Angka Lajang Muda Indonesia Meningkat, Ini Alasan Favorit Mereka Menunda Pernikahan

Data BPS Sebut Angka Lajang Berusia Muda di Indonesia Meningkat 2010-2020

Meski pernikahan dini masih marak, ternyata dalam 50 tahun terakhir batas usia pernikahan Indonesia meningkat secara konsisten. Statistik menunjukkan, pada 1970 hanya ada 1,4 persen perempuan usia 35-39 yang masih lajang. Angka itu naik jadi 3,5 persen pada 2000 dan naik lagi menjadi 3,8 persen per 2010.

Kecenderungan sama pun terjadi pada laki-laki: lajang berusia 35-39 tahun yang tadinya berjumlah 10,02 persen pada 2000 naik menjadi 11,58 persen pada 2010. 

Videos by VICE

Dosen Psikologi Universitas Pelita Harapan Karel Karsten Himawan menilai peningkatan angka perempuan yang belum dan tidak ingin menikah dipengaruhi oleh pergeseran nilai yang bersifat ekonomi. Dari referensi literaturnya, perempuan Indonesia yang menamatkan pendidikan perguruan tinggi pada 2019 meningkat tiga kali lipat dibanding dua dekade lalu. 

Peningkatan partisipasi perempuan pada pendidikan, tulis Karel, membuat angkatan kerja perempuan meningkat dari 32,65 persen pada 1980 menjadi 52,36 persen pada 2013. Hasilnya, semakin banyak perempuan turut memiliki ambisi membangun jenjang karier di berbagai bidang pekerjaan, menepikan pengukuran nilai hidup hanya sebatas peran tradisional dalam rumah tangga.

Keputusan perempuan seperti Kemilau sempat disinggung Deputi Bidang Statistik Sosial Badan Pusat Statistik (BPS) Sairi Hasbullah pada 2018. Kala itu, Sairi melontarkan prediksi BPS yang bilang pada 2020 akan terjadi perubahan perilaku masyarakat yang condong lebih privat. Ia menilai akan muncul kecenderungan individu untuk tidak mau diganggu karena kesibukan dan mobilitasnya yang tinggi, berujung pada keputusan menunda menikah.

Di Indonesia, tuntutan menikah umumnya muncul, entah dari keluarga maupun diri sendiri, di pertengahan umur 20. Alasannya adalah semacam pola “alur kehidupan”. Usia 24-26 tahun adalah momen anak muda sudah menamatkan kuliah serta telah bekerja dua-tiga tahun. Dua pencapaian itu akan dianggap sebagai modal yang cukup untuk memulai keluarga.

Tuntutan itu terasa lebih keras bagi perempuan karena ada pertimbangan usia ideal melahirkan di bawah 35 tahun.

Kemilau, perempuan 30 tahun yang bekerja sebagai karyawan swasta, merupakan bagian dari gelombang yang tidak mengikuti pola ini. Jangankan menikah, ia bahkan tak berpacaran. Fokus pada karier membuatnya enggak punya ruang ngeladenin tuntutan-tuntutan unyu pasangan.

“Masih banyak mimpi dan ambisi yang mau gue kejer sendiri. Gue masih belum bisa share energi untuk rumah tangga. Gue pengin lari kenceng, jadi butuh semangat dan fokus di sini [karier] banget-banget,” kata Kemilau kepada VICE.

“Banyak momen yang membutuhkan gue fleksibel [terkait waktu]. Misal, ada kalanya gue batalin any personal meeting buat ketemu orang yang gue butuh ketemuin. Kayaknya, bakal bubar deh kalau gue ada pasangan, hahaha,” tambah Kemilau.

Motif serupa juga jadi alasan Efan, pria 29 tahun yang juga karyawan, sampai sempat terpikir untuk melajang selamanya. Ia merasa fokus hidupnya tercurah penuh pada pekerjaan.

“Aku merasa belum layak berkomitmen karena ngurus diri sendiri aja belum becus. Pikiran juga banyak tercurah untuk menyiapkan masa depan non-pernikahan kayak karier,” kata Efan. Tampaknya pilihan ini berbuah manis. Lewat media sosial, saya sempat melihat Efan menyabet penghargaan karyawan terbaik di perusahaannya tahun lalu.

Tapi niat tak menikah seumur hidup itu akhirnya ia tangkis karena takut kesepian. “Takut kesepian. Mungkin ada pengaruh konstruksi sosial juga sebab yang dilihat sehari-hari di dunia nyata dan layar kaca kan seringnya bentuk keluarga yang menua bersama,” kata Efan.

Rasa kesepian emang momok menakutkan bagi generasi milenial. Oktober 2019 lalu, YouGov merilis hasil survei yang menunjukkan 30 persen generasi milenial selalu merasa kesepian. Satu dari lima milenial mengaku tidak punya teman, 27 persen tidak punya teman dekat, dan 30 persen tidak punya teman baik. Sama seperti yang terjadi dengan Efan, kemunculan media sosial makin meningkatkan potensi merasa sepi ini.

Apa yang disebut Efan sebagai konstruksi sosial soal menua bersama pernah dibahas penelitian University of Pennsylvania pada 2018. Konsepsi akan hubungan berpasangan yang dilihat manusia di media sosial berpotensi menimbulkan isolasi sosial ketika apa yang dilihat tidak sama dengan bayangan seseorang tentang konsep hubungan yang terjadi di dirinya. 

“Efek internal seperti pikiran dan perasaan yang dipicu oleh media sosial juga dapat menjadi faktor yang bisa menyebabkan rasa isolasi yang dirasakan,” tulis psikolog klinis dan Direktur Penelitian dan Pendidikan Asosiasi Glendon Lira Firestone di Psychology Today.



Aulia Ariani, perempuan 29 tahun yang sedang mengecap pendidikan master di Skotlandia, bahkan sudah memutuskan tak akan ia menikah. Ia menyaksikan sendiri betapa rumitnya pernikahan di sekitarnya, dan ia tak mau mengalami masalah sama.

“Liat pengalaman orang nikah di sekitarku malah ribet. Jadi aku males aja. Lagian nikah kan sunnah, enggak wajib, hahaha,” jawab Aulia. “Mau nikah ribet ngurusnya, mau cerai ribet ngurusnya. Belum pas udah nikah malah dapat stigma. Ada satu orang di tempat kerja yang enggak jadi dapat proyek karena udah berkeluarga. ‘Jangan Mbak ini, udah berkeluarga, ribet’ gitu-gitu. Lha, si Mbaknya aja belum ditanya bersedia atau enggak. Daripada udah terikat tapi masih dicengin, mending enggak nikah aja.”

Aulia mengaku pacarnya memaklumi keputusan tersebut. Ia sudah punya rencana, jika pacarnya ingin punya anak biologis, mereka akan hidup bersama tanpa pernikahan di luar Indonesia. “Di Indonesia kan nikah dianggapnya kamu komitmen sama keluarganya pasangan juga ya. Padahal, aku maunya urusan sama partnerku aja.”

Pada kasus Kemilau, ia bersyukur orang tuanya mau mengerti dan chill aja sama keputusan hidupnya. Hanya saja, ia mengaku tetap tidak terbebas dari pertanyaan-pertanyaan mengganggu seputar nikah dari teman atau kliennya.

“Pas gue tanya kenapa gue harus buru-buru nikah, klien gue ngejawab ‘Biar halal’, ya gue bales ‘Hidup kok selangkangan mulu’. Soalnya menurut gue, enggak pernah ada alasan yang masuk akal untuk nyuruh kita nikah sih.”

Nova, bukan nama sebenarnya, punya alasan tragis di balik keputusannya belum menikah. Nova mengalami pelecehan seksual dari ayahnya sendiri sejak umur 3-4 tahun hingga kelas 1 SMP.

“Aku takut pacar atau laki-laki melihatku cuma soal seksual aja. Makin parah karena pada 2017, pelecehan seksual ayahku terjadi ke adikku nomor tiga. Dari situ aku berpikir, apa calon suamiku nanti bakal menerima cerita kelam ini? Apakah dia akan benar-benar tulus?” cerita perempuan 29 tahun tersebut kepada VICE.

Memiliki ayah yang bermasalah membuat Nova takut akan mendapat calon suami yang sama persis seperti ayahnya, serta kehidupan pernikahannya akan sama seperti orang tuanya. Ketakutan ini diperparah sebab Nova pernah gagal menikah empat kali dalam rentang waktu satu tahun saja. 

“Pada Oktober 2019, pacarku meninggal dunia. Pas 2020, awal aku ketemu laki-laki yang langsung mengajakku nikah meski baru kenal. Tapi, setelah aku ceritakan semua tentang masa laluku dan persyaratanku, ia mundur. Dua bulan kemudian, aku dimanfaatin [secara finansial sama] pacarku yang pengguna [narkoba]. Dia mantan pengguna tapi masih ada satu obat yang ia enggak bisa lepas gitu. Aku selesein karena merasa, kalau diteruskan kayaknya enggak bakal jauh nasibnya sama pernikahan orang tuaku,” cerita Nova. Terakhir, Nova baru putus seminggu yang lalu setelah, lagi-lagi, merasa diperas pacarnya dengan nominal lebih besar.

“Setelah putus kemarin, aku berpikir, ‘Kayaknya aku emang enggak ditakdirin untuk menikah deh’,” tutup Nova.

Ketakutan untuk menikah karena sikap abusif orang tua sepertinya mengancam banyak anak Indonesia. Akhir Agustus lalu, Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak merilis data kasus pelaporan kekerasan seksual kepada anak sepanjang 2020 mencapai 4.833 kasus. Kasus terbanyak terjadi di Jawa Timur, Kalimantan TImur, Sulawesi Utara, dan Maluku Utara. Dengan masih banyaknya kasus kekerasan pada anak, potensi individu belum menikah dengan alasan mirip Nova bisa lebih banyak.

Dari berbagai narasumber, kami menyimpulkan motif menunda atau tidak menikah di Indonesia hari ini memang dimotivasi obsesi pada karier dan pertimbangan kesiapan finansial. Setidaknya alasan-alasan itu yang muncul dari sejumlah anak muda lain yang kami wawancarai.

Enggak tertekan sama tuntutan orang tua atau masyarakat. Merasa ingin accomplish banyak hal sendiri dulu, mau jalan-jalan keliling dunia,” kata Axel, 27 tahun. “Aku ingin move in dulu sama pasanganku sebelum memutuskan menikah. Sayangnya [untuk move in] di Indonesia susah. Padahal di situ kita bener-bener tahu watak asli manusia yang ingin kita ajak berpetualang seumur hidup kita.”

Tentu saja, uang jadi faktor lain yang menghantui anak muda ketika membicarakan pernikahan. “Aku belum siap secara finansial. Pengennya nikah setelah berpenghasilan Rp5-10 juta per bulan dan stabil sampai lima tahun ke depan. Gerak cari bini menurutku harus ada modal finansial juga. Kalau mental mah udah siap banget,” kata Renaldi, pekerja fresh graduate yang kini berusia 25.

Bagaimanapun, keputusan menunda atau sekalian tidak menikah sekarang cukup sulit diberi stigma negatif. BPS bahkan sudah menyimpulkan orang lajang Indonesia lebih bahagia daripada yang sudah nikah.