Satu dekade belakangan, media massa internasional berulang kali mengabarkan kebijakan Partai Komunis Tiongkok (PKC) mendiskriminasi etnis minoritas muslim Uighur. Sejak 2017, diperkirakan 1 juta warga muslim di Provinsi Xinjiang itu ditangkap dan ditahan dalam “kamp pendidikan khusus” yang lebih mirip penjara. Tak semua penganut agama Islam di Tiongkok diperlakukan seperti itu. Uighur didiskriminasi karena secara fisik tak seperti etnis mayoritas Han (mereka lebih mirip orang Turki), dan selalu dituduh hendak memberontak.
Banyak pendukung Tiongkok menilai berita-berita itu “propaganda Barat”. Untuk menepis tuduhan itu, jurnalis harus datang dan melihat langsung kondisi warga Uighur. Meliput langsung kondisi etnis Uighur di Xinjiang, barat laut Tiongkok, bukan perkara mudah. Wartawan selalu diikuti pihak berwenang, dilarang mengunjungi tempat-tempat tertentu, bahkan tak boleh berbicara dengan penduduk setempat.
Videos by VICE
Oleh karena itu, staf VICE NEWS menyamar sebagai turis. Kami memasang kamera tersembunyi agar tidak ketahuan aparat. Kami melakukannya dua kali.
Tim VICE menyaksikan dari dekat betapa pemerintah Tiongkok rutin memata-matai penduduk Uighur melalui sistem pengawasan berteknologi canggih. Polisi biasa menangkap lelaki atau perempuan dewasa Uighur yang dicurigai tengah malam tanpa alasan. Rasanya seperti berada dalam gambaran dunia George Orwell yang menulis novel distopia 1984.
Aspek paling meresahkan dari kebijakan keras Tiongkok adalah banyaknya anak-anak terpisah dari keluarga. Mereka lantas diasuh oleh negara—seakan-akan mereka sudah yatim piatu. Mereka tidak diperbolehkan berbicara menggunakan bahasa daerah dan dididik untuk cinta pada Tiongkok.
Tak hanya itu, bocah-bocah prasekolah itu juga dicuci otak dengan propaganda PKC. Tujuannya sangat jelas. Pihak berkuasa ingin memusnahkan ajaran agama, budaya, dan identitas etnis kelompok minoritas tersebut. Hasil akhirnya, generasi baru Uighur akan sepenuhnya mendukung Partai Komunis.
Tonton dokumenter VICE tersebut lewat tautan di awal artikel.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE News