Artikel ini pertama kali tayang di i-D UK.
Ketertarikan terhadap arsitektur Cina membawa saya ke Beijing pada 1993. Awalnya saya datang sekadar untuk kunjungan belajar difasilitas Pemerintah Inggris (yang sudah berlangsung selama 25 tahun sampai sekarang dan belum menunjukkan tanda-tanda hendak dihentikan). Selanjutnya saya beruntung bisa mengunjungi Pyongyang. Lawatan ke negara tertutup itu berjalan mulus berkat bantuan kawan saya, Josh Green, yang waktu itu bekerja sebagai utusan dagang untuk Beijing dan Pyongyang. Josh diberi kepercayaan merintis cabang perusahaan kurir TNT di kedua Ibu Kota tersebut.
Josh mendapat tugas itu pada 1988. Di tahun itulah, Josh belajar bahasa Cina di Beijing bersama beberapa mahasiswa asing asal Korut. Setelah akhirnya sampai di Pyongyang pada 1993, Josh bertemu salah satu kawan lamanya sesama peserta kursus, yang bekerja di bidang pariwisata Korut. Kala itu, turisme di Korut mulai tumbuh. Sebenarnya pariwisata sudah berkembang di negara totalitarian ini sejak 1953. Tapi memang industri pariwisata Korut baru dibuka buat turis barat pada 1987. Tak ayal, jumlah orang asing yang bisa plesiran ke Pyongyang saat saya datang masih bisa dihitung jari. Kawan Josh, yang ujung-ujungnya jadi kawan saya juga, meminta pertolongan kami berdua buat mengundang turis asing lebih banyak. Siapapun, asal turis asing, pokoknya kalau mau harus diajak datang ke Korut. Alhasil, saya dan Josh, serta lima kawan lainnya, ikut serta dalam Koryo Tour pertama yang dijalankan pada 1993.
Videos by VICE
Pyongyang sejak dulu, bahkan sampai sekarang, selalu lebih indah dari Beijing. Pyongyang adalah kota yang begitu tertata dan tumbuh pesat selepas berakhirnya Perang Korea (1950-1953). Di akhir perang saudara itu, penduduk setempat mengatakan hanya ada tiga bangunan tersisa dan masih utuh di Pyongyang. Sekarang, ibu kota Korut itu menjadi kota modern dihiasi Sungai Taedong dan pecahannya Sungai Rover, mengalir membelah dua sisinya. Taman lazim ditemui di sana-sini. Tak aneh jika Pyongyang dikenal sebagai kota yang kaya dengan kawasan hijau. Apartemen ala Soviet dan jalan-jalan modern memenuhi setiap sudut kota, diselingi bangunan-bangunan publik seperti teater, gedung olah raga, bioskop dan perpustakaan. Semua dengan gaya arsitektur interior yang ganjil lagi indah. Selama di Pyongyang, saya punya lebih banyak pertanyaan dan jawaban. Namun jujur, sekembalinya saya ke Pyongyang beberapa tahun belakangan, semua yang saya saksikan di Pyongyang terasa makin aneh belaka.
Akhirnya, dibanding bangunan, saya lebih terpesona serta dibuat terkagum-kagum oleh aspek desain grafis produk-produk yang saya temui di Korut. Di negara barat, iklan dan branding sebuah produk memicu respon emosional, alih-alih rasional, yang membuat kita percaya bahwa dengan membeli produk yang diiklankan, mutu kehidupan kita meningkat. Dengan memiliki produk itu, kita bakal merasa lebih atraktif, tak jauh berbeda dari orang lain, lebih bahagia dan produktif. Sebaliknya, di Korut, reklame barang-barang sehari-hari yang saya temukan kesannnya naif, semenjana dan kerap menggunakan grafis yang terang-terangan menggambarkan isi sebuah paket sebuah produk.
Hampir tak ada iklan seperti di negara Barat yang saya temukan di sana. Kalaupun ada, jumlahnya segelintir dan disebut sebagai “promosi.” Papan iklan dengan lampu di bagian belakangnya yang di barat digunakan untuk mempromosikan produk shampo atau minuman karbonasi mulai masuk Pyongyang sejak 2006. Bedanya, di negeri paling tertutup di dunia itu, papan-papan seperti ini diisi pesan-pesan propaganda. Intinya, mediumnya boleh beda, pesannya tetap sama. Sampai beberapa saat lalu, tak ada billboard, iklan televisi dan internet (meski beberapa warga Korut bisa mengakses internet lokal dari ponsel dan perpustakaan).
Billboard yang pertama didirikan di Pyongyang pada awal tahun 2000an adalah milik perusahaan joint venture mobil. Totalnya ada lima buah. Sampai sekarang, cuma itulah billboard yang bisa kita temui di ibu kota Korut. Kerap kali, billboard ini jadi sarana endorsement dengan memasang foto penyanyi termasyur dan olahragawan terkenal.
Karya-karya grafis ini kebanyakan dipungut dari rute pelancong—di sekitar Pyongyang dan dalam jalan menuju pantai timur dan barat, di kawasan Gunung Paekdu yang menawan di kawasan timur Korut dan kota bersejarah Kaseon di selatan. Kadang, aku jalan-jalan santai sendiri (tapi atas sepengetahuan guide saya. Jelas, keberadaan saya begitu mencolok karena orang asing di Pyongyang cuma segitu-segitunya. Parahnya lagi, bule tak diizinkan masuk toko setempat.
Jadi bisa dibilang, karya-karya grafis yang terkumpul di buku ini merupakan “obyek temuan,” suvenir yang bisa didapat turis manapun. Tapi, dari poster dan foto-foto tersebut, kita bisa mengintip nuansa keseharian rakyat Korut maupun alam pikir mereka.
‘Made in North Korea: Graphics from Everyday Life in the DPRK’ karya Nicholas Bonner diterbitkan oleh Phaidon.