Di Desa Ini, Para Lelaki Merayakan Paskah Dengan Cara Baku Hantam

Ratusan lelaki mengelilingi sosok Romo Saba, menunggu dengan penuh ketegangan. Kombinasi alkohol, adrenalin, dan entah apa lagi mengarungi urat nadi mereka di tengah teriknya matahari. Para lelaki ini berfokus ke bola kulit hitam yang dipegang oleh sang pastor. Mereka semua mengambil kuda-kuda dan siap menerkam. Satu kelompok mulai bernyanyi “Lelo, Lelo, Lelo.”

Tiba-tiba seekor sapi muncul dari penonton dan berjalan menuju pendeta seakan dia mengerti sesuatu yang suci akan terjadi. Salah satu lelaki menendang binatang tersebut dan sang sapi kembali menghilang ditelan pengunjung. Pistol ditembakkan dan Bapa Saba melempar bola kulit sapi hitam seberat 16 kilo tersebut ke udara. Suasana macam ini akan selalu mengawali Lelo, tradisi olahraga tahunan penuh darah di Georgia, negara pecahan Uni Soviet yang bertetangga dengan Armenia dan Turki.

Videos by VICE

Bola tersebut jatuh ke tanah, rupanya menyerupai labu kulit raksasa. Bola diisi pasir dan serbuk gergaji, yang dibasahi anggur suci dan dijahit erat. Semua peserta juga sudah mabuk anggur, dan kelakuan mereka sudah tercium di tengah teriknya siang hari. Ketika bola menyentuh tanah, kerusuhan meledak seiring para penonton berdatangan dan mulai menyerang satu sama lain. Banyak perempuan, anak-anak dan kaum manula menjauhi pusat kerusuhan, dan hampir membentuk sebuah lingkaran. Kebanyakan lelaki justru berbuat sebaliknya, saling bertabrakan selama beberapa jam seiring mereka mengejar bola hitam dan membawanya ke sebuah tiang gawang jadi-jadian—ini akan mengakhiri tradisi tersebut.

Setiap tahun pada hari Paskah Gereja Ortodoks—jatuh pada 1 Mei saat kami melakukan liputan ini—kerusuhan terjadi di jalan beraspal yang melewati Lanchkhuti, sebuah kota di Provinsi Guria, Georgia. Permainan ini, biarpun tidak cocok disebut permainan, merupakan kombinasi dari rugby, pertempuran, dan mosh pit. Kekerasannya sangat intim, tapi tidak pribadi. Cocok rasanya di hari ketika penduduk Georgia merayakan kebangkitan, mereka memainkan permainan yang membuat mereka merasa hidup.

Tidak ada aturan di Lelo. Hanya ada beberapa tradisi ala kadarnya. Golnya adalah mendaratkan bola kulit ke satu dari dua sungai kecil, atau “lelo”, yang bisa ditemukan di dua ujung berlawanan kota seperti tiang gawang. Permainan ini tidak berakhir hingga ini terjadi. Setiap pinggir sungai berjarak sama ke arah pusat kota, dimana Romo Saba memulai pertandingan. Selama tiga millenium terakhir, lelaki Georgia selalu mengejar bola Lelo, kadang mengalami cedera parah dan bahkan meninggal dalam prosesnya. Semua risiko ini sudah diapahami oleh para pemain; sebab lelo adalah sebuah tradisi.

Dalam perayaan Lelo, kota ini dibagi oleh sebuah garis imajiner yang berada dalam imajinasi penduduk Lanchkhuti. Hanya penduduk Lanchkhuti dan desa-desa tetangga yang tahu siapa masuk tim mana, biarpun orang dari berbagai penjuru Georgia datang untuk bermain. Siapapun—kakak-adikmu, ibumu, anakmu—yang rumahnya berada di sisi lain menjadi musuh. Satu tim disebut Upper, satunya disebut Lower. Tidak ada seragam, tidak ada penanda pemain berada di tim mana.

Di antara dua sungai tersebut adalah jalanan utama Lanchkhuti, yang ditutup setiap Paskah demi perayaan Lelo. Halte bis, halaman penduduk, bahkan beranda rumah dianggap sebagai bagian dari lahan permainan, memberikan olahraga ini nuansa perang urban. Apabila seorang pemain tidak ingin berpartisipasi, dia bisa melemparkan bola ke dalam daerah berpagar. Apabila kamu berdiri di tengah jalan, kamu menjadi bagian dari pertandingan. Kalau tidak minggir, kamu akan dihajar, ditabrak, diinjak, dan ditawarkan amer dari kantong plastik secara bersamaan.

Ketika pendeta menandakan permulaan permainan, bolanya sangat sulit ditangkap oleh mata manusia. Mereka yang menemukan bola secara naluri langsung memeluk atau berusaha memegangnya erat-erat. Mereka ditimpa di atas aspal, terjebak di bawah tumpukan manusia dan pastinya sulit kabur. Tahun lalu, seorang lelaki paruh baya meninggal karena tertimpa puluhan manusia lain. Namanya Gocha Pirtkhalaishvili. Dia menderita serangan jantung fatal ketika terjebak di dalam tumpukan pemain.

Menurut tradisi, di akhir pertandingan, bolanya diletakkan di makam penduduk kota yang meninggal terakhir semenjak Paskah tahun sebelumnya. Tahun ini, bola tersebut diletakkan di atas batu nisan Pirtkhalaishvili. Tahun depan, sebuah bola baru akan dibuat, dan permainan baru akan dimainkan. Meski tragedi yang kadang terjadi, tidak pernah ada gagasan untuk membuat Lelo lebih aman. Semua orang yang saja ajak ngobrol mengatakan makna dan semangat sesungguhnya dari game ini adalah “tradisi,” biarpun ini kadang memakan korban.

Banyak juga yang menggunakan strategi dalam permainan ini. Pemain yang lebih tua dan berpengalaman mengendalikan peserta yang lebih muda dan ketakutan (makanya minum-minum terus). Di pertandingan Lelo tahun ini, VICE menyaksikan dua pemimpin berbeda yang mengendalikan momentum permainan: Gela “sang Jenderal” Pirtkhalaishvili dan Nona “Sang Ratu” Chkhaidze.

Nona “Sang Ratu” Chkhaidze

Chkhaidze saat kami temui mengaku berumur 65 tahun. Cucu dan anak perempuannya datang dari desa lain khusus demi mengikuti keriahan Lelo. Dalam pertandingan, dia berdiri di belakang para lelaki yang membawa bola, yang merupakan titik paling berbahaya. Kadang dia mendorong para pemain maju dan menginstrusikan mereka untuk bagaimana dan ke mana bergerak.

DIa mengatakan dia ikut bermain tahun ini untuk menghormati kakak lelakinya yang baru-baru ini meninggal. “Dia sangat menyukai permainan ini,” ujarnya. “Dia bermain bersama kami sekarang.”

Gela Pirtkhalaishvili, “Jenderal” salah satu tim.

“Saya telah memainkan ini semenjak kecil, dan saya salah satu pemimpinnya,” ujar Pirtkhalaishvili, seorang lelaki berambut pirang yang terkesan memiliki badan bugar ke kami. “Para pemain menciptakan kesepakatan: Kamu tidak boleh memukul seseorang yang terjatuh. Ketika seseorang terjatuh dan terluka, semua orang harus mengangkat tangan. Kami mengontrol semua ini. Kami juga mengembangkan strategi untuk mencuri bola dari lawan.”

“Si Jenderal,” begitu dia dikenal oleh seisi kota, menghabiskan sebagian besar harinya mengejar bola dan meneriakkan perintah ke teman-temannya hingga wajahnya memerah. Kepemimpinannya terbayar dan tim Lower menang untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun. Sang Ratu akhirnya dikalahkan.

“Saya merasa baik-baik saja. Selama saya hidup, saya akan terus memainkan permainan ini,” ujar Pirtkhalaishvili ketika permainan berakhir. “Tapi [Lelo] tidak aman. Kamu semua gila—itu sebabnya kami bermain. Kami bermain untuk harga diri. Kami memiliki darah prajurit, tapi kami bukan penjajah seperti orang Mongolia. Kami membela sesuatu dan game ini merupakan sejenis reproduksinya—mengalahkan musuh. Ada saatnya saya ketakutan, tapi ini membuat saya semakin kuat. Saya merasakan tanggung jawab nenek moyang ketika sedang bermain.”

Dato Kilasonia, Wakil Presiden Federasi Lelo

“Lelo bisa jadi sudah berumur 3.000 tahun, atau bahkan lebih,” ujar Dato Kilasonia, Wakil Presiden Lelo Foundation, yang membantu mengorganisasi acara Paskah ini. Bukti lain menyebutkan bahwa permainan ini pertama kali disebut dalam satu larik puisi Abad 12. “Kami memiliki genetika yang sama dengan nenek moyang. Itulah sebabnya kami masih memainkan Lelo. Ini nenek moyangnya rugby. Semenjak Georgia menjadi negara Kristen, penduduknya memainkan Lelo di acara-acara keagaman,” ujarnya.

“Dulu, warga Georgia memainkan Lelo sebagai pemanasan sebelum bertarung. Bahkan hingga sekarang, tentara Georgia masih memainkan Lelo. Ini adalah satu dari tiga permainan tertua di dunia. Kalau seseorang meninggal dalam permainan, keluarganya menganggap dia meninggal dalam peperangan, dan dia telah mengorbankan dirinya.”

Sejarah Lelo, seperti yang bisa ditebak, melibatkan banyak legenda.

“Beberapa tahun yang lalu, bolanya jatuh ke dalam sumur, dan beberapa lelaki meloncat ke dalamnya,” ujar Koba Pirtkhalaishvili, seorang peserta setia Lelo, ke saya. Dia juga menceritakan momen favoritnya: “Ada seorang lelaki bernama Solomon yang sangat tinggi dan kuat. Tidak ada yang bisa merebut bola darinya. Jadi seorang perempuan cerdas mengambil silet dan memotong celananya. Celananya jatuh. Ketika Solomon membungkuk untuk mengangkat celananya, mereka mengambil bolanya.”

Patriarkh Mirian Pirtkhalaishvili

Tidak semua orang di Georgia senang melihat terus dipertahankannya permainan kuno ini.

“Saya tidak pernah bermain,” ujar Mirian Pirtkhalaishvili, seorang Imam agung desa yang hanya menonton ketika pendeta lain memulai permainan beberapa jam sebelumnya. “Menurut saya seharusnya ada beberapa peraturan, dan permainan ini harus lebih sopan,” katanya.

“Misalnya, di satu kali, mereka ingin menghormati seorang pemain Lelo tua bernama Kosta Oragvelide. Mereka memintanya memulai permainan secara resmi dengan cara melempar bola. Ketika mereka memberikan bolanya, saking beratnya, si lelaki tua tak sanggup menahan dan terjatuh. Semua pemain menimpanya guna merebut bola. Dia berakhir dengan empat tulang rusuk patah dan tidak bisa berjalan lagi. Tidak lama kemudian dia meninggal.”

Di akhir pertandingan, setelah tim Lower menang, seorang pemuda Georgia berumur akhir 20an terkapar di tengah jalan dekat sungai, menghisap rokok. Kakinya jelas patah, dan sekelompok orang berusaha meyakinkan dia untuk meluruskan kaki di trotoar. Pemuda tersebut terlalu lelah, terlalu kesakitan, dan menolak untuk bergerak. Kami menawarkan bantuan untuk membawanya ke dalam taksi menuju rumah sakit. Dia menolak secara sopan. Kami justru menawarkannya sebotol bir, dan dia terima. Sebelum meninggalkannya, kami bertanya, “Kalau tahu bakal seperti ini kejadiannya, kamu masih akan tetap ikut bermain?”

“Tentu saja,” balas pemuda tersebut sambil meminum bir dan menghisap rokoknya. “Dan saya akan ikut lagi tahun depan.”