpa ada Gunung Batur dan Gunung Agung. Karena jujur saja, material letusan dari Batur dan Gunung Agung itu membuat bali menjadi sangat subur. Kalau enggak ada Batur Agung, bukan Bali banget. Sebenarnya ada peluang pariwisata nanti kalau misalnya Gunung Agung meletus, lalu tumbuhannya sudah pulih kembali. Seperti di Gunung Merapi, sekarang ada lava tour dan sebagainya.