Jatuh Miskin Bikin Aku Diam-Diam Selalu Iri Sama Sahabatku Sendiri

invidie, gelozie, bani, bogati

Confessions” adalah seri artikel VICE memuat cerita pengalaman pribadi yang disembunyikan banyak orang, terutama soal kesehatan mental, fobia, dan bermacam pikiran gelap. Melalui pengakuan para narasumber dalam seri ini, redaksi berharap pembaca sekalian bisa mendapat inspirasi, keberanian, serta perasaan lebih ringan menghadapi problem-problem kejiwaan yang sedang dihadapi. Sebab, seunik apapun ketakutan, depresi, trauma; atau seaneh apapun pengalaman seseorang dalam hidupnya, selalu ada orang di luar sana yang mengalami hal serupa—kalian tidak sendirian.


Aku besar dengan berbagai privilese. Semasa aku kanak-kanak, keluargaku termasuk kelas menengah di Singapura, negara di mana setengah populasinya masuk dalam 10 persen orang terkaya di dunia. Hidup kami sangat nyaman dibanding keluarga-keluarga kebanyakan. Kami punya mobil, tinggal di pusat kota, dan bisa pergi liburan ke luar negeri beberapa kali dalam setahun.

Videos by VICE

Aku masuk sekolah anak-anak keluarga kaya, bertemu dengan sebaya lain dengan tingkat kesejahteraan serupa. Kami semua punya uang saku besar di awal setiap bulan, bisa sering makan enak, dan nongkrong di kafe sambil pura-pura belajar.

Kemudian semuanya berubah.

Ketika usiaku 12 tahun, ayah-ibu bercerai, lalu bisnis mereka hancur. Aku harus berpisah dengan kehidupan nyaman yang kukenal dan memasuki dunia baru yang tidak kupahami. Aku masih ingat hari ketika ayah dan ibu mengatakan kalau aku dan kakak tak bisa lagi menikmati kemewahan yang kami punya selama ini.

Sejak itu, aku langsung pulang ke rumah dari sekolah setiap hari. Uang jajan bulananku berubah menjadi uang saku harian, yang bahkan hampir tidak cukup untuk membeli satu porsi makan siang. Makan malam bareng di restoran yang sebelumnya rutin kami lakukan menjadi acara bulanan, sebelum akhirnya berhenti sama sekali. Keluargaku sampai menjual mobil dan menggadaikan rumah.

Aku dulunya adalah anak yang cuek, tapi tiba-tiba, aku harus memiliki standar akademis dan moral yang jauh lebih tinggi, yang sulit dicapai. Aku harus sukses di pendidikan, karena ibuku, yang sekarang menjadi orang tua tunggal, tidak punya waktu membantuku atau kakakku seputar pelajaran di sekolah.

Ketika aku curhat ke saudara dan paman dari keluarga besar, mereka mengatakan ‘terima saja kenyataaan’. Aku katanya dulu terlalu dimanja dan sekarang harus lebih dewasa. Mereka bilang kebanyakan orang nasibnya lebih buruk dariku. Padahal mereka ini dulunya juga ikut selalu melindungiku dari kerasnya realita dunia. Mereka bersikap seakan-akan tidak ikut memanjakanku.

Aku tidak memiliki sosok untuk panutan untuk menghadapi status sosialku yang baru. Aku benar-benar ditinggalkan begitu saja. Aku mulai merasakan gangguan kecemasan dan rasa takut, dan harus menghadapi semuanya sendirian. Semua persoalan tadi kujalani tanpa memiliki sistem pendukung untuk membantuku memahami diri sendiri. Aku merasa sangat terasing.

“Jatuh miskin, dan harus menghadapi fakta orangtuaku bercerai, mematikan cahaya harapan dalam diriku. Aku terus berusaha menyalakan lagi cahaya tersebut sampai sekarang.”

Aku membenci diriku sendiri yang manja, yang tidak memahami konsep privilese, kerendahhatian atau kesederhanaan. Tapi mau tidak mau aku tetap merasa simpati untuknya. Karena hingga kini, aku masih harus menghadapi dampak negatif dari pengalamanku hingga kini. Akibatnya kini, aku punya sifat buruk: iri dengan siapapun yang punya lebih banyak nasib baik dariku.

Setelah orang tuaku berpisah, aku sering merasa hancur ketika sedang nongkrong dengan teman, tapi memilih untuk tetap ikut, karena aku ingin bersama dengan mereka, dan menikmati kehadiran mereka. Namun rasa iri kerap muncul ketika aku melihat mereka memiliki sesuatu yang aku tidak punya.

Aku ingat momen diajak nongkrong sahabatku di sebuah kafe setelah sekolah, merasakan badai kecemasan menghampiri. Aku merasa tidak selevel dengan teman-temanku yang keluarganya masih punya uang, aku merasa “lebih rendah” karena tidak mampu membeli secangkir kopi atau sepiring kue, sementara teman-temanku selalu punya uang jajan yang tak perlu mereka pikirkan dari mana sumbernya.

Aku sekarang paham, semua pikiran buruk itu salahku sendiri. Aku tahu merasa cemburu sama sahabatku keliru, namun sekeras-kerasanya mencoba merasa bahagia bagi mereka yang lebih berkecukupan, aku merasakan ada lubang besar di hidupku. Seakan-akan semuanya diambil dariku begitu cepat. Menyaksikan teman-temanku menikmati privilese yang sebelumnya aku miliki membuatku rindu dengan gaya hidup keluargaku di masa lalu.

Hingga sekarang, aku masih melihat mangkuk orang lain dan takjub betapa lebih besar dan berlimpah makan malam mereka. Aku masih nongkrong dengan teman-teman yang sama, makan di restoran yang sama dan nongkrong di tempat yang sama. Biarpun aku sudah menemukan cara untuk hidup sesuai kemampuan finansialku, kadang kalau aku menyaksikan kemewahan yang dulu kumiliki, pikiranku kembali dipenuhi rasa cemburu yang kerap membuatku menangis.

Perlahan-lahan aku mulai terbiasa dengan gaya hidup baruku. Butuh waktu yang lama agar aku bisa tidak lagi merasa lebih rendah dari orang lain, tapi aku dalam perjalanan menuju ke sana. Aku menyadari bahwa biarpun punya uang itu enak, privilese yang aku miliki ternyata hanya dinikmati segelintir orang saja. Aku dulu hidup dalam sebuah gelembung yang ternyata jauh berbeda dengan realita kebanyakan orang. Aku bersyukur gelembung itu pecah sekarang.

Aku belajar apa artinya menemukan nilai-nilai dalam hal yang tidak bisa dibeli dengan uang. Hal-hal seperti bekerja keras untuk mendapatkan gaji. Atau bagaimana caranya untuk berdiri dengan kedua kaki sendiri tanpa bantuan orang tua. Waktu mengajarkanku hidup itu lebih dari sekedar mengumpulkan kekayaan material, bahwa nilai-nilai penting bagi manusia yang sesungguhnya tidak ada hubungannya dengan uang.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE ASIA.