Penelitian terbaru menunjukkan bahwa resesi akibat pandemi merontokkan perekonomian dunia. Namun, ada yang tak terdampak sama sekali: kaum superkaya yang menjadi minoritas di planet ini. Justru berdasarkan penelitian terbaru, kekayaan mereka bertambah selama Maret hingga Juli 2020.
Riset itu dilakukan bank UBS dari Swiss yang mewawancarai 121 lembaga pengelola keuangan keluarga konglomerat berbagai negara, dengan kekayaan kliennya rata-rata US$1,6 miliar. Sebagian dari klien mereka masuk daftar orang terkaya dunia. UBS menyimpulkan 77 persen dari 121 lembaga itu justru mengalami “peningkatan nilai harta dan aset dari berbagai portofolio bisnis yang dikelola selama momen penuh ketidakpastian akibat pandemi,” seperti dilansir The Guardian.
Videos by VICE
Lembaga-lembaga keuangan ini adalah firma yang namanya cenderung tidak dikenal publik, hanya melayani keluarga supertajir, dan biasanya sudah biasa mengelola kekayaan mereka sejak beberapa generasi sebelumnya.
Kepala Divisi Pelayanan Klien Prioritas UBS,Josef Stadler, menyatakan kondisi pandemi tetap berdampak pada kebanyakan bisnis konglomerat, tapi hanya untuk yang kekayaannya belum mencapai level kaum 1 persen. Adapun untuk mereka yang masuk golongan 1 persen, krisis akibat Covid-19 justru tidak mengurangi portofolio aset, “karena mereka sudah mempersiapkan manajemen risiko yang belum dimiliki jenis investor lainnya.”
Beberapa nama miliarder kelas dunia yang cukup dikenal publik, seperti Elon Musk, Jeff Bezos, atau Eric Yuan (CEO Zoom), termasuk yang mencatatkan peningkatan harta selama momen pandemi. Pada awal Juni 2020, laporan dari the Institute for Policy Studies menyatakan kekayaan bersih tiga nama di atas meningkat lebih dari US$2 miliar selama kurun tiga bulan. Angka sebesar itu setara dengan nilai subsidi yang diberikan pemerintah berbagai negara untuk menanggulangi dampak negatif lockdown.
Adanya orang yang bertambah kaya secara dramatis, sementara jutaan lain kehilangan pekerjaan akibat bisnis terpaksa tutup akibat PSBB, memunculkan analisis lain: tahun ini ketimpangan ekonomi antara orang kaya dan miskin makin menganga.
Kajian dari the Institute for Fiscal Studies menyimpulkan bahwa keluarga kelas menengah di beberapa negara maju, pendapatannya berkurang hingga 15 persen dari rerata ambang batas kemiskinan. Di Indonesia sendiri, kondisi tak jauh beda. Badan Pusat Statistik mencatatkan koefisien ketimpangan meningkat sepanjang Maret 2020, baik di kota maupun desa. Indeks Gini Indonesia naik dari 0,380 ke 0,381, dengan penjelasan koefisien 0 berarti pemerataan ekonomi berlangsung sempurna, sementara koefisien 1 diartikan ketimpangan sempurna.
“Tujuh dari 10 masyarakat pendapatan rendah di bawah Rp1,8 juta terpengaruh. Masyarakat pendapat tinggi di atas Rp2,7 juta juga turun pendapatannya,” kata Kepala BPS Suhariyanto seperti dilansir CNN Indonesia.
Dr Wanda Wyporska, Direktur Eksekutif The Equality Trust, menyatakan situasi ini berisiko memunculkan konflik sosial apabila kesenjangan global tak kunjung teratasi. “Pandemi Covid-19 menunjukkan dengan gamblang bahwa sistem ekonomi yang berlaku sekarang hanya menguntungkan segelintir elit, dan yang menanggung beban terbesar adalah kaum miskin,” ujarnya kepada VICE News. “Semakin tinggi ketimpangan, maka indikator kesehatan mental, obesitas, serta kekerasan dan kriminalitas akan meningkat.”
Tidak semua kelompok superkaya berpangku tangan melihat kondisi ini. Awal pekan ini, sebanyak 82 miliarder, mencakup sutradara Richard Curtis dan Abigail Disney membuat petisi, mendesak pemerintah di berbagai negara meningkatkan pajak pendapatan untuk mereka yang masuk kategori orang superkaya, sehingga anggaran penanggulangan Covid-19 bisa diperbesar.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE News