Zombie-zombie menggedor pintu tempat saya bersembunyi. Makin lama, makin keras gedoran. Rasanya tinggal tunggu waktu, zombie itu bisa menjebol pintu dan merangsek masuk ke dalam persembunyian saya. Ini konsekuensi dari keputusan saya kabur dari musuh alih-alih menghadapinya. Sekarang, opsi yang saya milik sudah habis. Zombie sudah nyaris melewati pintu dan celakanya, sisa amunisi saya tinggal 12. Tak punya pilihan, saya memberanikan diri menghadapi monster-monster ganas ini.
Sebelum zombie-zombie itu masuk, saya arahkan moncong senjata ke arah pintu. Segera setelah mayat-mayat hidup yang masih mengenakan pakaian berlumuran darah itu merobohkan puntu dan merangsek ke arah saya, saya yang menghadiahi mereka dengan tembakan. Blam, blam, blam—sejumlah zombie bisa saya bereskan. Tiga amunisi tersisa Tiba-tiba saya sadar sudah lama menahan lapas. Lega kerena lolos serangan zombie, saya langsung menghembuskan nafas.
Videos by VICE
Itu tadi pengalaman saya menjajal “one-shot demo” dari remake Resident Evil 2 yang dirilis jum’at pekan lalu. Demonya sendiri menegangkan dan jauh dari kata mengeceakan. Di sisi lain, demo ini berfungsi sebagai sebuah pengingat bahwa di zaman “early access” dan beta test berbulan-bulan sebelum sebuah game dipasarkan, demo gaya lama seperti masih bisa diandalkan untuk mempromosikan sebuah game.
Demo adalah seni promosi game yang sudah mulai ditinggalkan akhir-akhir ini. Sekarang, gamer mencoba game dengan sistem early access. Di Steam misalnya, gamer diperkenankan menjajal game baru yang akan segera dirilis. Namun, pemain diminta membayar sejumlah uang dan diwajibkan memberikan feedback bagi perkembangan game selanjutnya. Cara lain yang ditempuh untuk mempromosikan game adalah dengan menggelar serangkaian beta test. Berbeda dengan sistem early access, pemain bisa menguji sebuah game baru tanpa dipungut biaya. Akan tetapi, mereka sebenarnya masih dimanfaatkan oleh pengembang game. Dengan adanya beta tester, pengembang bisa mengecek apakah server mereka stabil dan gamenya cukup balance untuk dilepas ke pasaran.
Dengan demikian, beta test dan early access merugikan gamer karena mereka menjajal game yang (kemungkinan besar) masih bolong di sana-sini.
Sebuah demo yang layak—di sisi lain—bisa menunjukan sekelumit fitur menarik dalam sebuah game yang pada akhirnya membuat gamer jatuh cinta. Cara inilah yang ditempuh pengembang Resident Evil 2 untuk mempromosikan produknya.
Game orisinal Resident Evil pertama kali bikin kalangan gamer ketakutan pada 1998. Sejak saat itu, game legendaris ini sudah mengalami perombakan atau dikembangkan kembali dari dasar dengan teknologi yang lebih mutakhir, salah satunya dengan memasang engine baru yang mumpuni dalam Resident Evil 7 dua tahun lalu. Kini menjelang perilisa Resident Evil 2 tanggal 25 Januari nanti, pengembang RE meluncurkan sebuah demo singkat yang mengizinkan setiap gamer yang mencoba untuk mati dan kembali hidup sebanyak mungkin dalam durasi 30 detik setelah itu mereka tak bisa memainkan demonya lagi—sampai gamenya dirilis nanti.
Langkah ini ternyata membuahkan hasil yang memuaskan. Sampai tulisan ini diturunkan, demo tersebut sudah dijajal oleh lebih dari satu juta orang.
Demonya sendiri nampol banget dan tentunya penuh darah—kalian dijamin enggaj bisa menemukan kepala zombie meledak dengan detail yang luar biasa kecuali di game ini. Dari demo itu, saya bisa bilang kontrol game sudah jauh berkembang, apalagi jika dibandingkan dengan kontrol dan sudut pandang fixed camera yang menganggu di seri game orisinalnya. Kalian akan merasa sedang memainkan Resident Evil 7, tapi dengan kamera yang menempel di pundak karakter kalian. dan itu pilihan yang tepat. Dengan sudut pandang seperti ini, zombie yang mengepung kita jadi lebih menyeramkan hingga kita akan sangat puas manakala bisa menembak kepala mereka satu persatu.
Batas waktu 30 menit juga jadi bagian penting dari demo ini. Pasalnya, walaupun terhitung kelewat pendek untuk “menyelesaikan” demo (saya termasuk dua pertiga gamer yang gagal menyelesaikan demo), demo ini berhasil menunjukkan detail penggarapan dan atmosfer Resident Evil 2. Batas waktu yang kelewat singkat ini juga tak menghentikan gamer hardcore untuk mencoba demo berulang kali dengan bikin akun kloningan. Beberapa gamer bahkan menggelar demo ini secara kilat (speed running). Oleh gamer-gamer macam ini, demo ini dikelarkan dalam tempo tiga menit doang. Alhasil, seperti demo game-game keren lainnya, demo “one-shot” adalah pengalaman menyenangkan yang sulit dilupakan.
Demo Resident Evil 2 juga membuktikan bahwa—bila digarap dengan tepat—demo game adalah cara paling efektif memancing antusiasme gamer untuk menjajal sebuah game. PT, alias “playable teaser” untuk proyek game Silent Hills besutan Hideo Kojima and sutradara Guillermo Del Toro, adalah contoh demo yang berhasil dan melampui fungsinya sebagai alat promosi game. Tak ayal, PT memiliki fan yang loyal dan dianggap sebagai game yang berdiri sendiri. Saking impresifnya demo ini, sejumlah fan rela susah-susah merombaknya agar bisa dimainkan di PC setelah gamenya dirilis untuk PlayStation 4 sebelum ditarik dari peredarannya. PT setidaknya mengilhami dua game lainnya.
Mengeluarkan demo yang begitu seru dan bikin nagih sebelum game aslinya benar-benar diluncurkan terasa seperti kebiasan dari masa lalu, masa sebelum Minecraft menunjukkan bahwa gamer rela memainkan game yang belum beres dikembangkan pada 2009. Jika dikemas dengan baik, demo game akan menghidupkan kembali kenangan akan betapa asiknya bermain demo Metal Gear Solid, Half-Life, atau Tony Hawk’s Pro Skater 2. Pendeknya, demo adalah sebuah paradoks yang diperlukan bagi moncernya sebuah game. Pasalnya, sebuah game harus memberikan kenikmatan game yang begitu memuaskan sampai kita gatal ingin segera memainkan game aslinya, beda dengan sistem early access yang kadang sering bikin kita kehilangan nafsu untuk bermain sebelum gamenya siap dipasarkan.
Saya mencintai demo-demo game yang solid. Demo Resident Evil 2 pada dasarnya demo yang baik. Setidaknya demo ini memenuhi fungsi utamanya: meyakinkan kita bermian Resident Evil 2.