Biasanya, saya dapat surat dari klub sepakbola kesayangan saya, Hamburg SV—sebuah tim 2. Bundesliga alias divisi dua kompetisi sepakbola Jerman—bersama kiriman tiket satu musim yang saya pesan.
Tapi, sebelum musim kompetisi lalu dimulai, saya tahu, kali ini surat yang datang akan sedikit berbeda. Benar saja, surat itu datang, isinya mimpi buruk terparah dalam hidup saya: saya dilarang masuk stadion tingkat nasional selama tiga tahun karena kedapatan menyalakan suar dalam sebuah pertandingan Bundesliga. Njir, tiga tahun.
Artinya, baru 2022 nanti, saya baru bisa menginjakan kaki di stadion lagi. Tahun itu, umur saya sudah 26 tahun dan saya mungkin sudah jadi anggota bangkotan sofa ultra. Banyak yang bisa terjadi dalam tiga tahun, Jangan-jangan HSV akan jauh berubah atau malah dibeli oleh sejumlah investor yang tinggal entah di mana? Duh gusti, membayangkannya saja sudah bikin saya ciut.
Videos by VICE
Saya enggak kaget sama sekali oleh kedatangan surat hukuman saya. Beberapa minggu sebelumnya, saya diberi kesempatan membela diri di depan sejumlah pengurus klub bersama sekian fan berat HSV lainnya. Mood pertemuan hari itu tegang banget.
Rasanya seperti mau disetrap oleh kepala sekolah karena ketahuan bolos zaman SMA dulu. Ternyata, pertemuannya lebih serius dari itu. Kami dituding menyalakan petasan dalam stadion. Asosiasi Sepakbola Jerman mendenda HSV sebesar €115.000 (sekitar Rp1,8 miliar) gara-gara kejadian itu—angka inilah menyulut amarah para pengurus HSV marah besar.
Dengan nada yang halus, manajer stadion HSV menyampaikan bahwa dirinya memegang daftar tersangka penyaalan petasan tersebut. Namanya saya ada di dalamnya. Saya enggak mau disalahkan begitu saja—brengsek, mereka enggak punya bukti macam rekaman CCTV, saya membela diri. Tapi, apa ada daya, pembelaan saya dianggap angin lalu. Hukuman kadung dijatuhkan kepada kami.
Brengsek, ini toh ucapan terimaksih klub atas kesetian saya selama bertahun-tahun. Ini bentuk penghargaan HSV—enggak ding, pengurusnya sih, klub mah enggak pernah salah—untuk semua uang yang saya belanjakan membeli tiket pertandingan, kaos dan tiket kereta, untuk setiap kali saya bersepeda 400 km, naik turun pegununungan, demi nonton pertandingan tandang HSV. Sekarang, mereka mengusirku dari lapangan.
Tentu saja, yang keki cuma saya. Hasil akhir hubungan saya dengan HSV cuma pedih bagi saya, klub sih tak banyak ambil pusing. Baiklah, saya langsung bikin rencana agar tetap bisa nonton HSV. Dalam laga ke-13 Divisi Dua Jerman, HSV bakal betandang ke markas FC Erzgebirge Aue—yang dikelilingi kawasan pegunungan dan hutan. Sampai 2017, saya sebenarnya bisa mengintip pertandingan cuma dengan berdiri di lereng rimbun di belakang East Stand. Akan tetapi sejak Erzebirge merenovasi kandangnya, hal itu mustahil dilakukan lagi.
Saya harus putar otak. Setelah dipikir-pikir, masalahnya sepertinya bakal kelar jika saya berada di titik yang lebih tinggi di lereng itu. Maksudnya, saya enggak boleh berdiri di permukaan tanah. Tapi naik mobil derek misalnya. Masalahnya, menyewa mobil derek itu enggak gampang. Di Jerman, butuh semacam SIM khusus untuk mengendarai mobil derek. Jelas, enggak ada satupun dari kami yang sempat ujian untuk mengambil SIM khusus ini. Okay, opsi ini dicoret. Opsi berikutnya: paralayang! Sayangnya, pencarian saya di Goggle dengan keyword “paragliding in Erzgebirge,” enggak membuahkan hasil yang berarti. Nyewa drone? Mahal!
Lagian mendingan nonton di TV daripada disangka dijatuhi karena melakukan aksi mencurigakan—atau bahkan kegiatan terorisme—karena menerbangkan drone di dekat stadion. Akhirnya, saya sadar saya butuh bantuan. Untungnya, nasib baik masih ada di sisi saya. Kawan baik saya juga mengalami nasib yang sama: dilarang masuk stadion nasional selama tiga tahun
Meksi enggk luas-luas banget, seperti kota-kota di wilayah timur, Erzgebirge memiliki penggemar sepakbola yang loyal dan kadang agak kasar. Makanya, kami berdua harus memiliki rencana yang bagus, sehingga kami enggak ketangkap basah sebagai dua orang suporter tim tamu yang datang nonton pertadingan tanpa bayar. Lucunya, kami malah datang dengan enggak sengaja membawa embel-embel Hamburg SV yang sangat kentara; plat mobil teman saya dibubuhi tulisan “HSV.”
Sore sebelum pertandingan digelar, kami mendatangi Aue untuk survei lokasi. Agar aman, sampai di kawasan hutan sekitar Aue sebelum gelap adalah harga mati. Saat kami hendak menyebrang sebuah sungai kecil, saya terperosok sebuah batu, ponsel saya keluar dari kantong baju dan terjun bebas ke dalam air sungai. Sebuah awal petualangan yang bagus.
Lalu kami merambat melewati singkapan berbatu dan beberapa tunggul pohoh. Beberapa saat kemudian, kami menemukan sebuah jalan setapak. Kami terus mencari titik terbuka yang ideal untuk menonton pertandingan. Akan tetapi, sesuai perkiraan, pandangan kami terhalang cabang pohon.
Di setiap titik yang menurut kami cocok, kami nangkring beberapa meter dari permukaan tanah. Sebagai solusinya, kami lekas pergi ke toko peralatan rumah dan menyewa tangga empat meter—alias tangga terbesar yang bisa kami temukan,
Masalah berikutnya: bagaimana mengelabui polisi khusus yang sangat jeli mengenali “suporter-suporter bermasalah”? Ini bukan main-main bung. Jika mereka berhasil mengidentifikasi kami, rencana nonton dari sisi hutan hanya tingal teori. Polisi bisa menggelandang kami bahkan ketikakami enggak melakukan apapun. Alhasil, biar rencana kami lancar, kami mesti tampil sebagai orang yang lazim membawa-bawa tangga di kawasan hutan.
Pendeknya, kami mesti berlagak bak rimbawan.
Beruntung, di toko peralatan kebun terdekat, kami bisa membeli jumpsuit warna hijau, sarung tangan anti licin, pelindung telinga dan beberapa kaleng bir. Lumayanlah buat hiburan sebelum kami balik ke kamar hotel kecil yang kami sewa.
Esoknya, kami dipaksa bangun oleh bunyi alarm pada pukul 6:30 pagi. Kondisi di luar masih gelap saat kami berjalan menembus lahan peternakan domba. Kami memanggul tangga, walkie-talkie kami genggam di tangan dan teropong tersimpan rapih di tas.
Kami tiba di tempat persembunyian pukul 8 pagi, tepat lima jam sebelum pertandingan dimulai. Artinya, kami punya sisa waktu yang sangat longgar. Kami mengisinya dengan saling curhat tentang kondisi tragis yang sama-sama kami alami—termasuk saat kami dipaksa telanjang bulat di depan orang yang enggak kami kenal sebelum diinterogasi oleh perwakilan klub.
Menjelang pukul 10, perbekalan kami—bir dan butty, sejenis sandwich—nyaris enggak tersisa. Kami cuma bisa duduk-duduk di sana, mirip seperti ilmuwan kehutanan yang sedang meriset kondisi hutan,
Tentu saja, kami tidak merasa sedang menunggu sebuah pertandingan. Begini, misalkan kamu tumbuh dewasa dalam kancah fans ultra, kamu bakal mengerti bahwa salah satu bagian paling menarik dari nonton pertandingan sepakbola klub kesayanganmu adalah kamu tahu separuh isi lapangan menganmu. Kamu pun bisa menyalami sebagain dari mereka selagi berjalan menuju bangkumu. Tak cuma, itu hal-hal sepele macam mengibarkan bendera yang dua kali lebih besar dari tubuhmu; bunyi tepuk tangan penonton yang menggetarkan dan desisan suar yang dinyalakan adalah kebahagian yang susah dicari tandingannya. Hari ini, kami dijauhkan dari semua itu. Kami berdua cuma dua lelaki nista dengan tangganya, duduk di antara pepohonan di satu titik di Saxony.
Makin dekat dengan kick-off, makin kencang juga nyanyian yang terdengar dari stadion. Setengah jam sebelum pertandingan dimulai, kami bergeser sejauh 80 meter dari tempat kami menunggu dan melihat asap biru membumbung dari sisi lapangan yang ditempati skuad Hamburg. Anehnya, tempat persembunyian yang kami incar sudah diambil orang. Seorang lelaki uzur sudah ngendon duluan di sana. Lelaki botak itu mengenakan jersey ungu Aue. rona mukanya kelihatan bahagia saat kami mendekatinya.
Kami harus berganti tempat beberapa kali agar dapat sudut menonton yang pas.
Akhirnya, kami menemukan titik persembunyian yang masih kosong. Tangga langsung dibentangkan untuk mengecek apakah kami bisa mengintip jalan pertandingan dari situ. Kami masih jauh dari nasib baik. Ternyata, kami kurang cukup tinggi untuk mengintip apa yang terjadi di lapangan. Brengsek!
Untungnya, kami menemukan satu slot kecil di atap dan tribun Aue. dari lubang kecil itu, kami bisa menyaksikan apa saja yang terjadi selama pertandingan, alias nonton gratis. Jeleknya, ada bagian vital yang terlewat dari pandangan kami: kotak pinalti.
Dengan berat hati, kami bergeser lagi. Di lokasi yang baru, kami bisa melihat gawang yang diserang HSV di babak pertama. Saya dan kawan saya gantian naik tangga dan bergantian menjelaskan situasi terakhir pentandingan.
Saat HSV memimpin pada menit ke-21, kami berada di titk yang ideal. Keberuntungan pertama yang kami rasakan dalam perjuangan nonton klub kesayangan kami pakai tanggak di hutan ini. Sayang, tak lama kemudian, tuan rumah menyamakan kedudukan. Kami beruntung tak harus menyaksikan proses terjadinya gol. Kami cukup tahu gawang klub kesayangan kami kebobolan dari riuhnya teriakan pendukung tuan rumah dari dalam stadion.
Awal babak kedua, suar mulai dinyalakan di sisi tribun yang dipenuhi suporter HSV. Saya mencoba mendekat agar bisa melihat lebih jelas sambil mewanti-wanti dalam agar tidak kelihatan mencolok. Sejuah ini, sudah dua orang supporter tuan rumah—keduanya memakai kemeja Fred Perry—memergoki kami saat sedang berada di dekat kamar kecil. Mereka sempat mendongak dan menemukan kami di luar stadion. Mujur, mereka pergi begitu saja tanpa melakukan apapun.
Tiba-tiba, stadion Aue kembali bergemuruh. Dari tempat kami berada, kami menyaksikan kiper terkapar di tanah, nafasnya terengah-engah. HSV kembali memimpin dengan skor 2-1.
HSV kembali bikin gol pada menit ke-68. Bahagia karena HSV menang dan tak ingin gegabah, kami memutuskan untuk cabut—ini rekor sih, saya enggak pernah cabut secepat ini sebelumnya. Sebenarnya, saya males cabut tapi kami harus mengembalikan tangga sebelum tokonya tutup.
Dalam perjalanan pulang, kami dilanda rasa senang dan bahagia seperti baru saja nonton langsung pertandingan HSV lawan Aue. Baiklah, kami enggak ada di dalam staidon dan kami enggak bisa merayakannya dengan sesama pendukung HSV, tapi kami jadi saksi hidup satu setengah gol yang tercipta hari itu….lewat tangga.
Dan, semua itu kami dapatkan dengan bermodal lima jam wara-wiri di hutan, satu buah tangga dan dua kostum konyol—sebuah harga yang akan terus saya bayar sampai 2022 nanti.
Nama penulis sudah kami ganti sesuai permintaan yang bersangkutan.