Desainer kaos bernama Riswan itu digelandang Satuan Reserse Kriminal Polres Tuban setelah terjaring razia siber Cyber Crime Investigation Center (CCIC) Polri. Ia harus berurusan dengan polisi setelah kedapatan menggunakan akun Twitter-nya, @OmBrewoks3, untuk mengunggah kaos dagangan bergambar mural viral “404:Not Found”, yang terkesan menyindir Presiden Joko Widodo.
Oleh polisi, Riswan dianggap melecehkan simbol negara dan bertingkah laku tidak sesuai “budaya bangsa”. Pria 30 tahun ini dihukum meminta maaf kepada publik dan berjanji tidak akan mengulangi tindakannya.
Videos by VICE
“Saya menyatakan maaf yang sebesar-besarnya untuk para seluruh masyarakat Indonesia atas unggahan di akun Twitter saya yang tidak pantas. Saya meminta maaf kepada institusi Polri dan kehakiman serta pemerintah indonesia. Saya menyesal dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan tersebut,” ucap Riswan dalam video permintaan maaf yang diunggah Twitter Kepala Analis CCIC Polri Mochammad Yunus Saputra.
Kasus Riswan jadi aksi polisionil kesekian sejak sejumlah mural berisi kritik dibicarakan di media sosial. Tiga mural yang menyita perhatian adalah “404:Not Found” dan “Tuhan Aku Lapar” di Tangerang, serta “Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit” di Pasuruan”. Pembuat mural “404:Not Found” kini masih diburu polisi sementara karyanya ditimpa cat hitam. Sedangkan pembuat mural “Tuhan Aku Lapar” mengaku diintimidasi polisi.
Respons reaktif kepolisian ini dipertanyakan publik karena tak jelas pasal pidana apa yang dilanggar. Sejumlah ahli dan praktisi hukum telah urun bicara bahwa istilah “simbol negara” tak dikenal hukum Indonesia. Jika pun polisi merujuk UU tentang lambang negara, presiden tak termasuk di dalamnya. Pengacara publik dari LBH Jakarta Shaleh Al Ghifari menambahkan, pasal penghinaan presiden di KUHP telah dihapus sejak 2006 sehingga urusan semacam ini seharusnya masuk ranah perdata.
Produk hukum yang bisa melarang mural ini justru perda ketertiban umum, demikian pendapat dosen hukum tata negara UNS Agus Riewanto. Pelanggaran terjadi jika mural dibuat tanpa izin di fasilitas umum. Ia mengingatkan, penindakan pelanggaran perda juga harusnya cukup ditangani Satpol PP.
Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet Nenden Sekar Arum mengatakan kepada VICE, kasus Riswan tegaskan tak ada lagi ruang berekspresi bagi masyarakat Indonesia. “Itu tandanya pemerintah semakin antikritik. Mau dalam bentuk mural, Twitter, desain kaos, atau apa pun mediumnya, idealnya diartikan sebagai kritik yang harus direspons oleh pemerintah, misal dengan perbaikan kinerja atau yang relevan dengan kritiknya. Bukannya malah diburu dan diintimidasi untuk minta maaf.”
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menemukan sepanjang Desember 2019-November 2020, telah terjadi 300 pelanggaran, pembatasan, atau serangan terhadap hak atas kebebasan berekspresi di Indonesia. Dua isu utama yang paling sensitif dan terbanyak menimbulkan korban kriminalisasi adalah legislasi UU Cipta Kerja dan penanganan Covid-19. Sedangkan menurut laporan institusi riset The Economist Intelligence Unit, indeks demokrasi di Indonesia pada 2020 adalah yang terendah selama 14 tahun terakhir.
“Statement Presiden dalam mempersilakan kritik sudah beberapa kali, termasuk yang kemarin perihal ‘King of Lip Service’. Tapi, itu tidak menjawab permasalahan menyusutnya kebebasan sipil,” kata Wakil Koordinator KontraS Rivanlee kepada Suara.
“Presiden semestinya bukan mempersilakan saja, tapi menjamin kebebasannya. Mulai dari tingkat pelaksana sampai dengan aturan yang membatasi kebebasan berekspresi. Tidak ada jaminan untuk pengkritik karena ada ancaman peretasan, doxing, virtual police,” tambahnya.