Adam Hooper memiliki anak di berbagai negara, secara harfiah. Anak biologisnya tersebar di Australia, Malaysia, Singapura, Swedia, hingga Selandia Baru. Untuk negara yang disebut paling akhir, pada awal Agustus 2022 Hooper sedang menjalankan tur untuk menyebar benihnya pada perempuan setempat yang bersedia. Hooper adalah salah satu tokoh gerakan donor sperma unik yang belakangan marak di media sosial.
Hooper, lelaki 36 tahun asal Australia itu, telah menjalankan lebih dari 50-an tur donor sperma di berbagai negara, semuanya tanpa melalui lembaga resmi. Secara total, donor sperma “indie” yang dia lakukan telah melahirkan lebih dari 20 anak.
Videos by VICE
“Untuk tur di Selandia Baru, target saya adalah melakukan donor sperma berurutan dari Hobbiton, lanjut ke Ibu kota Wellington, kemudian terus sampai ke kawasan ujung selatan,” ujar Hooper saat dihubungi VICE World News. “Tentu saja, saya sangat berhati-hati, jangan sampai melakukan donor sperma terlalu banyak di satu area saja.”
Hooper mengaku ingin lebih banyak lelaki mengikuti jejaknya, menjadi pendonor sperma swadaya. Itu sebabnya dia tak keberatan disorot media, bahkan di sela-sela tur, dia menerima undangan jadi pembicara seminar. Jadwal Hooper cukup padat. Pada November 2022, dia sudah ada jadwal melakukan tur donor sperma ke Mauritius. Tahun depan, dia ganti akan menjadi donor sperma bagi para perempuan di Prancis dan Britania Raya.
“Saya biasanya fokus hanya ke dua atau tiga negara per tahun. Di setiap lokasi, saya akan menyebarkan pemahaman mengenai manfaat donor sperma independen,” urai Hooper. “Gerakan yang coba saya bangun ini sebagian besar mengandalkan informasi dari mulut ke mulut.”
Hooper merupakan pendiri Sperm Donation World: sebuah komunitas donor sperma yang sepenuhnya lahir dari obrolan di medsos, khususnya grup Facebook. Gerakan ini lahir karena proses pendaftaran inseminasi buatan yang diatur secara resmi seringkali rumit. Kadang antrean untuk mendapat donor sperma juga terlalu panjang di beberapa negara. Alhasil, sebagian ortu yang kesulitan punya anak ingin ada metode donor yang tidak ribet, mengandalkan donasi perorangan.
Hooper mengaku tujuan utama gerakan ini adalah murni saling bantu. Dia merasa punya sperma yang sehat. Sementara di luar sana, ada para ortu yang merindukan punya anak tapi sulit mencari donor. Forum yang dia buat menjadi semacam lokasi awal diskusi sebelum akhirnya pendonor dan calon penerima sperma melakukan COD. Sejak grup Facebook-nya dibuat pada 2015, forum ini sekarang memiliki cabang di berbagai negara seperti Ghana, Nepal, UK, Amerika Serikat, hingga Filipina. Total anggotanya lebih dari 15.000 orang.
Tentu saja, metode donor sperma DIY seperti yang dicanangkan Hooper memicu kontroversi. Sebab, proses donor spermanya tidak diawasi oleh otoritas kesehatan masing-masing negara. Risiko penyebaran penyakit kelamin, potensi inses, ekploitasi, hingga penipuan cukup tinggi.
Pelaku donor sperma indie macam ini sudah tersandung kasus hukum. Kyle Gordy, warga negara Amerika Serikat, ditahan imigrasi bandara internasional Fiji ketika hendak melakukan tur donor sperma pada 27 Juli lalu.
Gordy, mengaku sudah berhasil membantu para perempuan melahirkan 47 anak di berbagai negara, akhirnya dideportasi. Aparat Fiji menganggap tindakannya hendak melakukan donor visa bertentangan dengan izin kedatangannya yang mengaku untuk wisata.
Hooper hanya tertawa saat saya menanyakan responsnya atas kasus deportasi yang menimpa Gordy, sesama aktivis gerilya donor sperma. “Saya tentu saja pernah nyaris kena masalah dengan imigrasi negara-negara yang saya datangi. Tapi saya sih cerdik ya. Saya selalu menghindari sorotan dan memalsukan tanggal kedatangan. Gordy terlalu polos, dia datang ke negara tertentu sesuai pengumuman di medsos, jadilah dia ditunggu sama imigrasi,” ujar Hooper.
Donasi sperma tanpa regulasi macam ini semakin marak di berbagai belahan dunia, khususnya negara-negara Barat. Popularitasnya terutama dipicu oleh diskusi forum-forum Facebook. Karena tidak diregulasi ketat, biaya untuk mencoba hamil dengan bantuan donor perorangan macam Hooper atau Gordy tidak semahal jika pasangan yang mandul mengikuti program resmi di klinik kesuburan. Faktor antrean, sekali lagi, juga menjadi penyebab utama banyak perempuan memilih jalur gerilya macam ini supaya bisa punya anak.
Hooper atau Gordy sering disebut “donor super”, karena setelah berkali-kali menghibahkan spermanya, hasilnya tokcer jadi anak. Sosok macam mereka kemudian sering diundang datang ke berbagai negara, melakukan tur inseminasi buatan. Di satu sisi, ‘persaudaran pendonor sperma’ ini memang membantu ribuan pasangan untuk memiliki buah hati.
Tapi, risiko jelas mengancam karena para pendonor ini tidak memiliki latar belakang medis, serta bisa jadi sebagian kecil berniat menipu pasangan calon ortu yang desperate. Metode donornya pun dipertanyakan. Ada pelaku donor DIY macam ini yang membantu perempuan perempuan hamil dengan cara senggama, bukan sekadar inseminasi lewat tabung, sehingga memicu risiko kekerasan seksual.
Selain itu, pendonor sperma lewat metode gerilya ini bisa memicu efek negatif lain. Misalnya: persebaran genetik yang sama di lokasi yang terlalu berdekatan. Andai anak-anak hasil donor ini andai kelak menikah, bisa seakan menjadi pelaku inses tanpa disadari.
Stephen Robinson, guru besar kesehatan reproduksi dari Australian National University mengaku waswas melihat semakin membesarnya gerakan donor sukarela yang difasilitasi medsos macam ini. “Donor independen bukan hal baru. Tapi pendonor sampai keliling dunia untuk berbagi sperma ini belum pernah terjadi sebelumnya,” ujarnya saat dihubungi VICE World News. “Semua pihak harus berhati-hati jika tranksasi donor sperma ini terus berlangsung lintas negara difasilitasi medsos.”
Hooper sendiri mengaku benci pada industri kesuburan masa kini, yang terlalu berorientasi pada uang. Mereka, menurutnya, tidak benar-benar ingin membantu para ortu yang berkeinginan memiliki keturunan. “Pelaku industri kesuburan lebih mirip penjual mobil bekas. Mereka hanya ingin uang dari para ortu, tanpa memikirkan apakah programnya bakal berhasil,” demikian tuding Hooper.
Biaya total memiliki anak dengan metode pembuahan vitro (IVF) yang populer di pasar AS atau Australia bisa mencapai US$14 ribu (setara Rp207 juta). Sementara satu kali injeksi inseminasi buatan ongkosnya rata-rata US$650 (setara Rp9,6 juta). Jasa Hooper alhasil jadi amat menggiurkan. Dia hanya minta diberi ganti ongkos transportasi dan akomodasi ke negara atau kota tujuan. Spermanya sendiri dia gratiskan.
“Saya sudah cukup puas bisa membantu para pasangan itu,” ujarnya. “Saya puas karena bisa mengubah dunia dengan cara yang unik.”
Saat ini anak tertua yang lahir dari sperma Hooper berusia enam tahun. Dia mengaku tidak ingin tahu lebih banyak soal perkembangan si anak dan menyarankan ortuny tidak usah bercerita soal donasinya kelak si bocah jadi dewasa. Meski sudah punya lebih dari 20 anak, Hooper ternyata bukan pendonor yang anaknya terbanyak. Ada pendonor serial lain yang anak mencapai lebih dari 100, di antaranya Ari Nagel, Clive Jones, dan warga AS bernama samaran Joe Donor (turut diwawancarai untuk artikel ini tapi menolak dikutip).
Robinson menyarankan agar grup-grup donor sperma independen ini bersedia diawasi oleh tenaga medis. Sebab, risiko-risiko yang menghantuinya cukup nyata. “Perempuan yang membutuhkan atau menghubungi layanan macam ini tentu dalam keadaan rentan. Mereka sangat mudah dimanipulasi,” ujar Robinson.
Hooper menampik bila gerakan donor sperma independen yang dia usung berdampak buruk. Dia mengklaim selama ini anggota grupnya belum pernah tersandung masalah, baik pendonor maupun keluarga penerima sperma. “Selama hampir delapan tahun nyatanya kami tidak pernah mendapat laporan upaya pemerkosaan, penularan penyakit seksual, atau penipuan. Jadi saya pikir, grup ini cukup berhasil menjalankan fungsinya,” klaim Hoooper.
Robinson mengingatkan para calon ortu agar memikirkan masak-masak sebelum menghubungi pendonor sperma independen. Aparat Australia sempat mencatat laporan kasus kekerasan seksual yang dilakukan donor sperma tanpa lisensi resmi. Penyebabnya adalah karena si donor memaksa perempuan penerima sperma untuk berhubungan badan, padahal perjanjian awalnya cuma lewat sampel sperma saja.
“Saya paham bila sebagian orang merasa biaya bayi tabung atau inseminasi buatan terlalu mahal, sehingga tergiur dengan layanan tanpa regulasi macam ini,” ujar Robinson. “Tapi, pada akhirnya, setiap calon orang tua perlu mengingat satu hal. Kesehatan dan keamanan kita yang paling utama. Sebab memiliki anak merupakan salah satu keputusan terpenting yang dibuat manusia dalam hidupnya.”
Follow Gavin Butler di Twitter.