Mari Mengenal Definisi ‘Toxic Femininity’ yang Sering Disalahpahami

feminitate toxica, masculinitate toxica, sexism

“Ada yang namanya maskulinitas beracun,” tulis pengguna Reddit di r/AskReddit pada Agustus lalu. “Kalau feminitas beracun contohnya gimana?” Pertanyaan itu sontak menarik perhatian, mengumpulkan lebih dari 5.000 jawaban.

“Ibu-ibu yang memperlakukan orang lain dengan buruk dan membenarkan tindakannya sebagai bentuk melindungi anak,” jawab seorang pengguna. “Dipermalukan karena bertindak layaknya perempuan,” menurut yang lain. “Saya merasa perempuan suka menilai bulu tubuh, keriput, uban dll.”

Videos by VICE

Lalu ada juga yang berpendapat, “Para perempuan yang mengkritik sesamanya hanya karena mereka berbeda.”

Istilah “toxic femininity” telah digunakan selama hampir satu dekade, tapi semakin populer pasca Me-Too. Pada 2013, artikel Times menggunakan istilah tersebut untuk menggambarkan lukisan Vivien, penggoda licik yang menghancurkan Merlin dalam puisi Tennyson. Setahun kemudian, New York Times membandingkannya dengan “maskulinitas lelaki tangguh” dalam karya yang meratapi kematian detektif fiktif.

Beberapa tahun setelahnya, makna istilah yang serupa dengan femme-fatale berkembang seiring melonjaknya popularitas maskulinitas beracun. Psikolog sosial Dr Devon Price menulis artikel Medium berjudul Toxic Femininity Holds All of Us Back pada 2018. Dia menggambarkannya sebagai pemaksaan untuk mengenakan tas dan melakukan makeover pada gadis remaja yang tak tertarik melakukan semua itu, atau kebiasaan menyuruh perempuan “duduk sopan” dan menganggap perempuan “sangat tidak feminin” jika tidak mau punya anak.

“Semuanya termasuk feminitas beracun,” tulisnya. “Itu penyakit budaya. Itu bukan salah siapa-siapa. Semua orang di sekitar saya juga pernah mengalaminya… Masalahnya bukan hanya pada maskulinitas. Itu peran gender yang tidak fleksibel untuk laki-laki dan perempuan.”

VICE menghubungi Price dan meminta penjelasan lebih lanjut tentang ini. “Saya tidak menganggap diri sebagai titik awal dari frasa tersebut. Saya rasa banyak orang yang menggunakan istilah itu berpikir dengan sendirinya, sama seperti saya, karena tampaknya begitu jelas jika maskulinitas beracun adalah kekuatan sosial, maka feminitas beracun juga bisa seperti itu.”

“Saya pikir penting untuk menyoroti bahwa sama seperti budaya yang menerapkan standar-standar yang membatasi antara menjadi laki-laki atau maskulin, itu juga melakukan hal yang serupa kepada kita terkait feminitas.”

Dosen studi budaya Universitas Melbourne Hannah McCann pertama kali mengetahui feminitas beracun dari artikel Sydney Morning Herald pada 2018. Sekitar dua tahun kemudian, dia menerbitkan karya ilmiah mengenai hal itu dalam jurnal akademik Psychology & Sexuality. Dia menjelaskan, diskusi online tentang istilah tersebut sering kali bersifat “sangat antifeminis” dan “digunakan untuk menunjukkan perempuan juga bisa ‘toksik’.”

“Penggunaan feminitas beracun yang seperti ini merupakan balasan reaksioner terhadap diskusi feminis soal ‘maskulinitas beracun’,” katanya kepada VICE. “Definisi antifeminis ini mempromosikan stereotip feminitas yang berbahaya — seperti anggapan semua perempuan suka bergosip atau ‘bitchy’ (jahat) — dan kerap menunjukkan lelaki menjadi ‘korbannya’.” Tanggapan-tanggapan di r/AskReddit mungkin tidak sampai separah itu, tapi pemahaman pengguna tentang istilah tersebut — terutama yang berakar pada stereotip perilaku feminin dan sikap individu perempuan yang patut dipertanyakan — tidak berbeda jauh.

McCann berujar, alih-alih hanya melihat ekspresi atau sifat individu, akan jauh lebih produktif dan adil jika kita melihat bagaimana “pendekatan tertentu terhadap gender bisa toksik, karena ini memungkinkan kita untuk melihat gambaran politik yang lebih besar.”

“Contohnya, kita bisa membicarakan bahwa feminis anti-trans memiliki pendekatan yang ‘toksik’ terhadap feminitas, karena mereka mempromosikan: penilaian tubuh perempuan dan biner gender kaku yang terletak dalam biologi,” tuturnya. “Atau kita bisa mempertimbangkan betapa heteroseksualnya pemahaman feminitas di kalangan pembela hak umat Kristen.”

Sebagai transpria, Price mengaku perilakunya selalu diawasi “atas nama menjunjung tinggi bentuk feminitas biner yang sangat membatasi,” lalu menambahkan “Dewasa ini, saya juga sangat menyadari betapa besar hantamannya pada perempuan butch [perempuan maskulin] yang saya kenal.”

“Ekspresi wajah netral yang datar saja bisa memberikan cap ‘galak’ pada perempuan maskulin, hanya karena dia menolak untuk mempertahankan penampilan feminitas yang hangat dan mudah tersenyum seperti yang diharapkan budaya kita.”

Menurutnya, yang terpenting adalah istilah ini tidak boleh dianggap sebagai “menyalahkan korban seksisme atas penderitaan mereka sendiri… Ini menunjukkan bagaimana pandangan kita terkait maskulinitas dan feminitas ditegakkan secara sosial, bukan neurosis individu atau rasa tidak aman (insecure) yang muncul entah dari mana.”

Dengan demikian, kalau ada rekan kerja atau atasan perempuan yang menyebalkan, jangan asal menganggap mereka memiliki sikap feminin yang toksik. Jangan jadikan jenis kelaminnya sebagai alasan atas tindakan mereka. Bisa jadi mereka memang orang yang kurang baik.

@Iolachristina