Mulai Selasa kemarin (10/11), Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat membahas RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol, salah satu dari 37 daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020. Tiga fraksi menjadi pengusulnya, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Gerindra. Aslinya, RUU ini sudah diusulkan PPP sejak 2012, tapi pembahasannya enggak kunjung kelar karena selalu mendapat protes dari sana-sini.
Masih seperti keterangan mereka dulu-dulu, fraksi PPP percaya Indonesia memerlukan larangan alkohol demi menciptakan ketertiban dan ketenteraman masyarakat. “Serta menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya minuman beralkohol. Selain itu untuk menciptakan ketertiban dan ketenteraman di masyarakat dari para peminum alkohol. Pendapatan dari minuman beralkohol itu tidak sebanding dengan risikonya,” kata anggota Baleg DPR RI Fraksi PPP Illiza Sa’aduddin Djamal dalam rapat kemarin.
Videos by VICE
“Aturan minuman beralkohol hanya diatur dalam peraturan menteri perdagangan di mana dalam hierarki peraturan perundang-undangan di bawah UU dan tidak mengatur sanksi,” imbuh Djamal.
Larangan penuh atas miras serta sanksi berat bagi pelanggar diduga jadi motif ketiga fraksi tetap ingin UU spesifik tentang larangan miras diadakan. Selama ini minuman beralkohol hanya “dikendalikan” oleh Perpres 74/2013, KUHP, dan sejumlah peraturan daerah (perda). Khusus soal perda, anggota DPR 2014 silam sih memosisikannya sebagai alat pengecualian. Jadi alkohol tetap dilarang UU, tapi kalau daerah mau bikin berbagai perkecualian, silakan aja.
Menurut bocoran sementara draf terbaru, RUU Larangan Minuman Beralkohol akan melarang semua pemeluk agama bersentuhan dengan segala jenis miras. Berikut detailnya:
- Setiap orang yang memeluk agama Islam dan agama lainnya dilarang untuk memproduksi, memasukkan, menyimpan, mengedarkan, dan/atau menjual, dan mengkonsumsi minuman beralkohol golongan A, B, C, minuman beralkohol tradisional, dan minuman beralkohol campuran atau racikan memabukkan.
- Setiap orang yang menggunakan, membeli, dan/atau mengkonsumsi minuman beralkohol golongan A, B, C, minuman beralkohol tradisional, dan minuman beralkohol campuran atau racikan memabukkan untuk kepentingan terbatas harus berusia minimal 21 tahun dan wajib menunjukkan kartu identitas pada saat membeli di tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan.
Trivia sedikit, dua poin di atas terpantau berbeda dari draf lama yang enggak bawa-bawa agama. Di naskah sebelumnya, diksi yang digunakan adalah “Setiap orang dilarang….”
Sudah 2020, dan anggota parlemen masih nyebut agama selain Islam sebagai “agama lainnya” itu hitungannya parah sih.
Belum ada informasi bagaimana sanksi di RUU terbaru ini. Namun tampaknya teta[ akan segarang draf lama yang memberi ancaman hukuman sangat tinggi dibanding KUHP. Selama ini KUHP hanya melarang tiga hal terkait miras, yakni Pasal 537 tentang larangan menjual miras kepada tentara dengan pangkat di bawah letnan, Pasal 538 tentang larangan menjual miras kepada anak-anak, dan Pasal 539 tentang larangan membagikan miras secara gratis di pesta untuk umum.
Bila melanggar, hukuman pidana penjara yang menanti antara 12 hari sampai tiga minggu. Sedangkan di draf lama RUU ini, hukuman penjara berkisar dari tiga bulan sampai sepuluh tahun, serta denda mulai dari Rp10 juta sampai Rp1 miliar
Begitu pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol dimulai, kritik langsung berdatangan, termasuk dari sesama anggota DPR RI. Anggota Baleg dari Fraksi Golkar Firman Soebagyo mempertanyakan apakah RUU ini dibutuhkan secara mendesak. Sedangkan anggota Baleg dari Fraksi PAN Guspardi Gaus menyoroti data yang digunakan sebagai landasan pembentukan RUU kok berasal dari penelitian enam tahun lalu (2014) alias jadul banget, Bos.
Semprotan anggota Baleg DPR RI PDIP Sturman Panjaitan malah lebih pedes. “Lebih banyak yang meninggal di jalan raya, masak iya kita berhentikan kendaraan? Kan enggak gitu,” kata Sturman. Sedangkan 2015 lalu, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama sempet bilang pelarangan minuman keras bisa bikin pasar gelapnya merajalela.
Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahardiansyah turut mengkritik draf RUU Larangan Minuman Beralkohol. Alasan doi, pertama, tidak ada kebutuhan mendesak buat bikin UU kayak gini, sebab udah diakomodasi KUHP.
Kedua, sejumlah daerah di Indonesia menggunakan minuman beralkohol dalam ritual adat sehingga berpotensi mengancam keberlangsungannya. Ketiga, RUU ini akan berpengaruh pada kedatangan wisatawan mancanegara.
Pada Juni 2020, RUU alkohol ini sudah sempat ditertawakan netizen, karena naskah akademiknya (buatan 2014) mengutip Wikipedia, blog pribadi, website bernama Indohalal.com.
Andai DPR memilih serius membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, pasti pujian yang datang. Tapi anggota legislatif kita tampaknya lebih suka membahas beleid kontroversial yang rentan memicu penolakan masyarakat.