Sebuah twit yang saya baca tempo hari menyebut, main Instagram sekarang rasanya cringe abis. Setelah kupikir-pikir, cuitan itu ada benarnya juga. Berbagi konten di platform tersebut sudah tidak menyenangkan seperti dulu, terutama setelah Instagram merombak habis-habisan tampilan antarmuka hingga mirip aplikasi kompetitor. Namun, bukan cuma di Instagram, para pengguna internet kehilangan minat berselancar di dunia maya. Perasaan ini dapat disaksikan di seluruh jejaring sosial.
Yang paling kentara tentu di Instagram, karena sekarang orang sudah malas mengkurasi profil se-oke mungkin. Pengguna Instagram kini lebih suka update keseharian mereka apa adanya di InstaStory, dan bikin postingan baru kalau sedang ingat saja. Sudah jarang juga beredar foto pemandangan indah yang dilapisi berbagai macam filter VSCO.
Videos by VICE
Kemudian ada Twitter, yang mulai ditinggalkan para penggunanya sejak Elon Musk mengambil alih perusahaan. Ditambah lagi, pengalaman menggunakan Twitter semakin tidak menyenangkan akibat banyaknya keributan tidak penting yang terjadi di platform medsos satu ini. Tak sedikit orang “pulang kampung” ke Tumblr untuk menemukan komunitas yang satu frekuensi dengan mereka.
Belakangan ini, saya memperhatikan orang yang biasanya aktif di suatu platform merasa tidak betah di sana. Mereka mencari-cari tempat baru yang mampu memberi kesenangan serupa seperti yang mereka rasakan dahulu kala. Akan tetapi, hal itu tampaknya lebih sulit dilakukan daripada yang kita kira. Bagi mereka yang merasa sudah tua, konten TikTok sangat norak karena kebanyakan isinya hanya joget gaje atau tren masak-masak yang bikin mual. Sementara itu, aplikasi BeReal terlalu membosankan karena yang sering kita lihat cuma layar laptop dan kamar berantakan. Postingannya akan hilang dalam 24 jam, dan kita tidak bisa ngobrol bersama teman di aplikasi itu.
Pertanyaannya, kenapa orang masih merasa bosan meski sudah bolak-balik mengecek medsos? Apakah mereka sudah tidak tertarik menjelajahi dunia online?
“Orang pasti menginginkan cara yang berbeda saat menghabiskan waktu di internet, menyimpang dari media sosial yang mendominasi era 2010-an,” kata Biz Sherbert, editor budaya Digital Fairy, agensi kreatif yang berfokus pada budaya anak muda di internet. Menurutnya, orang jarang main medsos tak selamanya berarti mereka menghabiskan lebih banyak waktu di dunia nyata. Mereka lebih suka berbaur di platform yang mengakomodasi minat mereka, seperti Twitch dan Discord.
“Tindakan ini kerap mencerminkan cara orang menggunakan internet saat belum ada Big Social (raksasa medsos): chat room [yang populer] era 2000-an kini telah digantikan server Discord, atau Blogspot dan Tumblr berubah jadi Substack,” lanjutnya.
Dr Zoetanya Sujon, dosen senior Ilmu Komunikasi dan Media, berujar, meski pengguna medsos telah menunjukkan perubahan perilaku, aplikasi-aplikasinya sendiri tidak akan mati begitu saja. Sebaliknya, kata Sujon, cara orang menggunakan platform medsos besar cenderung berubah-ubah seiring berkembangnya kepentingan individu. “Orang tetap menggunakan Facebook, tapi untuk hal-hal membosankan: membuat jadwal, mengadakan acara, memberi ucapan selamat ulang tahun dll. Dengan kata lain, mereka lebih pilih ‘seru-seruan’ di platform lain […] tapi masih membutuhkan medsos seperti Facebook untuk kepentingan sehari-hari.”
Dr Mark Wong, dosen kebijakan publik Universitas Glasgow yang mendalami interaksi manusia di media sosial, mengungkapkan, masalah etika yang terdapat di suatu platform dapat memengaruhi cara orang menggunakannya. Contohnya, kita tidak sudi membagikan data pribadi di platform milik Meta sejak ratusan juta informasi pengguna Facebook bocor.
“Dengan berubahnya kepercayaan pengguna terhadap platform medsos dan para penguasanya, iming-iming yang mengatakan media sosial netral atau objektif sudah tidak ada artinya lagi,” terang Wong. Kita bisa menyaksikan sendiri bagaimana Facebook dan Twitter telah berubah menjadi ladang teori konspirasi dan hoaks.
Beberapa orang beranggapan hilangnya ketertarikan pada media sosial menandakan kehidupan manusia di masa depan lebih mengandalkan dunia nyata, tapi tampaknya itu mustahil terjadi. Sherbert menilai yang terjadi sebenarnya adalah kehidupan daring kita sudah berubah. “Masa depan media sosial lebih kaya dan intim — mencerminkan masa-masa ketika belum ada influencer,” tuturnya.