Kenyataan pahit hari ini: besar kemungkinan air yang Anda pakai untuk mencuci piring, membasuh badan, atau merebus mi instan telah tercemar tinja manusia. Pasalnya, survei Puslitbang Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) Kemenkes pada 2020, bertajuk Studi Kualitas Air Minum Rumah Tangga mendapati 7 dari 10 rumah tangga di Indonesia menggunakan air yang terindikasi tercemar limbah kotoran manusia.
Temuan itu didukung data Bappenas. Direktur Perumahan dan Permukiman Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Kemen PPN/Bappenas) Tri Dewi Virgiyanti membeberkan, pada 2020 capaian sanitasi aman di Indonesia baru sebesar 7 persen, lebih rendah dari Thailand (26 persen) dan India (46 persen), serta tertinggal jauh dari Singapura (100 persen). Sedihnya, tren peningkatan akses sanitasi aman di Indonesia cuma 0,08 persen per tahun.
Videos by VICE
Virgianti mengklaim pemerintah terus berusaha memperbaiki sektor ini. Misalnya, dana alokasi khusus sanitasi untuk sektor air limbah domestik dialokasikan kurang lebih Rp12 triliun. Namun, infrastruktur yang sudah dibangun antara belum dimanfaatkan masyarakat atau sudah tidak berfungsi, menciptakan apa yang disebut idle capacity.
“Infrastruktur [memang] penting, tapi ada hal lain yang penting. [Pertama] yaitu kapasitas daerah dalam membangun regulasi kebijakan kelembagaan [terkait sanitasi]. Kemudian [kedua] kesadaran masyarakat untuk mau membangun [unit sanitasi seperti] septic tank, closet. Masih ada yang belum mau connect sama misalnya, layanan sedot tinja. Bukan golongan bawah, tapi juga golongan ekonomi ke atas,” ujar Virgianti pada webinar “Sudah Amankah Sanitasi di Rumahku?” di kanal YouTube Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, 7 Februari lalu.
Dalam rangka membantu meningkatkan kesadaran masyarakat, Badan Dana Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) menggelar kampanye #DihantuiTai. Terdengar bercanda, kampanye ini punya misi mulia: mengajak keluarga Indonesia lebih memperhatikan sanitasi di rumah masing-masing. “Anak-anak Indonesia #DihantuiTai, panggil pemburu tai,” bunyi poster resmi UNICEF tersebut. Di situsnya, UNICEF membagi pengetahuan tentang septic tank serta kiat menjaganya agar tak mencemari lingkungan, seperti bisa dibaca di sini.
Spesialis Air, Sanitasi, dan Higienitas (WASH) UNICEF Indonesia Maraita Listyasari mengatakan, di balik angka ketercapaian akses sanitasi aman di Indonesia 7 persen, kesenjangan terlihat kala melihat angka per daerah. Terendah, Nusa Tenggara Timur hanya mencapai 0,6 persen, sementara Bali dan DKI Jakarta sebagai “kota besar” berturut-turut hanya 13,76 dan 15,83 persen.
Diare dan gizi buruk adalah dua hal buruk yang akan terus terjadi apabila persoalan sanitasi tidak segera diatasi. Lebih besar dari itu, nyatanya kualitas sanitasi buruk di suatu negara juga memengaruhi pertumbuhan ekonomi negara.
“Dihitung dari potensi kerugian dari berbagai aspek. Sanitasi yang buruk mempunyai potensi [menimbulkan] kerugian sebesar 2,3 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) negara. Kami pikir ini cukup memprihatinkan. Kalau [Indonesia] ingin bergerak ke langkah selanjutnya, sepertinya sanitasi tidak bisa kita anggap sebelah mata oleh semua pihak,” kata Maraita.
Perkara sanitasi buruk ini terus-terusan hadir dari tahun ke tahun. Dua tahun lalu, VICE pernah melaporkan bahwa merujuk data 2017, sebanyak 9 persen masyarakat Indonesia masih berak sembarangan. Direktur Kesehatan Lingkungan Kemenkes Imran Agus Nurali saat itu bahkan menyebut Indonesia menempati urutan kedua dunia penyumbang kotoran yang dibuang sembarangan.
Benar kata UNICEF, kita memang dihantui tai.