Upaya membungkam gerakan mahasiswa menolak rancangan undang-undang kontroversial tak cuma dilancarkan oleh aparat keamanan lewat kekerasan, penangkapan, dan intimidasi (termasuk kepada jurnalis) selama demonstrasi di berbagai kota tiga hari terakhir. Tekanan kini juga datang dari lembaga yang selama ini menaungi kegiatan mahasiswa di Indonesia: Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti).
Menteri Mohammad Nasir kepada awak media menyayangkan adanya dosen maupun pihak kampus yang mengizinkan mahasiswanya berunjuk rasa. Nasir mengatakan nantinya akan ada sanksi kepada rektor universitas jika gagal mencegah pengerahan mahasiswa di kampus yang mereka kelola.
Videos by VICE
Dia berdalih kebijakan ini perintah langsung dari Presiden Joko Widodo. “Arahannya [presiden] adalah jangan sampai menggerakkan massa, jangan sampai melakukan sesuatu yang tidak diinginkan oleh keamanan, jangan sampai terjadi mengacaukan keamanan,” kata Nasir seperti dikutip TEMPO, selepas bertemu Jokowi di Istana Kepresidenan.
Nasir juga mengancam adanya sanksi pidana pada pengelola kampus, jika aksi mahasiswa tersebut menyebabkan kerugian negara. “Nanti akan kita lihat sanksinya ini. Gerakannya seperti apa. Kalau dia mengerahkan ya dengan sanksi yang kita lakukan sanksi keras yang kami lakukan ada dua, bisa dalam hal ini peringatan, SP1, SP2,” kata Nasir di kompleks Istana Kepresidenan.
Apa yang dikatakan Nasir jelas sebuah bentuk pembungkaman. Sebab kebebasan berpendapat di muka umum dijamin undang-undang.
Sikap Nasir berseberangan dengan pandangan beberapa kampus dan dosen yang justru tak mempermasalahkan ketika mahasiswanya demo. Ketika aksi “Gejayan Memanggil” sukses mengumpulkan ribuan mahasiswa dan elemen masyarakat ke jalan, beberapa dosen ikut memindahkan ruang kelas sebagai dukungan.
Rektor Universitas Airlangga, sebelum gerakan Surabaya Menggugat digelar Kamis (26/9), termasuk yang mempersilakan mahasiswanya turun ke jalan asal tertib. Begitu juga dengan rektorat Universitas Indonesia, yang menilai kampus itu “lahir dari perjuangan.” Sementara beberapa kampus tak mempersalahkan demonstrasi, selama institusi kampus tidak disangkutpautkan, seperti sikap yang diambil Universitas Gadjah Mada dan Universitas Sanata Dharma.
Sikap Kemenristekdikti terhadap demonstrasi mahasiswa sepekan terakhir, berbanding terbalik dengan sikap mereka terhadap maraknya kekerasan seksual di lingkungan kampus. Untuk urusan melindungi keamanan mahasiswa, Kemenristekdikti malah melempem.
Ketika UGM dirundung kekerasan seksual yang terungkap dalam skandal Agni pada 2017, Kemenristekdikti memilih berpangku tangan dan menyerahkan sepenuhnya kewenangan hukum kepada rektor.
Komisi X DPR pernah mendesak kementerian tersebut agar membuat peraturan khusus atas maraknya kekerasan seksual di kampus. Lagi-lagi Kemenristekdikti bergeming. Sejauh ini baik dari pihak kampus maupun kementerian tak memiliki sistem yang mengatur pelaporan terhadap kekerasan seksual.
Korban kekerasan cuma punya pilihan untuk lapor polisi (yang hampir pasti diskriminatif terhadap korban perempuan) atau diam memendam lukanya. Kemenristekdikti seolah justru lepas dari pertanggungjawaban terhadap kekerasan seksual dan pelecehan di lingkungan kampus, dan berlindung di balik dalih jargon otonomi kampus.
VICE pernah berkolaborasi dengan The Jakarta Post dan Tirto.id dalam liputan kolaboratif Nama Baik Kampus membongkar berbagai skandal pelecehan seksual di kampus—termasuk yang melibatkan relasi kuasa timpang antara dosen dengan mahasiwa.
Dari hasil yang terekam dari kolaborasi tadi, setidaknya 79 kampus di 29 kota punya rekam jejak kelam. Sebanyak 179 penyintas mengaku jadi korban kekerasan seksual di lingkungan kampus, mayoritas tanpa ada kejelasan kasusnya bisa berlanjut ke ranah pidana. Angka tersebut seharusnya membuat Mohammad Nasir tak bisa terpejam di malam hari.
Jadi sebaiknya Menristekdikti ikut mendukung RUU Perlindungan Kekerasan Seksual agar segera disahkan, jika dia malas mereformasi kementeriannya. Sebab gerakan mahasiswa tak bisa dikalahkan hanya dengan ancaman sanksi belaka.