Artikel ini pertama kali tayang di VICE India
Masjid Syed Gauhar Ali Shah Qadeem adalah masjid yang sering dikunjungi wisatawan. Di Rangpuri Delhi dekat bandara internasional terbesar India pada Jumat sore, bangunan putih dan hijau yang teduh ini dipenuhi wisatawan, penjaga toko, dan penduduk setempat yang berkumpul di sini untuk salat. Setelah melakukan wudhu, sebgian besar jamaah duduk di halaman dengan dua pohon di tengah dan toilet plastik sementara, tangki air PVC dan pakaian yang dijemur di sela-sela tali.
Videos by VICE
Dengan menara yang khas, pengeras suara, dan pengemis, masjid ini tak berbeda dari majsid lainnya di India, kecuali fakta bahwa di antara jemaahnya adalah orang-orang transgender yang berkumpul di sini setiap Jumat untuk berdoa di antara jemaah laki-laki. Meski Al-Quran mengecam homoseksualitas, umat Muslim transgender yang di India disebut ‘Hijra’ memiliki hubungan yang lebih bernuansa dan rumit dengan Islam di Asia Selatan.
Meski sebagian jemaah di masjid Rangpuri menerima Natasha, Diya, dan Joba—transpuan yang hidup di Mahipalpur—sebagian lainnya kaget saat melihat mereka. Clad dalam piyama kurta dan keffiyeh warna-warni di antara peci putih, trio tersebut termasuk 20 orang transgender yang datang ke mesjid berusia 68 tahun itu untuk melakukan salat Jumat.
Mohammmed Iqbal, ulama pimpinan masjid itu selama 18 tahun terakhir, mengatakan kepada saya, “Islam adalah tentang menyatukan semua orang, bukan menciptakan perpecahan,” termasuk jamaah transgender. Masjid ini didirikan pada tahun 1950 oleh kakek dari pihak ibu Haji Qamar Khan dan saudaranya Haji Gauhar Khan, untuk menciptakan tempat ibadah bagi para penambang dan buruh yang biasanya bekerja di Rangpuri Pahadi yang berdekatan. Iqbal sering mengunjungi perumahan transgender untuk memastikan mereka merasa diterima dalam jemaat dan di acara-acara keagamaan. “Setiap orang berhak untuk berdoa kepada penciptanya. Saya selalu berusaha sebaik mungkin untuk menerima pesan Tuhan untuk semua orang, siapapun itu, ” katanya.
Natasha, pemimpin de facto kelompok itu, membawa saya ke sebuah apartemen, tempat tinggalnya bersama enam orang transgender lain di Mata Ki Chowki, sebuah koloni yang didominasi penganut Hindu di Mahipalpur. Apartemen lantai dasar yang remang-remang itu memiliki dua kamar yang sesak dengan perabotan, dapur kecil, dan aula dengan dinding yang tidak dicat. Ini adalah tempat berkumpulnya orang-orang transgender yang tinggal di daerah itu—di sini agama tak terlalu dijadikan persoalan dan identitas gender diekspresikan melalui lagu-lagu Bollywood dan lelucon tentang orang-orang heteroseksual.
“Dia adalah pacar baruku,” kata Natasha yang berusia 28 tahun dengan bercanda sambil memperkenalkanku kepada dua teman sekamarnya, “anak perempuannya” dan “cucunya” menurut hirarki tradisional di komune mereka. Di atas kompor ada kari ikan yang disajikan untuk saya dan orang lain di rumah.
“Al-Quran menyebutkan kita memberi hak serupa pada setiap keturunan Nabi Adam lainnya,” ujar Natasha. “Dalam Al-Quran, kita dipanggil dengan sebutan Arab yang indah, ‘ Mukhannathun’—laki-laki yang menyerupai perempuan. “Tetapi kebanyakan orang di sini menggunakan istilah-istilah seperti hijra dan chakka,” ujarnya.
Natasha bilang dia lahir di keluarga Muslim konservatif yang berpenghasilan rendah di Kolkata, dan menjaga kerahasiaannya sebagai transgender dari masyarakat. Pada usia 10 tahun, dia mulai mengenakan pakaian feminin dan menggunakan kosmetik; hal ini mengundang cemooh dari orang-orang yang tinggal di area yang sama. “Saya jadi bingung karena saya tidak suka bergaul dengan anak laki-laki, atau berperilaku seperti laki-laki. Saya sering berpura-pura menjadi pengantin di depan cermin dan kadang-kadang berjalan memakai dupatta milik anak perempuan lain.”
Hantaman-hantaman dari saudara perempuannya sudah menjadi hal biasa. “Tidak ada satu hari pun saat mereka tidak memukul saya. Kadang-kadang dengan tongkat atau ikat pinggang. Mereka ingin saya meninggalkan rumah karena teman-teman mereka mengolok-olok mereka soal saya.” Kabur dari penyiksaan, Natasha meninggalkan rumahnya pada usia 14 tahun dan mulai tinggal dengan beberapa orang transgender di Kolkata, yang “menerimanya seperti keluarga sendiri” dan mengajarinya mencari uang dan bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah-rumah pribadi. Dia pindah ke Delhi pada 2010 dan sejak itu tinggal di Mahipalpur.
Tetapi Natasha bilang dia masih belum lolos dari tetangga-tetangga usil di Delhi, yang terkadang mengejek kelompok tersebut, baik karena dia transgender maupun karena seorang Muslim yang memakan daging. “Ketika saya meninggalkan rumah mengenakan baju sembahyang, mereka biasanya melontarkan komentar cabul,” katanya. “Ketika mereka bertanya kepada saya apa yang saya peroleh dengan beribadah pada Allah, saya mengatakan kepada mereka, untuk mencapai kedamaian di hati saya seperti yang mereka dapatkan dengan sembahyang pada Mata Rani.”
Tidak semua masjid menerima mereka seperti masjid Rangpuri. “Dulu kami ingin salat di sebuah masjid di Saket, tetapi orang-orang tidak mengizinkan kami masuk,” kata Natasha. “Bahkan di masjid ini, ada beberapa kejadian ketika pria tidak ingin berdiri dalam saf yang sama seperti kita, meskipun sebagian besar dari mereka baik dan mengajak kita untuk salat bersama mereka.”
Mohammad Arif, seorang jamaat di Masjid Syed Gauhar Ali Shah Qadeem, mengatakan bahwa kebanyakan orang tidak keberatan dengan kelompok transgender karena mereka sopan dan berbicara dengan santun kepada semua orang di daerah tersebut. “Allah ingin semua orang beribadah. Bahkan burung-burung berdoa kepada-Nya. Kenapa mereka tidak bisa? Tuhan telah menciptakan mereka seperti ini. Itu bukan kesalahan mereka.”
Di masjid itu, Natasha dan teman-temannya menyumbangkan sejumlah uang dan memberi sedekah kepada para pengemis yang berkumpul di dekat kios biryani di luar halaman. Muslim memberi zakat, atau bersedekah atas nama seseorang yang telah meninggal. “Bagi saya, itu untuk ayah saya dan nenek saya—orang yang paling mencintai saya di dunia ini,” kata Natasha kepada saya. “Saya meminta para pengemis untuk berdoa bagi keselamatan mereka di akhirat.”
Natasha, yang mengidentifikasi sebagai seorang Muslim Sunni, menambahkan, “Bahkan jika seseorang menembakku, aku akan mengatakan tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Nabi-Nya. Di masa-masa sulit yang saya hadapi, saya tidak marah kepada Allah. Dia bisa membuat hidupmu indah dalam beberapa saat, tetapi kamu harus menahan ujian hidup. ”
Natasha, yang memandang diri sebagai Muslim Sunni, menambahkan, “Bahkan jika seseorang menembak saya, saya akan bilang tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya. Pada saat-saat sulit yang saya hadapi, saya tidak marah pada Allah. Ia bisa menjadikan hidupmu indah dalam sekejap, tapi kamu perlu melalui cobaan hidup terlebih dahulu.”