Beberapa Jenis Tren Pelanggaran HAM Justru Meningkat di Tanah Air Selama Pandemi

Data YLBHI Sebut tren beberapa jenis Pelanggaran HAM Meningkat di Indonesia selama 2020

Pandemi Covid-19 yang sudah berjalan hampir setahun tidak membuat tren berbagai jenis pelanggaran HAM di Indonesia menurun. Demikian kesimpulan yang dibuat oleh Yayasan LBH Indonesia (YLBHI) selama memantau kondisi penegakan hukum di Tanah Air sepanjang 2020. 

“Kelambatan bahkan kegagalan pemerintah mengambil langkah-langkah efektif merespons pandemi Covid-19 mengakibatkan pelanggaran HAM berlapis. Mulai dari hak sipil, politik, hak atas pekerjaan, hingga hak hidup,” kata peneliti YLBHI Siti Rakhma Mary Herawati.

Videos by VICE

Laporan yang diumukan ke publik pada Selasa (26/1) tersebut meliputi beragam pelanggaran yang trennya meningkat dibanding 2019, mulai dari pembatasan kebebasan berekspresi, pembelaan lingkungan, hingga hak hidup. Salah satu pelaku utamanya adalah institusi kepolisian, yang idealnya berperan memberi perlindungan hukum kepada masyarakat.

Tendensi itu terlihat, menurut YLBHI, dari 351 kasus pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat yang berhasil dipantau sepanjang tahun lalu. Sebanyak 48,16 persen pelakunya adalah polisi, mayoritas modusnya adalah kriminalisasi dan ancaman pemberian sanksi. Modus tersebut juga digunakan aktor nonnegara seperti sekolah dan kampus, ketika muncul protes massif anak muda terhadap pengesahan UU Cipta Kerja.

Dalam beberapa kesempatan, sejumlah demonstran termasuk dari kalangan mahasiswa mengaku kepada VICE petinggi kampus mengancam bakal menjatuhkan sanksi drop out dan skorsing jika mengikuti aksi unjuk rasa.

“Ini menunjukkan pendekatan sangat represif oleh negara dan mempersempit ruang masyarakat sipil dan mengancam negara demokrasi,” ujar Ketua Bidang Pengembangan Organisasi YLBHI Febionesta. 

Sementara itu jumlah pelanggaran terhadap hak mendapat peradilan adil (fair trial) memang menurun, tetapi jumlah korban meroket. Pada 2019, ada 160 kasus penahanan semena-mena tanpa akses pengacara di seluruh Indonesia, melibatkan 1.847 korban. Setahun berikutnya, angkanya menurun jadi 132 kasus, namun jumlah korban mencapai 4.510 orang. Jakarta, Surabaya dan Makassar adalah tiga kota dengan jumlah pengaduan pelanggaran fair trial paling banyak.

“Korban cukup merata,” kata Ketua Advokasi YLBHI Muhammad Isnur. “Siapa pun Anda, bisa kena semua. Tapi yang paling banyak adalah mahasiswa dan pelajar.” Data ini, menurut YLBHI, memperlihatkan betapa intensnya kepolisian menekan aksi menolak UU Cipta Kerja selama triwulan akhir 2020. Di Jakarta ada 1.649 korban yang tersangkut persoalan hukum karena menolak omnibus law.

Selain itu, polisi dan militer juga mendapatkan rapor merah karena terlibat sebagai aktor dalam pelanggaran hak hidup. Dari 508.643 kasus, mayoritas korban adalah perempuan, yaitu sebesar 53,02 persen, dan berasal dari beragam latar belakang.

Dalam bermacam konflik agraria yang seringkali mencakup perampasan tanah, pengerahan aparat militer dan kepolisian terjadi secara konsisten. Warga dalam konflik lahan yang memprotes kebijakan pemerintah ditangkap secara sewenang-wenang dengan dalih mengganggu keamanan.

“Watak pemerintah saat ini adalah [pembangunan] infrastruktur. Data ini menunjukkan kekuatan Polri dan militer dalam hal [konflik] agraria,” kata Wakil Ketua YLBHI Era Purnamasari. 

Penangkapan sewenang-wenang juga terjadi di berbagai kota ketika masyarakat sipil menolak pembangunan pabrik semen maupun penambangan pasir yang berpotensi menimbulkan pencemaran limbah. Salah satunya adalah kasus di Kabupaten Sukabumi, di mana warga berhadapan dengan pengusaha semen dan Polres setempat. 

YLBHI pun mengkritik bagaimana kepolisian masih sering mempersulit pertemuan antara korban yang ditangkap dengan pengacara. “Jadi ada pelanggaran berlapis. Pertama, penangkapan sewenang-wenang. Kemudian, tidak bisa menemui lawyer. Lalu, ada juga yang mengalami kekerasan di dalam tahanan,” ujar Isnur. 

Kepolisian juga dinyatakan lambat dalam memproses pengaduan. “Kalau buruh, nelayan, petani yang dilaporkan [investor], cepat prosesnya. Tetapi, ketika mereka yang melaporkan, lambat. Termasuk kekerasan seksual juga cukup banyak kasus lambat diproses. Aparat beralasan kurang cukup bukti dan lain-lain.”

Beragam pelanggaran oleh aparat juga disorot oleh Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang menuntut perubahan dalam tubuh Polri seiring dengan momen pergantian Kapolri, yang akan segera dijabat Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo. Salah satu insiden pelanggaran disiplin aparat yang banyak disorot publik adalah tindakan polisi di tol Jakarta-Cikampek yang menewaskan empat anggota Front Pembela Islam saat sudah berstatus tahanan.

“Keleluasaan Polri untuk mengeluarkan diskresi tidak digunakan dengan baik untuk mengisi kekosongan hukum. Terlebih lagi, kewenangan penggunaan diskresi tidak diikuti dengan parameter yang terukur,” kata KontraS dalam rilis pers yang diterima VICE.

Ketika terjadi pelanggaran prosedur pun polisi lebih banyak pasif. “Pembiaran terhadap kekerasan tersebut juga dilegitimasi dengan minimnya mekanisme pengawasan, baik secara internal maupun eksternal,” tambahnya.

KontraS berharap sosok Kapolri yang baru fokus membenahi cacat dalam institusi tersebut. “Polri juga harus terbuka dan mampu menanggapi kritik dari pihak manapun sebagai bentuk kontrol masyarakat terhadap Polri sebagai aktor kunci sektor keamanan negara.”