Di Balik Foto Tragedi Ketapang, Kerusuhan Berdarah yang Menyulut Konflik Ambon

Penggambaran tragedi pembantaian Ketapang, Jakarta. Reporter VICE menemukan sosok pembacok di foto ini masih tinggal di lokasi.

Berbekal sebuah foto mencekam yang dijepret fotografer perang legendaris James Nachtwey, kami menyusuri ruas Jalan Pembangunan I yang sesak dengan geliat kegiatan warga. Ada banyak pedagang kaki lima menjual makanan dari pagi hingga malam, hotel-hotel melati berjejer, di sela-selanya berdiri bangunan indekos, ditambah sekolah suasana jadi makin ramai.

Dalam pencarian, kami bertanya pada beberapa warga. Hampir orang yang kami tanyai ragu-ragu untuk menjawab soal kejadian tersebut. Kami berupaya mendatangi Ketua RT dan RW setempat, tapi sayangnya mereka tidak ada di rumah.

Videos by VICE

“Percuma kalau mau ke RW, pasti dia enggak ngerti. RW yang dulu sudah meninggal,” kata seorang Bapak. Saat itu ia sedang duduk-duduk di depan sebuah kios minuman. Aku menunjukkan foto-foto yang diambil James Nachtwey saat Peristiwa Ketapang terjadi. Ia membalas dengan memberikan petunjuk. “Oh itu sih di belakang Plaza Gadjah Mada, ada gang di situ,” katanya.

Kami memutuskan mengikuti arahan si Bapak. Persis sebelum kami beranjak pergi, seorang lelaki berusia akhir 50-an penasaran ingin ikut melihat foto-foto Nachtwey yang kami bawa. Di dalam foto itu ada banyak orang bersenjatakan pedang dan parang mengejar-ngejar korban. Sebagian terlihat sudah mengangkat parang dan bersiap membacok. Di antara para pengejar, terlihat ada laki-laki yang bagian pergelangan kakinya bengkok ke dalam. Si bapak yang penasaran itu tampak mengenalinya.

Sambil menunjuk ke arah pos ronda yang terletak 30 meter dari tempat kami berada, Ia spontan berkata, “Lah itu kan dia yang kakinya begitu, tuh lagi tidur orangnya.”

Minggu, 22 November 1998. Sekelompok orang yang duduk di meja sudut itu tampak tak pernah habis tenaganya. Hingga lewat tengah malam mereka masih sempat minum-minum bir, sesekali tertawa-tawa lepas. Gerombolan itu kerap terlihat di Cafe Pisa kawasan Sarinah. Sebagian dari mereka orang kulit putih. Mereka jauh dari kesan necis. Sebaliknya, malah tampak dekil. Pakaian yang mereka kenakan serupa satu sama lain, sekilas macam seragam.

Mereka mengenakan kemeja kanvas, celana jins, dan tas punggung besar. Setelah ngobrol ngalor-ngidul semalaman, dua orang dari rombongan itu pamit pulang. Tinggal seorang pria kulit putih berambut metalik kehitaman dan seorang pria berwajah Melayu yang saban hari terlihat bersamanya.

Kedua orang itu adalah fotografer perang kawakan James Nachtwey dan asisten sekaligus penunjuk arahnya, Dwi Abiyantoro alias Abi. Saat itu Abi bertugas mendampingi Nachtwey setiap hari. Ke mana pun Nachtwey pergi ia yang mengantar.

“Kami kayak nyapu jakarta aja keliling-keliling. Hampir 350 kilometer per hari,” katanya. Tak peduli situasi apapun, Abi selalu ada di samping Nachtwey. Bahkan, di tengah kerusuhan dan hujan peluru, Abi hampir selalu ada satu meter di belakang Nachtwey turut menjaga separuh hidupnya selama di Jakarta: film, kamera, dompet, lensa, dan telepon genggamnya.

Abi tidak hanya akrab dengan Nachtwey, tapi juga dengan fotografer konflik kenamaan lainnya seperti seperti Christopher Morris dan John Stanmayer yang sering turut serta kumpul-kumpul malam di Cafe Pisa. Sejak Suharto lengser lima bulan sebelumnya, minum-minum itu jadi rutin sebagai kegiatan pelepas lelah. Maklum, dalam masa transisi reformasi, kerusuhan bisa terjadi kapan saja, pecah dalam waktu yang tidak terduga. Sehabis dari Cafe Pisa, Abi bersama Nachtwey pulang dengan taksi ke hotel kecil di kawasan Gondangdia.

Mereka pulang tanpa sepeda motor Honda dan helm biru tua Abi yang sebelumnya ditinggalkan di hotel Cemara Gondangdia tempat Nachtwey menginap. Di dalam taksi, Abi mendengar arahan lewat radio agar tidak melintas ke arah Ketapang, Jakarta Pusat. Belum juga tiba, Abi bilang pada Nachtwey yang tidak paham bahasa Indonesia agar putar arah dan bergegas menuju Ketapang. Abi yakin betul sesuatu sedang terjadi di sana, tanda peristiwa besar menanti.

1511329843078-NACHTWEY-13
Kondisi gang Ketapang, lokasi terjadinya pembunuhan 20 tahun lalu. Foto oleh Arzia Tivany Wargadiredja.

“Jim, sepertinya ada masalah,” ujar Abi sambil memaksa Nachtwey bergegas. Kelihatan Nachtwey agak kesal karena tidak sempat tidur. “Awas kalau enggak ada masalah ya, elo tahu kan gue bangun dan tidur jam berapa?” balas Nachtwey, awalnya agak ogah-ogahan, sambil beranjak mengikuti arahan Abi.

Pukul 05.30, mereka bergegas pergi.

Saat Nachtwey dkk nongkrong di Cafe Pisa, peristiwa penting memang terjadi di Ketapang. Sekitar jam 22.00 malam, seorang warga ditonjok oleh penjaga parkir tempat judi karena masalah saling pandang yang berlanjut jadi saling tantang. Masalah awalnya amat sepele. Pertikaian berlanjut tapi berhasil didamaikan oleh petugas RW setempat. Sekitar pukul 03.00 situasi mereda. Terdengar seperti perselisihan pribadi yang seharusnya tidak berlanjut jadi masalah besar.

Pertengkaran kecil yang sebetulnya biasa terjadi kapan saja di Jakarta itu segera tereskalasi jadi konflik ras dan agama.

1511335326985-NACHTWEY-03
Di depan rumah ini, Abi menyebutkan beberapa pria keturunan Ambon dibantai massa. Foto oleh Arzia Tivany Wargadiredja.

Dalam laporannya yang dimuat Majalah Pantau, Amelia Pulungan menuturkan betapa kabar angin soal penyerbuan masjid cepat beredar. Pengeras suara masjid digunakan untuk membangun solidaritas warga muslim setempat. Mereka tidak hanya membela diri, tapi mencoba menyerang para preman. Sambil mengangkat samurai, celurit, dan parang mereka mengejar-ngejar para preman.

Dalam situasi seperti inilah Nachtwey dan Abi tiba di dekat Gadjah Mada Plaza. Anehnya, mereka tak mendapati tanda-tanda adanya kerusuhan. Lewat setengah jam mondar-mandir memantau keadaan, hasilnya nihil. Tak mereka ketahui bahwa massa yang bertikai akan segera melintas di hadapan. Tiba-tiba saja Abi dan Nachtwey melihat segerombolan orang membawa golok datang dari arah arah Tanah Abang. Bersamaan dengan itu, datang pula segerombolan orang dari arah Kota.

Pengejaran dan penyerangan berlangsung lama. Dari pagi hingga sore hari. Mereka yang dikejar-kejar berusaha bersembunyi di got-got dan merayap senyap. Namun keadaan berubah drastis menjadi kacau ketika seorang anak yang sedang bermain sepeda berseru, “Ada orang di got!”

“Itu langsung ditusuk-tusuk gotnya pakai golok,” ujar Abi, yang hingga kini masih merasa ngeri melihat insiden Ketapang dari dekat. “Di situ aku ngelihat mereka enggak mengenal kasihan sama sekali ke sesama orang.”

Abi menuturkan, Ia melihat ada sekitar sepuluh orang yang sebagian besar keturunan Ambon diburu, sebagian dibunuh saat itu juga. Berkali-kali Nachtwey, yang terjebak di tengah kerusuhan, bersujud menyembah penyerang berusaha mencegah pembunuhan.

Nachtwey dan Abi ikut serta dalam pengejaran tersebut, dari awal buruan mereka lari, dipukuli dan dibacok hingga korban tak bernyawa. Nachtwey berkali-kali memohon agar mereka menghentikan aksi tersebut sebelum mereka tewas. Sementara Abi panik tak tahu harus melakukan apa. Ia hanya bisa menangis. Berbeda dengan Nachtwey yang terbiasa pergi ke daerah konflik, hari itu merupakan pengalaman traumatis baginya. Ternyata massa yang kalap tidak bergeming.

1511420345219-NACHTWEY-08
Gereja Kristus sekarang, yang sempat dibakar dalam insiden Ketapang. Foto oleh Audy Bernadus.

“Ketika itu terjadi, saya mencoba menghentikan massa. Dua kali mereka seakan-akan hendak menghentikan serangan mereka. Tapi mereka menunjukkan sikap tak bersahabat pada saya,” kata Nachtwey seperti dikutip dari Pantau. “Di sisi lain saya hanya seorang diri. Saya juga tak menguasai bahasa setempat.”

Hari itu, belasan orang tewas, lusinan gereja, sekolah, bank, dan toko dihancurkan dalam peristiwa yang disebut tragedi Ketapang yang terjadi pada hari Minggu dan Senin 22-23 November 1998. James Nachtwey mengabadikan semua peristiwa penting, khususnya yang berdarah-darah, dalam foto-foto ikonik hitam putih. Beberapa bulan setelahnya, Nachtwey diganjar penghargaan dari World Press Photo untuk foto-foto yang ia ambil di Ketapang.

Jakarta sedang panas saat peristiwa Ketapang terjadi.

Di jalanan, ia kembali berhadapan dengan molotov dan desing peluru yang ditembakkan aparat. Nezar ingat, kala itu yang menghadang mahasiswa berunjuk rasa tatkala Sidang Istimewa MPR sedang digelar bukan hanya aparat. Ada juga personel-personel Pasukan Pengamanan Masyarakat (PAM) Swakarsa yang dibentuk untuk membendung aksi aktivis pro-demokrasi.

1511351627947-November_1998_Semanggi_demonstrations
Mahasiswa menggelar unjuk rasa menolak Sidang Istimewa DPR dekat Universitas Katolik Atma Jaya di Semanggi, Jakarta Pusat. Foto dari arsip Kementerian Pertahanan/Public Domain

Menurut Nezar, embrio PAM Swakarsa sudah terbentuk sejak Orde Baru. Di zaman Orba bentuknya masih sebatas jaringan kriminal yang terserak dan tak terorganisir. Baru setelah Soeharto tumbang, dibarengi dengan kepentingan menanggulangi besarnya pengangguran pasca ’98, preman-preman ini diorganisir sehingga jadilah PAM Swakarsa. Misinya, menghadang pergerakan pro demokrasi yang merongrong pemerintah.



“Dibentuklah (misalnya) organisasi seperti Pemuda Pancasila. Jadi kelompok yang dianggap geng-geng liar, diorganisir, masuk ke dalam Pemuda Pancasila,” ujar Nezar. “Enggak semua masuk ke Pemuda Pancasila, beberapa yang lain tetap sebatas geng-geng, tapi ketika ada konsolidasi untuk membentuk Pam Swakarsa, mereka sepertinya diajak serta.”

Konflik itu, menurut George, secara sistematis dipicu ataupun dipelihara sejumlah tokoh politik dan militer di Jakarta.

Lebih dari 1.000 orang terbunuh di Ambon dan sekitarnya, akibat provokasi orang-orang yang dipulangkan dari Jakarta. Mereka menyebar informasi parsial tentang kejadian di Jakarta beberapa bulan sebelumnya ke kampung masing-masing. Ambon sempat terbelah dua, menjadi wilayah muslim dan Kristen, sebelum akhirnya konflik komunal ini dapat diakhiri pada 2002 oleh semua pihak.

1511351032403-1999-03-05T120000Z_1654541076_RP1DRIMDFZAB_RTRMADP_3_INDONESIA-PROTEST
Sekelompok muslim di Jakarta berunjuk rasa, mengecam kegagalan militer dan pemerintah menghentikan kekerasan sektarian di Ambon, Maluku. Foto dari arsip Reuters Photo.

Situasi memanas tak hanya di Maluku. Desember 1998, warga Timor berjarak 2.700 kilometer dari Jakarta, membakar beberapa masjid sebagai balasan insiden di Ketapang. Hubungan antar penganut agama maupun antar etnis di pelbagai provinsi memburuk memasuki 1999. Sulawesi Tengah, tepatnya di Poso, menyusul berikutnya tertimpa rentetan kekerasan yang disusul bangkitnya sel teroris sayap kanan. Rakyat Provinsi Timor Timur di tahun yang sama menuntut kemerdekaan dari Indonesia, sampai akhirnya mereka akhirnya menggelar referendum ikonik yang mendorong berdirinya negara baru Timor Leste.

Indonesia sempat diprediksi akan pecah seperti Yugoslavia. Ramalan itu bisa dihindari karena pemerintah sesudah reformasi segera menjalankan desentralisasi dan pemberian status otonomi khusus.

“Waktu itu Suharto baru jatuh, semua pihak di Indonesia berusaha menemukan ekuilibrium baru, titik keseimbangan baru,” ujar Andreas Harsono, dari Human Rights Watch.

Dua minggu berselang setelah kunjungan pertama kami ke Ketapang, aku memberanikan diri menemui lelaki di dalam foto yang siang itu sedang tidur di Pos Ronda. Aku bukan perokok, tapi di siang yang sangat terik itu, sekitar pukul 2 siang, sengaja kunyalakan sebatang rokok sebagai pembuka perbincangan dengan orang-orang yang sedang nongkrong di pos ronda. Tak berapa lama si laki-laki dalam foto terbangun. Ia nimbrung dalam obrolan tongkrongan. Aku sempat menawarkan rokokku tapi ia menolak.

Aku mematikan ujung batang rokok keempat yang kuisap siang itu dan memutuskan mengakhiri perbincangan kami. Sebelum aku beranjak meninggalkan pos ronda, ia menyelaku, sejenak mengulang alasannya tak mau membicarakan keterlibatannya dalam Tragedi Ketapang.

“[Pembantaian Ketapang] adalah kejadian kelam, sejarah yang kelam, sudah saya tidak mau diungkit lagi,” ujarnya. “Itu sesuatu yang sebaiknya dilupakan, selupa-lupanya. Karena sudah tidak ada ketegangan, aman, damai.”