Robert Redfield punya banyak pertanyaan soal asal-usul virus Covid-19. Ahli virologi dan mantan direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) itu ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi di Institut Virologi Wuhan, terutama beberapa bulan sebelum munculnya virus corona jenis baru di kota itu. Namun, jawaban yang diterima sama sekali tidak memuaskan.
“Pada 12 September 2019, urutan kelelawar virus corona terhapus dari database institut. Kenapa? Institut mengubah protokol keamanan lab. Kenapa? Institut membutuhkan dana lebih dari US$600 juta (Rp8,6 triliun) untuk membuat sistem ventilasi baru. Apa yang mendorong kebutuhan baru ini?”
Videos by VICE
Redfield memercayai virus corona berasal dari laboratorium Wuhan. Dia menuangkan semua yang mengusik pikirannya dalam artikel Wall Street Journal pada Minggu, menyinggung kemungkinan telah terjadi peristiwa buruk di laboratorium pada saat itu. Menurutnya, kejadian tersebut berujung pada pandemi yang menewaskan lebih dari empat juta orang di seluruh dunia.
Dia menggunakan gambar satelit dalam penelitian Harvard untuk mendukung kecurigaan ini. Gambar-gambarnya menangkap penutupan lalu lintas di sekitar laboratorium Wuhan, sedangkan lahan parkir rumah sakit terisi penuh pada waktu yang sama. Hal itu menandai ada kecelakaan lab dan lonjakan orang sakit setelahnya.
Hampir semua tuduhan itu telah dibantah, tidak akurat dan salah besar.
Artikel Redfield menawarkan gambaran yang gamblang tentang batas-batas bukti tidak langsung pada saat pencarian asal-usul COVID-19 memasuki fase baru yang kontroversial.
Agen mata-mata AS berencana merilis temuan mereka tentang asal-usul pandemi, apakah virusnya ditularkan dari hewan yang sakit atau bocor dari laboratorium Tiongkok. Laporannya dijadwalkan terbit pekan ini, setelah Presiden Joe Biden memberi tenggat waktu 90 hari bagi komunitas intelijen AS untuk mengumpulkan dan menganalisis lebih lanjut informasi yang dapat “mendekatkan kita dengan kesimpulan pasti” tentang asal-usul COVID-19.
Permasalahannya adalah Tiongkok enggan bekerja sama. Sebaliknya, Beijing menuding virus corona berasal dari laboratorium militer AS di Fort Detrick, Maryland. Langkah ini semakin memicu dugaan pemerintah Tiongkok menyembunyikan sesuatu.
Perdebatannya kemungkinan akan terus berlanjut apabila mata-mata AS tidak memberikan bukti substansial, seperti laboratorium Wuhan menyimpan atau menciptakan virus penyebab COVID-19.
Redfield menulis artikel WSJ bersama Marc Siegel, dokter dan kontributor Fox News yang mengatakan coronavirus mirip flu biasa pada Maret. Banyak pernyataan yang salah dalam artikel tersebut.
Contohnya, peningkatan sistem ventilasi yang direncanakan Institut Virologi Wuhan membutuhkan dana sekitar $600.000 (Rp8,6 miliar), bukan $600 juta (Rp8,6 triliun) seperti yang disebutkan penulis. Nominalnya diperbaiki pada Jumat, sehari setelah VICE World News mengirim email berisi pertanyaan untuk bagian opini WSJ. Mereka memperoleh nominal tersebut dari laporan Partai Republik yang melebih-lebihkan jumlah beberapa proyek lain sesuai urutan besarnya. Banyak saluran berita terkemuka yang mengutip laporan itu.
Redfield ditunjuk oleh Donald Trump untuk menjabat posisi direktur CDC semasa pemerintahannya. Selain nominal yang keliru, dia juga menyalahartikan laporan kontraktor militer kepada Harvard. Penelitian yang disinggung dalam artikelnya menganalisis gambar lahan parkir rumah sakit di Wuhan, tapi tidak pernah membahas Institut Virologi Wuhan. Penelitian itu juga dikritik karena kumpulan datanya buruk, menyalahgunakan metode statistik dan salah menerjemahkan.
Setelah menganalisis gambar satelit komersial dan data lokasi ponsel di sekitar laboratorium, peneliti menarik kesimpulan lalu lintas yang lengang menunjukkan adanya upaya penanganan setelah peristiwa berbahaya. Pernyataan kunci laporan itu terbukti salah awal Juni tahun lalu.
Beberapa contoh di atas menunjukkan betapa besar tantangan yang dihadapi peneliti saat menyelidiki asal-usul virus corona tanpa turun langsung ke lapangan dan kerja sama penuh dengan Tiongkok.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memang melakukan studi lapangan di Tiongkok, tapi mereka tidak dapat mengakses data mentah lengkap pasien awal Covid-19 yang bisa memberikan gambaran awal mula kemunculannya.
Bulan lalu, ketua WHO mendesak Beijing membagikan datanya, tapi pejabat negara bersikeras ingin melindungi privasi pasien. Tak sedikit ilmuwan yang meragukan pernyataan itu, mengutip negara bisa mengungkapkan datanya sambil tetap menjaga anonimitas pasien.
Keyakinan virus corona masuk ke Tiongkok melalui impor makanan beku juga menimbulkan keraguan. Pejabat menyerukan penelitian lebih lanjut terhadap potensi penularan rantai dingin, meskipun beberapa ilmuwan telah menganggapnya cukup kredibel untuk membenarkan penyelidikan lebih lanjut.
“Menurut saya pribadi, kemungkinan berasal dari laboratorium sangat kecil,” Angela Rasmussen, ahli virologi University of Saskatchewan di Kanada, memberi tahu VICE World News. Dia berpendapat pemerintah Tiongkok berusaha mengalihkan perhatian publik dari perdagangan satwa liar yang mungkin menjadi penyebab limpahan virus zoonosis.
Ilmuwan menegaskan otoritas Tiongkok harus transparan jika mereka ingin menangkis semua kecurigaan ini. “Kami diminta memercayai omongan mereka tanpa melihat data apa pun,” ujar Alina Chan, ahli biologi Broad Institute di Cambridge, Massachusetts yang mendukung kebocoran lab sebagai penyebab pandemi. Kepada VICE World News, dia menyampaikan keinginannya melihat semua urutan patogen yang diproses laboratorium Wuhan. Menurutnya, kalau memang tidak bisa dipublikasikan, data itu setidaknya bisa ditinjau oleh tim ilmuwan internasional.
“Pelacakan wabah di masa depan bisa saja mencontoh situasi ini,” katanya. “Kalau semua negara tidak mengizinkan penyelidik internasional melacak asal-usul virusnya, kita bisa saja menghadapi masa depan yang penuh ledakan virus di mana-mana. Akibatnya kita mengalami pandemi setiap lima atau 10 tahun sekali.”
Ilmuwan lain tetap tidak memercayai teori kebocoran laboratorium, berbeda dengan apa yang mereka sebut sebagai “bukti ilmiah substansial”, menurut makalah peer-review yang terbit pekan lalu di jurnal Cell.
Terlepas dari perbedaan pendapat, para ilmuwan sepakat Tiongkok harus lebih transparan soal ini.
Pada Juli, Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menyebut kurangnya data mentah di awal wabah menghambat penyelidikan asal-usul virus. Dia lebih lanjut mendesak Tiongkok untuk lebih transparan, dan menyarankan penelitian terhadap laboratorium Tiongkok di fase studi berikutnya.
Namun, pemerintah Tiongkok takkan menyukai tingkat transparansi ini, mengingat Partai Komunis terbiasa melakukan penyelidikan dan mengambil keputusan secara tertutup. Mereka akan menganggapnya sebagai ancaman politik.
“Itu bukan hal yang lazim dalam manajemen krisis Tiongkok,” tutur Yanzhong Huang, peneliti senior kesehatan global di Dewan Hubungan Luar Negeri, saat berbicara kepada VICE World News. “AS mendorong transparansi yang lebih besar, tapi mereka gagal memahami kurangnya transparansi adalah bagian dari pemerintahan otoriter negara ini.”
Pola pikir ini bisa merusak reputasi Tiongkok—pandemi telah menjungkirbalikkan kehidupan umat manusia di seluruh dunia. “Kalau pun virusnya berasal dari limpahan alami,” kata Huang, “orang akan terus berpikir ada yang ditutupi jika kalian tidak transparan dan dianggap tidak mau membagikan data.”
Pemerintah Tiongkok tetap keras kepala walaupun sudah didesak sana-sini. Pada konferensi pers bulan lalu, pejabat mengaku “terkejut” mendengar usulan WHO untuk mengaudit laboratorium negara mereka, menambahkan saran tersebut menunjukkan WHO “tidak menghargai akal sehat dan memiliki sikap arogan terhadap sains.”
Masih di bulan yang sama, media pemerintah mengutip postingan Facebook milik Wilson Edwards, yang mengaku sebagai ahli biologi dari Swiss. Dalam postingan itu, dia bercerita ilmuwan menghadapi intimidasi dari AS karena mendukung studi penelusuran asal-usul virus WHO-Tiongkok. Kedutaan Swiss mengungkapkan tidak ada ahli biologi di negaranya yang bernama Wilson Edwards.
Belum diketahui apakah mata-mata AS bisa memberikan temuan yang lebih dari bukti tidak langsung. Namun, media Tiongkok mengecam langkah ini sebagai “perburuan penyihir dalam dunia politik”.
CNN melansir bulan ini, komunitas intelijen masih terpecah belah soal asal-usul virus pada saat laporannya disusun. Kantor berita itu mengutip narasumber yang mengatakan isi rancangan laporannya “tidak begitu mengejutkan”.
Pada September 2019, database Institut Virologi Wuhan yang menyimpan ribuan urutan genetik virus corona kelelawar tidak dapat diakses publik. Shi Zhengli selaku direktur Center for Emerging Infectious Diseases di lab tersebut mengaku database online mereka tidak bisa diakses karena habis diretas. Percaya atau tidak, itulah jawaban dari pertanyaan pertama Redfield. Anehnya, data itu masih belum bisa diakses hampir dua tahun kemudian. Jadi tak heran jika orang mempertanyakan kebenarannya.
Follow Alan Wong dan Viola Zhou di Twitter.