Memasuki lebaran Idul Fitri, warga Kabupaten Pidie, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, disibukkan dengan tradisi meriam bambu dan karbit. Satu hari sebelum lebaran tiba mereka telah merancang dan membangun meriam-meriam yang bisa dibikin dengan drum minyak dan bambu itu.
Meriam tersebut diledakkan tepat pada malam ke dua lebaran. Tahun ini, acara jatuh pada Sabtu 16 Juni lalu. Meriam dijejerkan dengan rapi di lokasi tempat bermain. Begitu malam tiba, peserta adu meriam yang terdiri dari anak kecil hingga orang dewasa silih berganti memantik ledakan. Bunyi ledakan yang amat keras memekakan telinga susul-menyusul seolah tak akan berhenti.
Videos by VICE
Setiap kali kegiatan ini berlangsung, jalan di sekitar macet total karena orang-orang berhenti untuk menonton adu meriam yang berlangsung sekali setahun ini. Mereka saling adu keras ledakan, satu desa dengan yang lainnya.
Begitu api pertama dinyalakan di ujung gagang kayu, ‘perang’ pun dimulai. Ledakan yang begitu keras terdengar jadi hiburan tersendiri bagi warga.Tentu saja, pertandingan ini bukan untuk melampiaskan dendam. Sebaliknya, setiap desa mengusung perdamaian.
Bagi siapa saja yang melintas di Kabupaten Pidie, suara meriam menjadi hal yang biasa, bahkan sudah ada terdengar sejak masa zaman kerajaan. Setiap kali disulut ujung drum mengeluarkan bunyi menyerupai bom, yang memberikan getaran hingga 50 meter dari lokasi ledakan. Dentuman itu, selalu menghiasi Kabupaten Pidie hingga menjelang terbitnya matahari pagi.
Sebenarnya, pemerintah setempat sudah mengeluarkan instruksi agar permainan ini tidak dilakukan, karena berbahaya dan dapat melukai para pemegang meriam. Tapi toh permainan tetap berlangsung kendati ada arahan itu. Bagi warga Pidie, permainan ini digelar untuk mengenang konflik Aceh yang berlangsung selama 30 Tahun dan berakhir pada 2005 lalu.
Sebagaimana diketahui, Kabupaten Pidie salah satu daerah yang memiliki basis pendukung GAM sejak zaman Konflik antara Pemerintah Indoenesia. Tokoh-tokoh Gerakan Aceh Merdeka seperti Hasan di Tiro, Abdullah Syafii, Husaini Hasan, Abu Daud Beureu’eh, dan Mantan Gubernur Aceh Zaini Abdullah kampungnya di Pidie.
Zuhra, 25 tahun, mengatakan, permainan meriam dan karbit itu bisa membuat telinganya tuli karena terdengar suara dentuman yang keras. Tapi ia tidak mempermasalahkannya, baginya kegiatan ini sangat seru, sebab tidak ada di tempat lain di daerah Aceh.“Di sinilah kita menguji keberanian dan kekompakan,” kata warga Pidie itu.
Sementara, seorang sesepuh pemain meriam karbit, Asballah (75) menyebutkan kegiatan bakar Meriam ini sudah berlangsung lama. Ia mengenal permainan ini sejak Tahun 1960 di Kabupaten Pidie. Usianya waktu itu masih remaja, tapi permainan itu sudah ada di setiap Desa. Lalu sempat terhenti selama 30 Tahun pada masa konflik Aceh yang pecah pada Tahun 1970-an itu karena dianggap membuyarkan konsentrasi aparat keamanan Indonesia yang tengah memburu pejuang GAM. Setelah konflik, tradisi ini kembali lagi dan bertahan hingga sekarang.
“Sejak muda saya, sudah ada tradisi ini. Kami sudah terasa biasa saja, walaupun suaranya menggema hingga puluhan kilometer,” katanya.