Gelombang unjuk rasa pro-demokrasi di Thailand mencapai babak baru. Pemerintah untuk pertama kalinya melunak terhadap tuntutan massa yang rata-rata masih di bawah 30 tahun. Saat menggelar orasi di depan Gedung Parlemen, Ibu Kota Bangkok, pada Rabu (21/10) malam, massa memberi tuntutan: Perdana Menteri Prayuth Chan-O-Cha harus mundur dalam tiga hari ke depan.
Rezim junta militer yang berkuasa sejak 2014 berusaha meredakan kemarahan massa dengan mencabut larangan demonstrasi, serta membuka ruang negosiasi untuk mengadopsi perubahan seperti diminta anak muda. Tapi tawaran itu ditanggapi dingin oleh demonstran. Massa semalam sukses merangsek barikade polisi, menguasai jalanan utama Bangkok, dan membuat aparat kocar-kacir.
Videos by VICE
Para demonstran, khususnya mahasiswa, sukses memblokade jalan depan kantor PM dengan bus dan truk. Mereka secara simbolis mengirim petisi tertulis, berisi tuntutan agar Prayut mundur secepatnya, lalu membuka jalan bagi reformasi demokrasi di Negeri Gajah Putih.
“Jika pemerintah tetap mengabaikan tuntutan kami dalam tiga hari ke depan, maka massa yang berunjuk rasa akan lebih besar dengan tuntutan yang jauh lebih radikal,” demikian keterangan tertulis dari jubir Free Youth, salah satu faksi anak muda terbesar yang mengorganisir demonstrasi delapan bulan terakhir.
Tuntutan massa ada dua: perubahan konstitusi agar negara mereka lebih demokratis, serta melengserkan Prayuth. Sang jenderal berkuasa setelah mengkudeta pemerintahan sah pada 2014. Tahun lalu, Prayut menang pemilu, namun banyak pihak meyakini hasil tersebut penuh kecurangan.
Sejak awal 2020, anak muda mulai rutin menyuarakan ketidakpuasan pada junta militer di Thailand. Mereka muak militer terus mencengkeram tatanan negara itu dan menghalangi kebebasan berpendapat. Dari awalnya demo terpusat oleh mahasiswa kota besar, lama kelamaan masyarakat umum juga mendukung tuntutan anak muda.
Thailand sudah sering mengalami gelombang demonstrasi dan instabilitas politik. Namun, demo anak muda sepanjang tahun ini cukup berbeda, karena sasarannya bukan cuma junta tapi juga kerajaan. Dulu, protes gerakan pro-demokrasi tidak pernah sampai mengkritik keluarga kerajaan.
Kini, raja dan keluarganya bahkan jadi sasaran cemooh serta hinaan anak muda. Mereka mendesak konstitusi baru kelak membatasi kekuasaan raja dalam mengintervensi pemerintahan. Tuntutan ini berakar dari persepsi masyarakat, yang menganggap dua PM sebelumnya dari klan Shinawatra digulingkan militer atas restu monarki.
Tindakan anak muda ini cukup berani, mengingat keluarga raja Thailand biasanya dilindungi dari kritik. Ada hukum bernama Lese Majeste, yang berisiko membuat seseorang dibui hingga 15 tahun bila dianggap “melecehkan” monarki. Lese Majeste selama beberapa bulan terakhir terbukti tidak ada tajinya lagi.
Junta awalnya bersikap keras pada demonstran. Beberapa tokoh pro-demokrasi berusia belia ditangkap. Namun teror pemerintah malah membuat demonstrasi membesar. Larangan berkumpul lebih dari lima orang yang berlaku sejak September tidak dipatuhi sama sekali. Demonstrasi berlangsung terus-terusan di Bangkok.
Melihat persepsi publik pada junta militer tak membaik, Prayuth semalam menggelar jumpa pers disiarkan TV. Dia berjanji mengizinkan masyarakat menggelar unjuk rasa.
“Saya membuat langkah awal untuk meredakan situasi,” kata Prayuth. “Saya harap semua pihak bisa melakukan hal yang sama, karena Thailand sekarang berada di ambang chaos.”
Demonstran menganggap Prayut dan Junta tidak tulus melunak. Buktinya, Patsaravalee “Mind” Tanakitvibulpon selaku pimpinan organisasi mahasiswa, ditangkap pada 21 Oktober malam, karena menggalang petisi menuntut PM mundur.
Mind kabarnya sudah dibebaskan pada Kamis (22/10) pagi tadi. Sejauh ini, 20 aktivis masih ditahan oleh pemerintah Thailand karena terlibat unjuk rasa pro-demokrasi.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE World News