Health

Di Abad 21, ‘Wabah Hitam’ Mematikan Rupanya Masih Berjangkit di Madagaskar

Tak banyak orang tahu, di Abad 21 ini Madagaskar menjadi lokasi endemik penyebaran penyakit yang pernah menghabisi hingga 60 persen populasi Eropa di Abad ke-14. Sebutannya adalah ‘wabah hitam’ alias penularan penyakit pes dari tikus ke manusia. Di berbagai belahan dunia, pes tinggal dipelajari di ruang kuliah, sebagai sejarah masa lalu. Namun di Madagaskar, rupanya penyakit yang sangat mematikan ini masih harus ditangani oleh dokter.

Di Indonesia saja, sudah sangat sulit mencari penderita penyakit pes. Ada dua daerah endemik yang masih memiliki sebaran bakteri pes di tikus hutan, yakni Kabupaten Boyolali di Jawa Tengah dan Pasuruan di Jawa Timur. Namun menurut Ikatan Dokter Indonesia, selama 42 tahun terakhir sudah tidak ada lagi catatan manusia yang terjangkit pes di dua daerah tadi.

Videos by VICE

Nah, di Madagaskar, penyakit ini menciptakan teror baru bagi penduduk sejak November 2014. Di tahun itulah, kegemparan mencuat setelah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan dua penduduk di Ibu Kota Antananarivo yang terjangkit pes. Satu di antara mereka akhirnya meninggal. Wabah pes ternyata menular, dari awalnya hanya terjadi di pedesaan terisolir, berpindah ke kota-kota besar Madagaskar. Kasus macam ini sangat langka terjadi sepanjang Abad 21.

Kontributor VICE, Ben Shapiro, yang mengunjungi Madagaskar sudah memperkirakan akan terjadi penyebaran wabah sejak berkunjung ke negara kepulauan di pantai timur Afrika itu pada dua bulan sebelum ada pengumuman WHO. Shapiro naik helikopter menuju desa yang diduga kuat menjadi wilayah endemik persebaran bakteri pes, jaraknya 10.000 kilometer dari Ibu Kota Antananarivo. Dokumenter soal persebaran wabah pes di Madagaskar bisa kalian tonton di tautan awal artikel ini.

Keberhasilan bakteri pes di Madagaskar menyebar hingga perkotaan tentu memicu kekhawatiran penduduk. Wabah skala besar sangat mungkin terjadi, mengingat sanitasi kawasan urban di negara itu buruk. Di Antananarivo, sampah teronggok begitu saja di pinggir jalan. Toilet umum tak terawat. Lebih parahnya lagi, tikus-tikus hitam yang menjadi penyebar bakteri tersebut berkeliaran bebas di jalanan. Sekali menyebar, pes memang akan sangat mematikan. Penyakit ini sering dijuluki ‘pagi terjangkit, esok harinya kau sudah mati’. Tak heran ketika tikus-tikus hitam itu berkeliaran di Eurasia dan Eropa, hanya dalam hitungan satu windu lebih dari 100 juta orang tewas.

Sampai sekarang, Madagaskar masih terus berusaha mengkontaminasi persebaran pes. Sayangnya pemerintah setempat kekurangan dana. Sejak terjadi kudeta militer pada 2009, Madagaskar hanya sedikit memperoleh bantuan internasional.

WHO mengirim tenaga ahli untuk membantu dokter-dokter setempat melawan persebaran pes. Bank Pembangunan Afrika mengalokasikan dana US$200 ribu bagi pemerintah untuk menghambat agar tidak terjadi wabah. Masalahnya, bantuan macam itu belum banyak mengubah keadaan. Sebanyak 200 penduduk Madagaskar tewas karena pes sejak Agustus 2017 hingga artikel ini dilansir. Saban tahun, sejak 2014, Madagaskar rutin mengalami wabah pes baik di desa maupun perkotaan Laporan WHO yang terbit Februari 2018 menyatakan ada potensi terjadi wabah skala nasional lagi, dengan korban yang jauh lebih banyak. Jika tidak ditangani serius, tinggal tunggu waktu wabah tersebut meluas ke daratan Benua Afrika, memicu krisis kesehatan seperti ketika ebola menyebar ke kawasan Afrika Barat.

“Pes masih terus menyebar di Madagaskar akibat kombinasi maraknya praktik tradisional yang tidak higienis, pemahaman masyarakat yang rendah soal sanitasi, serta kebijakan politikus korup yang membuat penanggulangan pes tidak bisa berlangsung maksimal,” kata Shapiro, saat ditugaskan VICE meliput wabah pes di Madagaskar. “Sangat sulit untuk memperkirakan berapa banyak orang lagi yang harus meregang nyawa karena wabah ini, sampai penanganan pemerintah berangsur-angsur membaik.”

Saksikan dokumenter panjang VICE soal kasus persebaran wabah pes di Madagaskar lewat tautan di awal artikel ini.


Follow Allie Conti di Twitter.

Artikel dan dokumenter ini pertama kali tayang di VICE US