Ada tidak menggenapkan, tak ada tidak mengganjilkan. Pepatah ini kayaknya cocok disematkan untuk keberadaan nasi putih dalam industri restoran cepat saji di Indonesia. Posisinya nanggung banget. Di satu sisi, pengunjung enggak begitu rewel sama kualitas nasi putih yang dilahap di restoran cepat saji. Mereka juga enggak pernah membandingkan rasa nasi di sana dengan yang tersedia di warung pinggir jalan.
Asumsinya sih jelas, pengunjung datang bukan untuk melahap nasi putih sebagai tujuan utama. Ayam goreng, nugget, burger, atau saladlah yang jadi daya tarik utama. Ngaku deh, sesuka-sukanya kamu dengan nasi putih Hoka-Hoka Bento, pasti kamu datang bukan murni karena nasinya kan?
Videos by VICE
Di sisi lain, setiap restoran cepat saji di Indonesia rasanya tetap harus menyediakan nasi. Nasi adalah karbohidrat paling populer di negara ini. Ceruk pasar tersebut harus dilayani pebisnis agar bisa pelanggan puas. Seberapa sering kamu mendengar orang yang merasa belum makan selama belum melahap nasi? Maka wajar rasanya ketika restoran cepat saji, terlebih yang menjadikan ayam goreng sebagai andalan, merasa perlu ngasih opsi nasi putih dalam paket.
Dibilang pelengkap bukan, dibilang makanan utama juga bukan. Posisi nanggung nasi putih di industri cepat saji membuatnya kurang mendapat perhatian sebagaimana harusnya. Kualitasnya jarang diperbincangkan sebab yang penting bisa dimakan. Kalau kita terus abai, kualitas nasi putih fast food bisa terus stagnan, begitu-begitu saja. Ini jelas membahayakan masa depan kuliner Indonesia. Cailah.
Keinginan tulus mendukung berkembangnya industri kuliner ini membuat redaksi VICE merasa punya kewajiban moral untuk mengulas nasi putih lebih dalam. Harus ada yang mengawasi kualitas komponen ini agar ia terus berkembang. Rapat redaksi lantas membebankan tugas mulia ini kepadaku, semata-mata karena aku suka menonton anime Shokugeki no Soma.
Awalnya aku tertekan. Aku merasa lidahku tak cukup kredibel untuk menguraikan apa yang ia kecap. Selama hidup, aku hanya tahu dua jenis makanan, yaitu bisa dimakan dan tidak bisa dimakan. Jenis makanan yang bisa dimakan ini juga terbagi menjadi tiga kriteria: enak, enak banget, dan wortel yang terkutuk. Tanggung jawab memberikan pencerahan lewat ulasan kuliner membuatku berdebar. Aku harus menyusun rencana.
Pertama, aku harus memilih apakah memesan makanan secara online, atau mendatangi restoran cepat saji untuk dine in. Berbekal keinginan makan nasi putih dalam kondisi terbaik, aku memutuskan berkunjung ke restoran saja. Kedua, aku memutuskan beli menu paket dibanding beli nasinya aja. Selain biar bisa menilai harmonisasi antara nasi dan lauk, aku juga takut membayangkan tatapan kasir yang kebingungan melihat pembeli cuma pesan nasi putih.
Ketiga, aku hanya mencari restoran dekat rumah. Maka, aku memohon maaf karena akan melakukan menjadikan nasi putih di satu cabang sebagai representasi brand. Tolong dipertimbangkan kemungkinan yang bikin nasi sedang lelah atau ada masalah keluarga sehingga rasanya sedang tidak prima saat kucoba. Pembelaanku: kalau sudah berani bikin franchise, harus siap dong sama tuntutan konsistensi rasa.
Oke, rencana tersusun. Aku akan memulai perjalanan spiritual untuk menjawab pertanyaan krusial: manakah restoran cepat saji Indonesia yang menghidangkan nasi putih terbaik? Jawabannya ternyata tidak otomatis Hoka-Hoka Bento lho.
Wendy’s
Nasi dibungkus kertas minyak bertuliskan “100% High Quality Rice”. Tagline ini meningkatkan ekspektasi meski tidak menggoyahkan objektivitasku dalam mengulas. Nasi dihidangkan dalam keadaan superpanas. Aku kagum kertas minyaknya tidak terbakar nasi padahal kan kertasnya… kertas… minyak…
Oke skip. Visual nasi seperti menyatu, tidak terlihat pemisahan bulir-bulir. Aku makan dan benar saja, nasi ini benyek bukan main, langsung lumer di mulut. Tekstur lembek ini jadi lumayan mengganggu karena ketika dikunyah, nasi terasa lengket sekali. Ia sampai menempel di lidah, di langit-langit mulut, dan di gigi. Perpaduannya dengan ayam goreng yang garing pas banget karena terjadi kompleksitas menarik di dalam mulut.
Yoshinoya
Dari semua restoran yang kusambangi, inilah satu-satunya restoran yang menyajikan nasi putih di mangkok. Padahal, aku tidak memesan menu rice bowl. Pertama melihat dan mencium baunya, aku merasakan kesegaran, mungkin nasi ini baru banget matangnya. Bulirnya terpisah, enggak benyek dan enggak lengket, mirip nasi dari beras Solok di restoran Padang. Ada garis-garis berwarna abu-abu pada beberapa bulir nasi. Lalu, karena dihidangkan di mangkok, panasnya terjaga dan lebih tahan lama.
Meski empuk saat dikunyah, teksturnya lumayan padat. Begitu digigit, nasi akan terbagi dibanding hancur dan lumer. Rasanya manis banget, termanis dari semua yang kukunjungi, dan aku suka nasi manis. Satu-satunya kesedihanku adalah aku menemukan batu di antara nasi. Mungkin keberadaan batu membuktikan bahwa beras ini tidak begitu premium.
McDonald’s
Aku langsung mencium bau tepung khas McD pada nasi. Entah karena disimpan bersebelahan, atau emang ada racikan khusus, aku tak begitu paham. Yang jelas, nasi sudah terkontaminasi bau lain. Mungkin ada beberapa orang yang suka dan beberapa yang tidak. Aku sih tidak suka.
Secara visual, nasi McD putih bersih, enggak ada garis abu-abu yang biasanya ada di banyak nasi. Teksturnya masih dalam kategori empuk, tapi enggak lengket. Bulir-bulirnya juga masih terpisah-pisah. Rasanya manis setingkat di bawah Yoshinoya, namun lebih lengket daripada restoran dari Tokyo tersebut.
Kentucky Fried Chicken
Aku langsung mengumpat karena nasinya panas banget, lebih dari Wendy’s. Namun saat kertas minyaknya sudah kubuka, nasi menjadi dingin dengan begitu cepat. Mungkin karena ini restoran cepat saji, kita diminta cepat pula menghabiskannya. Rasanya manis, tapi lebih tawar dari Yoshinoya dan McD. Bentuk bulir nasi lebih panjang, juga lebih mudah benyek dan gampang digigit. Namun, rasa yang kudapat sangat-sangat kering. Paket ayam goreng yang kupesan bersamaan dengan nasi sangat tidak membantu rasa seret ini karena sama-sama kering. Untung, minuman soda dan saus sambal jadi penyelamat.
Richeese Factory
Masuk kategori nasi benyek meski tidak sebenyek Wendy’s. Meski lembek, masih ada tekstur bulir nasi yang terlihat. Bentuk bulir gendut namun pendek. Terpisah namun lengket antara satu sama lain. Untungnya, ia tidak menempel di mulut. Rasanya lebih manis dari KFC, namun tak semanis Yoshinoya.
A&W
Saat pesanan datang, aku langsung lemas: nasinya dingin. Kuduga nasi sebenarnya dikeluarkan dari rice cooker, namun karena harus menunggu telur dan ayam yang sedang digoreng untuk melengkapi pesananku, ia adem dalam penantian.
Untung, telur dan ayamnya cukup panas, maka aku sanggupkan makan nasi dingin ini. Ia masuk kategori nasi kering, namun lebih lengket dari KFC. Tak ada bau apa-apa, mungkin karena sudah dingin. Rasanya juga lebih tawar dibanding Yoshinoya dan McDonald, namun aku tak tahu apakah ini karena nasi sudah dingin. Telur dan ayamnya enak sekali, mungkin karena keduanya tidak dingin.
Hoka-Hoka Bento
Sebelum mencoba, harapanku membumbung tinggi karena nasi HokBen adalah favoritku sejak kuliah. Sayang, di gerai yang kupesan, nasi yang dihidangkan tidak konsisten: ada yang lembek, ada yang keras. Ada banyak juga garis abu-abu pada nasi dengan rasa manis seperti Yoshinoya. Aku tak bisa berkata-kata lagi, apakah kenangan makan HokBen yang enak itu karena aku kelaparan saja? Aku merenung dalam. Apakah aku selama ini hidup dalam kebohongan?
California Fried Chicken (CFC)
Mirip banget sama KFC. Bulirnya hampir sempurna dan terpisah-pisah. Enggak lengket, kering, dan gampang dingin. Bercak abu-abu di nasi lumayan banyak. Rasanya juga manis persis KFC. Aku curiga mereka berdua dapat suplai dari tempat yang sama. Percobaan berakhir antiklimaks.
Dengan penuh kebanggaan, aku menjadikan nasi putih Yoshinoya sebagai yang terbaik. Aku maafkan keberadaan batu dalam mangkok yang kumakan. Meski aku datang dari pencinta nasi lembek, Yoshinoya berhasil mengubah pandanganku bahwa apabila diproses dengan baik, nasi “keras” justru memberikan kepuasan lebih. Buat mulutku, nasi lembek cocok dengan lauk keras, sementara nasi “keras” cocok dengan lauk lembek. Kalau disuruh memilih, aku akan lebih condong ke perpaduan yang kedua.
Peringkat kedua dan seterusnya adalah Wendy’s, Richeese Factory, CFC, KFC, Hokben, McDonald, dan A&W.
*Catatan: aku memulai percobaan dengan bayangan hanya akan mencicipi sedikit nasi putih dan sedikit lauk biar mirip juri-juri MasterChef kala menilai masakan. Namun, setelah selesai kunilai, aku merasa berdosa apabila tidak menghabiskan makanan itu. Aku lantas menghabiskan setiap pesanan yang kubeli. Aku menyadari rasa kenyang berlebih ini bisa saja mempengaruhi penilaianku kepada gerai-gerai yang kukunjungi terakhir. Beginilah problematika pengulas gadungan kala beraksi.
Catatan kedua, saat selesai mencicipi delapan gerai, aku bersumpah tidak akan menyentuh nasi putih dan ayam goreng untuk sebulan ke depan. Tapi ternyata, hari ini aku sudah makan ayam goreng dan nasi dengan sukacita kembali. Bedanya, aku menyantap makanan dengan lebih bahagia karena tak harus memikirkan bagaimana tekstur bulir nasi yang masuk mulutku.