Deretan Album Yang layak Kamu Dengar Minggu Ini

Artikel ini pertama kali tayang di Noisey.

Awal minggu adalah waktu yang tepat memburu musik-musik baru. Sayangnya, kita kadang kebingungan mulai dari mana. Karena itulah, tiap minggu tim redaksi Noisey menyusun daftar album, mixtape, atau EP yang bisa kamu putar seminggu penuh. Kalian juga bisa mencoba lagunya langsung lewat pemutar streaming di artikel ini. Kami sadar rekomendasi tersebut tidak mungkin bisa komprehensif menggambarkan yang sedang seru dari kancah musik. Setidaknya kami berharap usulan kami membantu kalian menemukan musik-musik baru yang menghibur. Jadi, silakan membaca daftarnya!

Videos by VICE

Nadine: Oh My

Nadia Hulett, yang dikenal sebagai partner Makonnen di Phantom Posse, dan dua anggota Ava Luna selain Carlos Hernandeze dan Julian Fader telah meramu semua cita rasa semua proyek terdahulunya dalam proyek kolaboratif terbaru o h my. Musik-musik teler dalam album ini berhasil mamaduakan eksotika murah ala Martin Denny dan eksperimentasi future-loungue khas Stereolab, tanpa kedengaran terlalu mengekor. Lagu “Ultra Pink” adalah lagu easy listening yang memaksamu mengklaim kenyamananmu sendiri. “Don’t tell me I’m some kind of woman,” ujar Hulett dalam liriknya. Pantas didengarkan pas leyeh-leyeh— Colin Joyce

No Age: Snares Like a Haircut

Album kellima (sekaligus yang pertama setelah keluar dari Sub Pop) dari band noise rock asal LA ini sangat menyenangkan dan enak sekali dinyanyian bersama-sama. Randy tak membuang waktu. Selang beberapa detik setelah vocal hook Dean Spunt melayang, dia langsung menghajarnya dengan runtutan power chord yang riang. Ada semacam rasa takut di bawah tumpukan fuzz karena lagu-lagu ini ditulis pada 2017. Di lagu “Stuck in the Charger,” spunt bernyanyi, “Everywhere I face / I toss and turn”; sementara di “Send Me,” dia lebih gusar lagi: “Send me, send me / Where should I go?” Namun, kegusaran ini dilontarkan dengan sikap bodo amat yang begitu tinggi hingga menguap begitu saja. — Alex Robert Ross

Migos: Culture II

Album ketiga Migos (yang terasa seperti album kesepuluh lantaran kolektif ini sering banget biin mixtape), Culture II terdengar seperti dua proyek yang digabung jadi satu. Bayangkan panjang albumnya saja sampai 105 menit. Namun, ada satu benang merah dari album ini: Beatz/Metro Boomin/Zaytoven beat dengan vocal bak setan dari mulut Quavo vocals serta beat ngebut seperti senapan mesin yang dilontarkan oleh Offset and Takeoff. Bagian lain dari LP ini bersenang-senang dengan eksperimen sonik, mulai “Stir Fry” yang mudah meresap, percobaan menggarap sunny pop “Gang Gang”, hingga penggunaan vocoder ala Roger Troutman oleh Quavo di “Too Much Jewelry.” Culture II menggambarkan dunia di mana Migos benar-benar merayakan statusnya sebagai band terbesar dari genre mana pun dan memutuskan mengoplos segala jenis musik yang mereka dengarkan. — Phil Whitmer

Agrimonia: Awaken

Grup asal Swedia ini berhasil menggambarkan apa jadinya bila genre yang diusung oleh sekumpulan pemuda anarko yang tak punya apa-apa selain beberapa gitar butut namun setidaknya tahu cara menyalakan gitar dan punya sesuatu yang ingin dikatakan terpapar anasir metal yang lebih berat serta dimainkan lewat perkakas modern. Album baru mereka ambisius, awaken, dengan telaten menunjukkan kepiawaian Agrimonia menggubah melodi selagi vokalis Christina Blom ramalan-ramalan kelamnya. — Kim Kelly

Long Neck: Will This Do?

Album tak hanya dihantui oleh kehilangan. Lebih dari itu Will Do This? Adalah sebuh potret tentang keteguhan hati—yang diperoleh setelah berdarah—sementara dunia di sekitarmu runtuh perlahan-lahan. Lagu-lagu paling mentereng di album ini—seperti “Milky Way”, ballad fuzzy yang pas masuk album Bug-nya Dinosaur Jr. di dimensi lain hingga “Lichen” yang antemik abis, kental dengan keteguhan hati yang adiluhung. Mendengarnya bikin kita membayangkan betapa penulis liriknya pernah menghadapi tragedi dalam hidup serupa putus cinta dan kematian dengan kepala tegak. Will This Do? Juga bisa kocak-sekocaknya. Lirik ini dalam lagu “lichen” bisa jadi contohnya: “When you bury me, don’t put lillies in my fist / Put a beer bottle there, cause that’s how I lived”). Will This Do? adalah gambaran menyeluruh akan masa-masa menyedihkan dalam hidup yang dengan enteng bilang “seberat apapun hidup lo, selalu ada jalan keluar kok bray.” — Colin Joyce

Cucina Povera: Hilja

Debut album Maria Rossi sebagai Cucina Povera (ini sejenis gaya memasak Italia yang intinya menggunakan apa yang kamu punya) menunjukkan dia menggunakan suaranya sendiri untuk menciptakan koleksi bunyi paduan suara berhantu. Hilja mengandung elemen kosong dan musik rumahan seperti album-album baru Carla Dal Forno dan Roe Enney, tapi Rossi memiliki kemampuan untuk membuat komposisinya terasa melayang. Track macam “Avainsana,” mengandung melodi sulur ditemani sound-sound sentimental yang menarik lagu tersebut kembali ke bumi, biarpun mereka masih tetap melayang di atas sana. —Colin Joyce

Khruangbin: Con Todo El Mundo

Trio dari Burton, Texas (populasi 300 orang), Krhuangbin menciptakan musik jam instrumental internasional yang sulit diklasifikasikan. Album debut mereka, The Universe Smiles Upon You (2015) menarik pengaruh dari kaset musik Thai, dengan akar di hip-hop dan house. Tapi Con Todo El Mundo, sesuai dengan namanya, justru bahkan lebih bervariasi lagi, dan menyentuh elemen Compas, pop Persia dan psikedelia. Semua elemen ini diracik dengan indah, karena trio ini sangat seimbang—permainan gitar mengalir Mark Speed diberikan ruang oleh sinkopasi lembut drummer Donald Johnson dan permainan bass intuitif Laura Lee berhasil masuk dan keluar sesuai kebutuhan. Ini adalah bukti nyata bentuk musik internasional di era di mana musik macam ini sangat dibutuhkan. — Alex Robert Ross

Palmbomen II: Memories of Cindy

Dikombinasikan dengan beberapa broadcast akses publik yang surealis, album dari penduduk California asal Norwegia bernama Kai Hugo ini merupakan sebuah pengalaman komedi multimedia. Album ini sendiri, kombinasi dari beberapa EP yang dia rilis tahun lalu lewat label New York, Beats in Space, merupakan cerminan dari visi yang sama—cinta yang hilang, ngemil di larut malam, asik joget di lantai dansa, dan ketiduran di sofa di klab DIY paling gak karuan. Kamu akan tertawa, menangis, joget, dan kalau beruntung melakukan ketiganya sekaligus. — Colin Joyce

Mammoth Grinder: Cosmic Crypt

Album baru Mammoth Grinder, Cosmic Grypt itu bagus banget sampe-sampe saya agak kesel. Ini jenis album yang akan merusak harimu, karena musik apapun yang kamu dengarkan di Bandcamp menjadi terdengar cupu. Album ini menerobos batas antara death metal dan hardcore yang menyelami keduanya, menampilkan campuran dari sound Bolt Thrower dan Entombed dengan elemen d-beat dan mengingatkan kita dengan band penyembah riff Ulsh satunya, Power Trip. Hasil akhirnya adalah musik metal menyenangkan yang membuat saya ingin menyeruput tujuh belas gelas bir, membalik mejanya dan menonjok seorang polisi. — Kim Kelly

Hollie Cook: Vessel of Love

Sound kunci dari musik Hollie Cook, biarpun Vessel of Love terdengar sedikit berbeda, adalah musik reggae. Mojo Magazine mendaftarkan album 2014 Cook, Twice sebagai bagian dari daftar album reggae terbaik sepanjang masa. Ketika ditanya tentang pencapaian tersebut, dia hanya menjawab “Ya…saya inget sih. Kalo gak salah saya ditempatkan di urutan 199. Boleh lah ya.” Dia berada di angka 31, dan menjadi salah satu dari sedikit perempuan (dan musisi yang masih hidup) di daftar tersebut. Tapi kerendahan hati Cook bukanlah kepalsuan. Apabila dia tidak khawatir bagaimana orang akan mengkategorikan jenis musiknya, maka tidak aneh dia tidak akan peduli tentang sedikit pujian. — Zachary Lipez