Food

Depresiku Teratasi Saat Aku Memasak Delapan Kuliner khas Cina

Artikel ini pertama kali tayang di MUNCHIES

“Masukkan biji wijen bersamaan dengan jahe, bawang putih, daun bawang, cuka beras, dan selai kacang.”

Videos by VICE

Anjing. Baru mau mulai masak aja udah keliru.

Aku hanya bisa garuk-garuk kepala saat membacanya. Aku punya selai kacang, tiga jenis kecap asin, dan cuka beras. Kalau food processor tidak punya. Sial. Bagaimana ini? Aku sudah setengah jalan lagi.

Mi yang kurebus terlanjur mendidih. Aku harus cepat-cepat meniriskannya sebelum jadi lembek. Aku juga harus memanggang kacang tanah dengan api kecil agar tidak gosong lagi. Selanjutnya aku harus memotong kecil-kecil mentimun. Nah, sekarang gimana caranya menumbuk biji wijen secara manual?

Andai saja waktu itu aku bawa khalbatta (ulekan dari India). Emang berat sih, tapi paling tidak aku bisa pakai itu buat tumbuk biji wijen ini. Akhirnya aku memasukkan biji wijen ke dalam mangkuk stainless steel dan menumbuknya pakai sendok sayur besar. Hadeh.

Tumis bumbu, tiriskan mi, iris mentimun, dan tekan pelan-pelan sampai bijinya keluar

Aku menyerah. Biji wijennya tidak bisa tertumbuk halus. Aku mencampurkan biji wijen dengan bahan-bahan lainnya. Setelah itu aku menuang kecap asin ke dalam mi dan menambahkan daun bawang. Minya garing. Bodo amat lah.

15 menit kemudian, aku selesai memasak dan dan mian (mi dan dan) dan pai huanggua, salad mentimun khas Cina, yang sudah dilumuri kecap asin dan minyak cabai.

Dan dan mian with smashed cucumbers. All photos by the author.

Capek banget. Aku menghabiskan waktu untuk menyiapkan makanan ini. Masakan Sichuan ini adalah hidangan pertama untuk proyek pribadiku beberapa waktu lalu. Dalam proyek ini, aku berencana memasak delapan masakan khas Cina yang merupakan tradisi kuliner dari delapan provinsi besar.

Beberapa hari kemudian, aku menceritakan lengkap pengalaman memasakku kepada kenalan dari Tinder saat kami sedang kencan. Aku baru sadar kalau sempat menangis setelah berhasil membuat masakan itu. Tapi aku tidak menceritakan bagian ini kepadanya.

Aku mulai belajar memasak masakan Cina pada musim semi tahun lalu. Aku melakukannya untuk mengatasi depresi yang sempat kualami. Waktu itu aku baru saja pindah ke Beijing setelah tinggal seumur hidup di Mumbai. Aku memutuskan pindah karena baru saja putus dan ingin memulai hidup baru. Awalnya sih aku betah-betah saja di sini. Semuanya terasa menyenangkan. Aku bahkan sampai ikut kelas bahasa Mandarin, belajar pakai sumpit, mendatangi acara-acara ekspat dan membeli sepatu bot untuk pertama kalinya. Mana mungkin bisa pakai sepatu macam begitu di Mumbai.

“Walaupun kita memulai hidup baru, tapi kita tidak bisa melupakan siapa kita dulu. Saat kesenangan kita memudar, semua sifat buruk yang kita benci akan balik lagi.”

Beberapa minggu kemudian, aku lupa kenapa aku pindah ke Beijing. Aku merasa sangat kesepian. Aku kangen teman-temanku di kampung halaman. Teman-teman ekspatku di sini, yang kebanyakan orang Barat, membuatku seperti penyelundup.

Aku sudah lama tidak punya pacar. Usahaku melupakan mantan malah membuatku berkencan dengan orang-orang yang salah dan semakin tidak pede dengan tubuhku. Aku semakin jarang menghubungi keluarga di Mumbai. Aku lelah berpura-pura kalau aku baik-baik saja dan mencemaskan masa depanku.

Aku semakin tidak betah tinggal di Cina. Aku kepikiran untuk balik ke Mumbai setelah tahun baru. Aku juga makin sering bolos kelas Mandarin. Aku tidak becus kerja, jarang keluar rumah, dan hanya pesan makanan instan yang mahal dan tidak sehat.

***

Suatu pagi di akhir pekan, aku bangun tidur dan melihat kalau sudah musim salju.

Aku pernah mendaki gunung es di India, tapi tidak pernah merasakan musim salju. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan yang berantakan. Aku memutuskan belanja bahan makanan setelah menjelajahi situs-situs web resep masakan.

Kedengarannya mudah. Membuat satu hidangan berbeda dari delapan provinsi—Sichuan, Hunan, Zhejiang, Fujian, Anhui, Shandong, Jiangsu, dan Guangdong. Kalau dipikir-pikir ide ini buruk juga. Karena aku tidak bisa masak. Tapi, siapa tahu aku bisa sukses masak kalau mengikuti resep.

Ideku memang bodoh. Aku sibuk meyakinkan diri untuk memegang daging ayam mentah. Bukannya jijik; aku hanya tidak tahu cara memasak ayam. Aku terlahir di keluarga vegetarian. Aku baru mulai makan daging lima tahun lalu. Tanpa sepengetahuan orang tua tentunya. Aku sampai cari di Google dada ayam itu seperti apa. Aku harus pastiin kalau tidak salah pilih. Tapi, tetap saja aku tidak bisa membedakannya.

Ya sudahlah, aku pasrah saja. Aku menggerutu dan memegang daging mentah itu.

Dingin, tapi tidak seburuk yang kukira. Aku berusaha cepat-cepat memasak sebelum kehilangan kesabaran. Saking hati-hati memotong daging dan takut kecipratan air rebusan, aku sampai kelupaan cara memasak ayam Hunan yang benar.

Dagingnya kematangan dan kebanyakan pakai garam. Paling tidak masih bisa dimakan. Teman sekamar saja sampai ikut mencicipi. Masakanku kelihatan lezat, apalagi setelah ditaburi cabai merah. Berbeda dari masakan Sichuan, hidangan ini lebih mengutamakan potongan cabai segar.

“Suatu sore, aku mengalami serangan panik dan merasa sangat gelisah. Aku kepikiran harus melakukan sesuatu. Biasanya aku tidak pernah melakukan hal produktif. Tapi kali ini, aku memutuskan memasak.”

“Kamu tidak bisa jadi orang revolusioner kalau tidak suka makan cabai,” kata Mao Zedong yang suka makan ayam Huan. Aku berempati setelah berperang dengan ayam.

***

Setelah menyelesaikan dua jenis masakan itu, aku tidak memasak selama sepuluh hari. Sudah biasa. Awalnya aku bersemangat melakukan sesuatu, tapi lama-lama jadi bosan dan melupakannya. Selain itu, hari-hariku sangat buruk. Kerjaanku tidur-tiduran saja, sambil lihat-lihat menu di aplikasi pesan makan waimai. Saat itulah aku pergi ke toko swalayan tanpa pikir panjang. Aku memasak asparagus khas Shandong. Masakan khas provinsi di bagian timur ini mengedepankan kesederhanaan dan mengutamakan rasa dan tekstur bahan-bahannya.

Bagaimana prosesnya? Merebus asparagus, dan melumurinya dengan kecap asin, wijem dan minyak cabai. Setelah itu menaburkan biji wijen panggang di atasnya.

Asparagus khas Shandong dijadikan lauk di restoran-restoran, tapi aku tidak masalah kalau harus menghabiskan semuanya. Aku semakin lihai memasak. Aku semakin sering masak, bukan hanya untuk proyek saja. Masakannya biasa saja. Sayur oseng atau pasta. Entah kenapa, memotong, mengiris atau mengupas bawang bisa membuatku tenang. Kadang, kalau lagi stres, aku tidak peduli dengan prosesnya. Aku akan menyelesaikannya secepat mungkin. Setelah aku selesai menyiapkan bumbu, aku menjadi lebih tenang dan bisa memusatkan pikiran.

Suatu sore, aku mengalami serangan panik dan merasa sangat gelisah. Aku kepikiran harus melakukan sesuatu. Biasanya aku tidak pernah melakukan hal produktif. Tapi kali ini, aku memutuskan untuk memasak. Aku memotong jamur, paprika kuning dan bawang bombay dengan rapi. Aku melakukannya sambil mendengarkan podcast favorit. Aku menambahkan telur dan bumbu masala, dan membuat antara shakshuka (telur ceplok) dan bhurji (telur orak-arik khas India). Aku merasa jauh lebih baik sehabis menyantapnya dan merapikan dapur.

Xiao long bao.

Selanjutnya aku memasak babi asam manis khas Guangdong—atau Kanton—, dan ban mian —mi kuah yang ditambahi jamur dan ikan teri—untuk makanan Fujian, hidangan orang Tionghoa Hakka yang bermukim di provinsi tersebut. Untuk masakan Anhui, aku memasak tahu yang dicampur sarang madu. Di resepnya, aku harus pakai tahu yang keras. Aku mencarinya di toko swalayan dan memencet-mencet semua tahu.

Aku paling suka memasak masakan Jiangsu. Dari delapan masakan khas Cina tersebut, masakan ini menggabungkan tradisi kuliner lain seperti gaya Nanjing, Wuxi, dan Suzhou. Masakan Jiangsu juga menginspirasi makanan Shanghai. Meskipun Beijing selalu dianggap lebih unggul, masakan Shanghai lebih lezat. Contohnya saja xiao long bao—pangsit lembut yang berisi kuah di dalamnya. Masakan Jiangsu membutuhkan ketepatan tinggi. Jangan harap kamu bisa berimprovisasi saat membuatnya.

Aku ikutan kelas membuat xiao long bao. Membuat kuahnya sangat sulit. Daging babi dibekukan menjadi “es” gelatin. Setelah itu kita harus mengirisnya dan dibungus dengan kulit pangsit. Jangan lupa masukkan daging babi dan daun bawang juga. “Kepal adonannya!” kata chef Michelle, yang sangat sabar mengajarkan kami. Hasil terbaik akan dikukus. Kami akan memakannya perlahan dan menyesap kuahnya yang enak (gelatinnya meleleh saat dikukus.) Jangan pernah melahap xiao long bao utuh-utuh. Kuah panasnya akan membakar lidahmu. Yang bentuknya tidak bagus akan digoreng. Kita tidak boleh menyisakan satu pun pangsit.

Dongpo pork belly.

Aku sangat enjoy melakukannya, membuatku semakin percaya diri untuk memasak. Kadang masih ada yang salah-salah sih, tapi tidak seburuk dulu. Pikiran-pikiran burukku mulai berkurang.

Misalnya seperti waktu aku membuat hidangan terakhir untuk proyek ini. Aku harus membuat masakan Zhejiang yang kaya rasa. Masakan ini membutuhkan kecap asin, gula, dan cuka. Salah satu makanannya adalah perut babi Dongpo asal Hangzhou.

Ini hidangan paling susah dalam proyekku, tapi resep paling gampang untuk masakan Zhejiang. Memasak babi Dongpo menghabiskan waktu dua setengah jam. Aku menyajikannya dengan nasi dan makan bersama teman yang sedang main ke rumah. Kami merayakannya berakhirnya proyek ini dengan minum bir Yanjing.

Proyek ini membuatku bisa masak dan merasa lebih baik. Meskipun aku mengalami hal buruk atau merasa sedih, aku bisa mengatasinya.

Sudah lama aku tidak merasa sebaik ini.