Awal minggu adalah waktu yang tepat memburu musik-musik baru. Sayangnya, kita kadang kebingungan harus mulai dari mana. Karena itulah, tiap akhir pekan tim redaksi Noisey menyusun daftar album, mixtape, atau EP yang bisa kamu putar seminggu penuh. Kalian juga bisa mencoba lagunya langsung lewat pemutar streaming di artikel ini. Kami sadar rekomendasi tersebut tidak mungkin bisa komprehensif menggambarkan yang sedang seru dari kancah musik. Setidaknya kami berharap usulan kami membantu kalian menemukan musik-musik baru yang menghibur. Jadi, silakan membaca daftarnya!
Various Artists: Black Panther: The Album
Kala beredar berita kalau Kendrick Lamar ditunjuk sebagai kurator soundtrack film superhero terbaru Marvel, ekspektasi terhadap album ini sangat tinggi. Begitu Lamar menjawabnya dengan merilis “All the Stars, sebuah kolaborasi keren bersama SZA, kita harus bisa menarik nafas lega. Album ini tak akan mengecewakan. Nyatanya memang begitu kok. Black Panther: The Album adalah koleksi track-track R&B modern yang kohesif, dari Swae Lee dan Khalid dalam track “ The Ways” yang menggambarkan bagaimana kedua musisi muda ini dibikin terkagum-kagum oleh seorang perempuan yang penuh kuasa, hingga lagu serak-serak basah dari Jorja Smith. Hanya saja, bintangnya tetaplah K.Dot, seorang rapper yang akhir-akhir ini berperan sebagai jagoan yang bingung dengan dirinya sendiri. Di lagu penutup kompilasi ini, “Pray For Me,” Kendrick Lamar berujar “Who gon’ pray for me? / Take my pain for me? / Save my soul for me? / ‘Cause I’m alone, you see”—terdengar seperti lagu dari album DAMN yang lupa direkam Lamar.. — Alex Robert Ross
Videos by VICE
The Guests: Popular Music
Band beranggotakan lima orang musisi—dua di antaranya adalah anggota Sheer Mag—memapatkan segala macam influence dari masa-masa ketika panggung musik rock dipenuhi musisi yang doyan memulas matanya dengan eyeliner dan mengenakan celana kulit ketat. Hasilnya adalah 14 lagu retrofuturis dengan gitar yang kelewat mendominasi. Album ini sudah kadung penuh dengan Hook. cuma, kalau hook belum cukup bikin kamu kecantol dengan album ini, camkan ini: album itu ditutup dengan slogan yang begitu menggugah dan kiri bingits: “We make pop music with the intention of galvanizing the listener toward anti-capitalist action,” begitu sebuah suara komputer yang diputar diatas suara synthesizer. “Let us move in concert toward full communism. When people move together, transformation is possible.” Singkatnya: The Guests adalalah The Cars yang tiba-tiba menjadi agitator marxist jempolan. Menarik kan?. — Colin Joyce
Hovvdy: Cranberry
Charlie Martin dan Will Taylor awalnya adalah drummer saat mulai bermain musik bersama di bawah nama Hovvdy, sebuah proyek pop mellow yang vokalnya dinyanyikan lamat-lamat atau nyaris berbisik. Tak ayal, komposisi grup ini punya kesederhanaan permainan perkusi. Mereka menyebut genre mereka sebagai “pillowcore.” masuk akal juga sih, lagu-lagu album ini bikin molor lebih cepat. Selain itu, kamu bakal menemukan banyak kesamaan antara Hovvdy dengan band-band slowcore ‘90an seperti Duster and Bedhead. Namun, di album Cranberry, kemiripan itu mulai hilang. Hovvdy kini menjauhkan diri dari slowcore dengan memainkan harmoni-harmoni sederhana. “Truck,” salah satu lagi yang menonjol dalam album ini, malah punya sentuhan country yang subtil. Ini sebenarnya menunjukkan duo ini punya banyak ruang untuk bereksperimen ( mereka misalnya bisa mencontoh Alex Giannascoli agar bisa menyuntikkan darah segar pada bedroom pop). Tapi, eksperimen-eksperimen seperti ini bisa menunggu, saat ini kita toh bisa menikmati Cranberry, sebagai album bedroom pop yang tak bisa didengarkan sambil lalu. — Alex Robert Ross
Eva-Maria Houben: Breath for Organ
Masih ingat hikayah tiga orang buta yang disuruh menggambarkan bentuk seekor gajah? Ketga orang itu hanya berhasil menggambarkan gajah secara parsial. Eva-Maria Houben jelas bukan salah satu tiga orang ini. Dia mendekati organ dari segala sisi yang mungkin. Houben juga merunut kembali segala macam bunyi yang bisa dihasilkan pipe organ di sebuah gereja Jerman dan mengetengahkannya dalam komposisi sepanjang satu setengah jam yang penuh dengan bisikan, leguhan, suitan dan part-part drone di sana-sini. Houben sepertinya ingin mendekati album ini sebagai sebuah komposisi sekaligus hasil field recording. Dia memaksimalkan pipe organ dan mengambalikannya ke habitat aslinya.
Ruby Boots: Don’t Talk About It
Kalau kamu berpikir Ruby Boots—lahir dengan nama Bex Chilcott—bakal terus mengulang formula country seperti album pertamanya, album sophomore Chilcott ini bakal bikin kamu kecele. Don’t Talk About It dibuka dengan sebuah hentakan—lead gitar elektrik yang heavy, vokal yang galak dan ritme gitar ala Classic Rock—dan ditutup dengan nomor honky tonk “Don’t Give a Damn,” sebuah hit yang membawa kita pada era Madman Across the Water-nya Elton dan masa-masa ketika Mick Jagger cs sedang doyan-doyannya memberi nasehat bahwa “kita enggak bisa dapat semua yang kita inginkan. Selain itu, di balik vibe yang mirip Nikki Lane ketemu Yeah Yeah Yehas, Chilcott menggubah 10 track dirinya sendiri. — Annalise Domenighini,
Cecil Frena: The Gridlock
Post-hardcore ugal-ugalan yang muncul bergantian dengan energi pol-polan yang dulu pernah dipamerkan Frena sebagai producer, EDM yang doyan mengacak-ngacak vokal manusia dan teknik vokal yang menghasilkan suara aneh digabung dengan solo-solo piano sunyi serta line-line gitar yang bikin fan Snowing iri. Pun, Freena punya bakat untuk menertawakan diri sendiri. Contoh paling gampangnya bisa dilihat di lirik lagu “If I could punch / my younger face / I’d leave it without any teeth.” Kalau mau diringkas, The Gridlock adalah hasil kawin silang dari Refused, Panic at The Disco dan Skrillex. mantap! — Colin Joyce
The Atlas Moth: Coma Noir
Di album Coma Noir adalah album The Atlas Moth yang paling gelap dan brutal. Coma Noir direkam oleh Sanford Parker dan menjadi album pertama yang digarap bersama penggebuk drum baru Mike Miczek (Broken Hope). Tanpa ragu, The Atlas Moth memberangus sound-sound hangat dari album sebelumnya dan menggantunya dengan soundscape yang luas namun dingin. Tentu, mereka masih menyisakan keindahan dalam komposisi mereka. kalian toh masih bisa menikmati interlude-interlude instrumental yang sinematik dan vokal kuat lagi lembut dari co-lead singer/gitaris David Kush. bedanya kali ini, co-lead singer/gitaris Stavros Giannoopoulos yang lebih banyak unjuk suara. Pilihan ini diambil untuk mengakomodasi riff-riff metal, beat-beat agak industrial, serta sound effect yang bikin merinding.— Jamie Ludwig,
Ravyn Lenae: Crush
Futuris belia yang mengakui berutang banyak pada Erykah Badu, Outkast dan Timbaland ini berhasil meminjam daya magis internet (dan, lebih tepatnya, internetnya Steve Lacy) untuk menggubah segepok lagu-lagu sureal tentang cinta di dalam atau di luar dunia maya. ‘Computer luv”, lagu sendu tentang jarak di dunia maya, dan “4 Leaf Clover” adalah duet Lacy yang mengiba adalah dua track yang paling menonjol. Namun, lima track pendek ini kental dengan kemampuan berkhayal yang susah ditandingi penulis lainnya—berapapun umur mereka. —Colin Joyce
MTv: Hollywood #1
Musisi techno eksperimental DJ Nobu dan NHK yx Koyxen sebenarnya sudah punya koleksi hit-hit bising mereka sendiri. Lalu, ketika berkolaborasi dengan MTv, ketiganya menghasilkan single-single yang bisingnya berlipat ganda. Dalam EP yang dilepas oleh Trilogy Tapes, mereka memasukkan beat-beat mesin dan bebunyian yang memusingkan kepala. Di sekitar bebunyian perkusi yang presisi, ketiga musisi ini memainkan part-part yang tak seharusnya di situ namun justru terdengar sangat pas. Yang menarik, di depan lanskap bebunyian yang suram, ketiganya bersenang-senang dengan permainan sythh yang penuh warna. Barangkali mereka cuma ingin bilang: kadang kalau hidup sedang muram-muramnya, kita bisa melawannya dengan bersenang-senang.. —Colin Joyce