Drama, saling tikung, dan perkembangan yang mirip serial televisi House of Cards. Itulah yang terjadi selama 24 jam terakhir, menjelang batas akhir pendaftaran calon presiden dan wakilnya ke Komisi Pemilihan Umum pada 10 Agustus 2018.
Prabowo Subianto, selaku ketua dewan pembina Partai Gerakan Indonesia Raya akhirnya akan mengumumkan calon wakil presiden yang mendampinginya pada Kamis (9/8). Berbeda dari perkiraan banyak pihak, nama yang menguat sehari sebelum penutupan pendaftaran adalah Sandiaga Salahudin Uno, saat ini masih menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta. Padahal sepekan belakangan spekulasi masih berpusat pada tiga nama lain: Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Abdul Somad, dan Salim Segaf Al-Jufri. Dua nama terakhir aktif disorongkan oleh koalisi ormas muslim, termasuk Front Pembela Islam.
Videos by VICE
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, Andi Arief, yang getol menyorongkan sosok AHY, mencak-mencak pada Rabu (8/8) malam, memicu kata kunci yang kini viral di media sosial yaitu Kardus. Dia menuduh Prabowo berbalik arah memilih Sandiaga, lantaran pengusaha yang memiliki PT Saratoga Investama Sedaya itu menyediakan mahar Rp500 miliar untuk partai-partai koalisi oposisi, mencakup Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Amanat Nasional.
Cuitan Arief segera memicu gonjang-ganjing politik. Elit Partai Gerindra balas mencemooh SBY, pendiri dan simbol Demokrat, sebagai “Jenderal Baper.” Namun perang kata-kata ini untuk sementara diredam. Prabowo segera menemui SBY di rumahnya, kawasan Mega Kuningan, Jakarta, Kamis (9/8) selama 45 menit membahas penguatan komitmen koalisi. “Kita musyawarah terus,” kata Prabowo saat dikonfirmasi wartawan mengenai tema obrolan bersama sang ketua umum Partai Demokrat.
Tetap saja, nama Sandiaga Uno mendadak jadi yang terdepan sebagai calon wakil presiden dari kubu oposisi pemerintah. Hanya Sandiaga, selain Joko Widodo dan Prabowo, yang sudah mengurus surat pernyataan tidak pailit kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Surat tersebut jadi kebutuhan untuk mendaftarkan dokumen di KPU.
Perkembangan ini, mengejutkan semua pihak, baik elit partai maupun pengamat politik. Sosok yang terlibat dalam pembicaraan di internal partai oposisi menyebut Sandi akhirnya dengan cepat mencuat lantaran memiliki modal besar untuk mendukung logistik kampanye. Nama-nama lain yang disorongkan kepada Prabowo dianggap tak punya modal memadai untuk berkampanye intensif melawan Jokowi.
Selain itu, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Puyouno, saat diwawancarai liputan6.com, menyebut Sandiaga adalah keturunan Minang, secara simbolis melengkapi pakem beberapa tahun terakhir agar pasangan capres-cawapres merepresentasikan sosok Jawa dan non-Jawa. “Sandiaga, kan, bukan dari Jawa. Untuk kepentingan bangsa Indonesia gitu lho. Berbeda kalo sama AHY kan Jawa-Jawa,” ujarnya.
Pengamat politik dari Universitas Pertahanan, Yohannes Sulaiman, menilai perkembangan yang sangat drastis menjelang penutupan pendaftaran capres-cawapres terjadi akibat manuver tiap parpol oposisi mengedepankan kepentingannya sendiri. Alhasil, ketika nama AHY ditolak oleh PKS dan PAN tapi juga tidak mungkin memilih Salim Segaf, Gerindra berusaha keras mencari sosok yang bisa menjadi jalan tengah.
“Saya dan kita semua kaget lah. Saya sih sendiri lebih melihat [Sandiaga] itu tokoh kompromi, saya curiganya dia adalah tokoh yang semua anggap enggak akan keberatan,” kata Sulaiman kepada VICE. “Ini dilema Prabowo di mana dia sudah menjanjikan kursi kepada PKS, di sisi lain PKS tidak mendukung AHY.”
Pendek kata, pertempuran menjelang pilpres 2019 sudah mengerucut pada nama-nama berikut. Jokowi bersama (kemungkinan) Mahfud MD, sementara Prabowo menggandeng Sandiaga. Potensi poros ketiga, alias ada alternatif kandidat lain, sangat kecil walaupun wacana ini sempat disuarakan PAN. “[Sulit mendorong capres ketiga] adalah efek dari presidential treshold yang 20 persen,” kata Ari Ganjar, pengamat politik Universitas Padjajaran kepada VICE. “Efek 20 persen ini juga yang membuat partai-partai kesulitan untuk menentukan cawapres.”
Potensi riil dari kalangan oposisi untuk menggoyang petahana sebetulnya masih terbuka. Universitas Padjajaran menggelar exit poll dua bulan lalu, hasilnya persepsi kepuasan masyarakat terhadap Jokowi tidak sekuat SBY ketika mengakhiri periode pertama kepemimpinannya pada 2009. Di Jawa Barat, contohnya, hanya 40 persen responden mengaku puas dengan capaian Jokowi di bidang politik, ekonomi, hingga pertahanan. “Performa Jokowi sesuai persepsi masyarakat tidak sebaik waktu zaman SBY 2009,” kata Ari.
Adapun calon yang diperebutkan kubu Jokowi maupun Prabowo adalah pemilih Islam dan pemilih dari generasi milennial, kelanjutan dari situasi yang tergambar sepanjang Pilkada DKI 2017. Namun sosok Sandiaga, menurut Sulaiman, bukan calon yang cukup mumpuni untuk memperkuat citra Prabowo yang selama ini dikesankan tua. “[AHY] masih bisa dipoles dan diubah asal konsultan politiknya hebat. Kalau Sandiaga sudah ada trademark-nya blunder di Jakarta. Jadi mau dipoles bagaimana pun ya sudah Kali item aja itu,” ujarnya.
Sulaiman bahkan memperkirakan drama masih sangat mungkin terjadi di kubu oposisi. Pasalnya koalisi Gerindra-PKS-PAN dan belakangan diikuti Demokrat terjalin hanya dengan satu kesamaan: semuanya yang penting bukan Jokowi. Kerapuhan ini terlihat ketika sosok cawapres berbeda dari kepentingan tiap partai. Slogan macam #2019GantiPresiden yang sempat menggaung beberapa bulan belakangan juga tidak memadai untuk meredam perpecahan.
“Tagar 2019 Ganti Presiden ini hanya berguna untuk menyatukan kelompok yang sebenarnya enggak bisa disatukan,” kata Sulaiman. “[Oposisi] ini sama-sama enggak suka Jokowi, sama-sama #2019Ganti Presiden, selama mereka bisa main slogan ya oke enggak ada masalah bisa bersatu. Tapi pertanyaannya begitu ditanya “ganti presiden” sama siapa? Nah itu ributnya.”