Cerpen ini tayang sebagai bagian dari ‘Pekan Fiksi VICE: Indonesia 2038‘. Redaksi meminta penulis-penulis muda potensial negara ini menjelajahi kemungkinan situasi Indonesia pada 2038. Naskah yang kami terima rata-rata bercorak fiksi ilmiah, menyajikan gaya tutur segar, serta sudut pandang menarik saat mengulas topik seperti teknologi, lingkungan, agama, hingga nasib bahasa di masa mendatang.
Selamat membaca!
Videos by VICE
AMBANG
Aku tidak pergi bersama tubuhku. Ia sudah kutinggalkan di kamar kita dulu. Kalau sempat kau boleh mampir untuk melihatnya. Tak perlu kuatir. Aku membaringkan diriku di dalam tabung kriogenik; kau tak akan menghirup bau busuk. Barangkali akhirnya aku bisa tampak lebih menarik ketimbang Santa Bernadette. Kutinggalkan tabung itu tanpa kata kunci, siapa tahu kau mau mengubur jasadku seperti yang pernah kita bicarakan dulu ketika membahas kematian masing-masing. Aku mengizinkanmu untuk tak menepati kata-katamu—buatku tak masalah. Yang pasti tubuhku tak lagi memiliki roh. Kau tak perlu mendoakannya.
Sekarang ini aku tidak dalam keadaan hidup ataupun mati—aku sendiri tidak merasa keduanya. Aku telah menjadi ketakberbentukan yang mengisi sebuah cangkang kristal berkapasitas jutaan terabita. Aku hanyalah sekumpulan data yang mengaliri kabel-kabel mikron dan mungkin… bisa dihapus kapan saja. Tak terlihat apa-apa di sini. Aku seperti tenggelam dalam lubang hitam yang telah melumat habis cahaya. Tak ada rasa damai kematian yang ganjil seperti dalam cerita pendek Asimov yang pernah kita bahas dulu itu. Tak ada pula rasa takut dan keinginan untuk mati layaknya yang selama ini menggelayut dalam pikiranku. Namun, segalanya terasa lazim dan seolah dapat dipahami. Kesepian dan amarah terasa lesap begitu saja. Perasaanku menjadi lempang. Yang tersisa hanyalah ingatan dan secercah pikiranku.
Alien-alien itu yang menerjemahkan pikiran-pikiranku ini menjadi suara. Kuharap kau tak mendapati kekeliruan apa pun. Kuharap mereka tak mengubah kata-kataku sedikit pun. Kuharap mereka bukan penipu seperti yang kau curigai. Aku ingin kata-kataku ini sampai kepadamu. Itu saja keinginanku saat ini, sebab yang tengah kau dengar ini adalah kata-kata terakhirku sebelum kepergianku yang entah akan berakhir seperti apa. Apabila kau membalas pesanku ini, barangkali aku baru akan mendengarnya ratusan tahun Bumi yang akan datang, saat aku terjaga di sebuah dunia antah-berantah. Akankah aku terus mengingat segala yang telah kutinggalkan? Aku tak berani memikirkan kepastian apa pun.
Di sini aku tak lagi bertelinga, tetapi aku dapat menangkap pikiranku sebagai sensasi suara. Alien-alien itu mampu menciptakan rangsangan neuron buatan yang cukup sempurna. Mereka merancang mekanisme cangkang kristalku ini layaknya otak manusia. Aku pun dapat mendengar mereka berbicara kepadaku dalam bahasa dan logat kita.
Silakan rekam pesan terakhir Anda sebelum kita memasuki Fase Tidur.
Kau pasti masih ingat aku pernah membujukmu untuk ikut dalam program ini. Aku memang begitu mudah terpukau dengan teknologi luar angkasa. Kau sering mengolokku bermental inlander—aku tak peduli. Lima tahun yang lalu alien-alien itu berdatangan layaknya pedagang-pedagang abad pertengahan, membawa teknologi-teknologi baru, ilmu-ilmu sihir baru dari sebuah tanah jauh bernama Zeta Reticuli, sistem bintang berjarak puluhan tahun cahaya dari Bumi. Merekalah yang memperkenalkan teknologi teleportasi antarbintang dan pengembangan organisme sibernetik kepada kita. Kau sering menyebut mereka sebagai kerdil-kerdil kapitalis, lebih-lebih ketika kau mendapati mereka memasang iklan hampir di seluruh layar plasma yang ada di Jakarta, menawarkan jasa ‘Imigrasi Kesadaran’ bagi ‘makhluk-makhluk cerdas di planet-planet yang sekarat’. Kedua matamu langsung membelalak tatkala kuberitahu bahwa melalui program itu kesadaran kita dapat dipindahkan ke dalam tubuh makhluk hidup baru di planet lain.
Dengan demikian, kita tak perlu beradaptasi dengan lingkungan ekstraterestrial yang kejam. Menurutmu itu ide sinting. Kau membayangkan dirimu hidup sebagai seekor gurita di sebuah planet bernama Althaea, berenang-renang seumur hidup di samudra metana dalam penyesalan tiada akhir. Aku masih ingat wajah tak sepakatmu saat kukatakan program itu justru sangat masuk akal. Kita memang tidak diajak untuk berpikir antroposentris. Alien-alien itu jelas bukan manusia. Meskipun sesungguhnya mereka sangat mengingatkan kita kepada manusia. Mereka adalah sekelompok pebisnis yang melihat peluang dari keadaan kita yang terpuruk. Wabah virus. Perang nuklir. Hujan asam. Pendinginan global. Bumi sudah menjadi tak ubahnya latar cerita fiksi ilmiah pascakiamat yang klise: hancur, lusuh, dan hanya bersisa segelintir harapan. Apa lagi hebatnya tinggal dalam tubuh manusia? Menjadi manusia adalah menjadi sia-sia.
Kau juga pernah bilang aku teracuni ajaran sesat zaman baru. Lucu, padahal kau suka menuding pemikiranku bias soal agama. Kau juga bilang program ini tidak etis dan perlu dikaji ulang secara filosofis. Kau heran mengapa pemerintah tidak melarangnya. Padahal, alasannya sudah jelas: pemerintah tak akan berani menantang makhluk berkecerdasan tinggi. Lagi pula, pada akhirnya kita semua berharap untuk menjadi seperti yang diinginkan program ini, bukan? Hilang, menjadi arwah bening yang melayang-layang, menunggu dengan sabar untuk dilahirkan kembali—layaknya yang kita percaya selama ini. Jika hidup sudah terlalu menjenuhkan, bukankah lebih baik kita meninggalkannya dengan cara begini? Kita tak perlu takut kesepian karena kita akan berjumpa dengan makhluk-makhluk baru di planet-planet lain, menjalin persahabatan dengan cara-cara yang tak terpikirkan untuk kita saat ini. Aku selalu berusaha meyakinkanmu, tetapi kau selalu enggan.
Alien-alien itu datang untuk mengeruk kita, katamu.
Aku tak mau memaksamu. Aku tahu kau senang bisa memilih jalan hidupmu sendiri. Dan kau adalah makhluk yang paling enggan menelan ludahmu sendiri. Kau bilang program ini ditujukan bagi para privileged bitches. Biayanya sangat mahal. Melarikan diri dari Bumi memang merupakan pilihan khas orang-orang kelas menengah ke atas. Kau benci orang-orang menengah ke atas. Kau menilai kami semua pecundang. Memang barangkali benar begitu. Aku harus akui itu. Kami sering kali tak mau repot dengan urusan apa pun. Dan kami senang melarikan diri dari masalah. Aku sendiri sengaja menginvestasikan sejumlah uang kriptid selama tiga tahun untuk memodali perjalanan ke sistem bintang penunjang kehidupan terdekat. Ketika kubilang aku punya kelebihan Ethereum untukmu, kau tetap menolak untuk ikut. Kau kembali mengatakan bahwa program ini adalah program sinting. Kau menganggap jauh lebih baik menghadapi kepunahan di Bumi ketimbang berubah wujud menjadi reptil atau moluska. Maut adalah ilham yang senantiasa kau cari*. Lantas, tak sampai dua bulan setelah kau menolak untuk ikut denganku, waktu itu masa menjelang Natal yang paling sepi dalam hidupku, kau pun pergi bersama suamimu ke Chiang Mai, mencari tempat pengembangbiakan manusia yang tak punya harapan itu, dan tak pernah kembali. Aku tak pernah mendengar kabar apa pun darimu. Kau tak pernah muncul lagi di internet.
Kau belum mati, bukan? Aku berharap kau bisa mendengar kata-kataku ini. Setidaknya sekali saja. Aku mungkin tak akan gembira, tetapi aku mungkin bisa merasa lega.
Satu hal yang kau mesti tahu: aku sama sekali tak menyesali keputusanku mengunggah ingatanku ini. Aku tak tahu apakah cara berpikirku telah dimanipulasi sehingga aku berpikir demikian. Namun, apa lagi yang kita harapkan dari hidup yang sengsara ini? Dengan berbagai cara, kehidupan di Bumi ini memaksa kita untuk mati tanpa harga. Sering kali aku merasa kita ini tak ada beda dengan dahak yang dilepehkan di aspal. Kita lahir untuk pecah berhamburan, lalu lenyap menyisakan bekas yang menjijikkan. Bukankah lebih baik kita pergi meninggalkan dunia ini saja dan mencari tubuh baru yang lebih pantas untuk kita pertahankan? Seperti halnya kau mencari tubuh baru dalam diri suamimu. Aku mencari tubuh baru untuk menampung diriku sendiri. Jika suatu saat kita bertemu dan telah menjadi dua spesies yang berbeda, belajarlah untuk menyapaku dengan bahasa baruku. Aku juga akan mencoba menyapa keluargamu dengan suara baruku sà wàt dee kráb… pŏm chêu…. Kuharap kalian panjang umur dan bahagia.
Aku tak tahu apa yang mau kusampaikan kepadamu sebetulnya. Aku hanya tak ingin kehilangan kesempatan untuk berbicara denganmu. Mereka hanya memberi waktu sedikit. Kata mereka, waktu yang sedikit membuatmu mengatakan hal-hal yang berharga. Maka, sekali lagi, kuharap kau bisa mendengar kata-kataku ini. Dan kuharap mereka tak mengubah suaraku supaya kau tetap dapat mengenalinya. Sebab barangkali, saat kau mendengar ini, aku sudah begitu jauh dan kau sudah agak lupa denganku. Jika kau mau mencariku, kau sudah tahu harus mencari tubuhku di mana. Dulu kita sering menghabiskan hari-hari di kamar itu, tak melihat siang berganti malam, lantas merasa jenuh berdua, terjebak di sudut Palmerah yang memuakkan. Kau selalu lupa menjemur handuk dan membuang sampah sampai-sampai seisi kamar menjadi bau. Kini kamar itu selalu wangi dan rapi—hanya ia dan tubuhku yang tersisa untuk segala ingatan kita.
Sebelum kepergianku, alien-alien itu mengirimiku bola kristal, cangkangku. Kristal itu bagaikan peri dongeng yang diliputi aura keemasan. Ia terbang ke apartemenku, mengetuk-ngetuk jendela, lalu hinggap di atas kepalaku dan menghisap seluruh tenagaku—seluruh kesadaranku—hingga tubuhku lunglai dan jatuh. Asisten elektronikku kemudian membaringkan tubuhku di tabung kriogenik yang sengaja kupesan dua minggu sebelumnya. Jika kau berada di Jakarta, kau dapat melihat kristalku mengapung ke angkasa, perlahan-lahan memanjat udara, masuk dalam kepulan awan, melawan embusan angin dan derai hujan, memasuki badan pesawat pengangkut. Kau pernah bilang juga nama pesawat pengangkut itu seperti barang jualan IKEA: Valkirja. Aku masih merasa fakta itu kocak. Alien-alien itu sengaja menggunakan nama Bumi supaya kita dapat merasa akrab dengan teknologi mereka. Dan mereka menggunakan nama Skandinavia! Kau akan kesulitan untuk menemukan yang mana kristalku, karena akan banyak sekali yang menggelayut di langit. Kami semua terlihat serupa: licin, berkilat, dan rapuh. Kami bagaikan manik-manik rosario yang berserakan di langit. Kau ingat tidak? Kita biasa mengaitkan rosario yang putus dan terburai sebagai pertanda buruk. Dan mungkin inilah pertanda buruk bagi hidupku ini.
Kau tidak usah cemas. Tapi, kurasa kau memang tak akan cemas. Aku akan tertidur tenang dan alam raya tak akan bersuara sedikit pun.
Aku hanya mau bilang…, kuharap kau baik-baik saja. Apakah aku sudah terlalu sering mengatakan ini? Kuharap kita semua baik-baik saja. Dan kuharap Bumi juga akan baik-baik saja. Semoga keheningan alam raya tak usah menyembunyikan segala kecemasan kita lagi.
Sampai jumpa.
Mauliate.
(Luang Prabang – Jakarta, Desember 2017)
*Perkataan ini diambil dari bagian pertama puisi “Variasi pada Tema Maut” karya Subagio Sastrowardoyo.
*Leopold Adi Surya Indrawan lahir di Jakarta, 11 November 1989. Alumnus Universitas Pelita Harapan ini sehari-hari bekerja sebagai desainer grafis. Dia terpilih sebagai salah satu Emerging Writers di Ubud Writers & Readers Festival 2015.