Permenkumham 10/2020 tentang syarat pemberian asimilasi dan hak integrasi bagi narapidana (napi) dalam rangka pencegahan corona ditengarai justru dimanfaatkan sejumlah petugas lapas untuk melakukan pungutan liar. Sejumlah napi di beberapa wilayah menyebut jumlah uang yang mereka bayar agar kebagian jatah program ini. Selain gratis, seharusnya program ini cuma untuk napi yang sudah menjalani 2/3 masa tahanan.
“Kalau enggak bayar enggak bakalan keluar lah. Istilahnya ini tiket, harganya lumayan. Kalau uangnya sudah masuk [dibayar ke oknum], baru kita dipanggil untuk proses pembebasan,” kata A, napi Lapas Kelas I Cipinang, Jakarta Timur saat diwawancarai Viva News.
Videos by VICE
Kronologi pembebasan gaya pungli terkesan sistematis. Napi yang masuk kriteria program diminta mencari napi lain yang berminat bebas juga. Setelah punya teman, napi mendaftar program sembari menyetor uang ke salah satu napi yang dikasih tanggung jawab oleh oknum sipir penjara. Dari situ, baru napi dipanggil satu per satu.
“Awalnya minta Rp7 juta, cuma karena saya sanggupnya Rp5 juta akhirnya dikasih juga. [Saya memilih bayar karena] kalau di dalam itu paling tidak kita menyediakan uang Rp500 ribu per bulan untuk makan, minum, sama rokok doang. Jadi, lebih baik saya bayar,” kata S, napi Lapas Cipinang lain yang turut bersaksi.
Kalapas Cipinang Hendra Eka Putra membantah tuduhan tersebut. Dia yakin penyelewengan ini tak terjadi di lapasnya karena mustahil dilakukan. Alasan Hendra, siapa saja napi yang berhak asimilasi sudah ditentukan bank data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) yang dijadikan acuan pengelola lapas. Selain itu, ada pengumuman sejak awal bila asimilasi ini gratis, yang dipasang di ruangan-ruangan dalam lapas.
“Kalau dia mau bayar, itu kan bodoh dia. Kenapa mau bayar? Semua gratis tanpa bayar, Kemenkumham umumkan itu gratis,” kata Hendra saat dikonfirmasi Republika.
Seorang napi kasus narkoba berinisial R di Lapas Lampung juga mengaku diminta membayar Rp10 juta agar bisa ikut asimilasi. “Kemarin waktu ikut program asimilasi, bayar Rp10 juta. Ya mau gimana lagi, saya pengin keluar. Didata dengan setorin nama. Saat didata ini sambil dibilangin buat nyiapin uang Rp5 juta sampai Rp10 juta,” ungkap R kepada Law Justice.
Setelah didata, R dan napi lain dipanggil oleh sipir untuk memberi uang karena permintaan asimilasi R sudah di- acc dari Jakarta. “Sebagian uang itu saya pinjam ke rentenir. Mau enggak mau, karena saya kloter pertama [jadi lebih mahal]. Kalau kloter kedua kena Rp5 juta.”
Pengakuan R dibantah Kemenkumham Kanwil Lampung. “Terkait ada pemberitaan pungutan, sebetulnya sampai hari ini, selaku ketua tim investigasinya penyelidikan terkait ada tidaknya pungutan di lapas atau rutan, kami tidak menemukannya, dan memang itu tidak terbukti,” kata Kepala Divisi Pemasyarakatan Kanwil Kemenkumham Lampung Edi Kurniadi kepada Republika. Edi mengatakan kalau sampai ketahuan, ia akan menindak tegas sipir yang terbukti melakukan pungli.
Pelaksana Tugas Dirjen PAS, Nugroho, sudah menerima laporan ada napi yang diminta membayar untuk bebas. Pihaknya lantas membentuk tim khusus yang telah diterjunkan di sejumlah Kanwil Kemenkumham untuk memeriksa kasus ini.
Dalam pernyataan terpisah, Menkumham Yasonna Laoly berjanji menindak serius petugas yang melakukan pungli, jika investigasi bawahannya terbukti. “Instruksi saya jelas. Terbukti pungli saya pecat,” ujarnya lewat keterangan tertulis, Kamis (16/4). Politikus PDI Perjuangan ini juga mempersilakan masyarakat mengirim bukti atau informasi pungli oleh petugas lapas lewat media sosial. “Supaya mudah, silakan sampaikan lewat pesan di Instagram dan Facebook fan page saya.”
Analis politik dan kebijakan publik Universitas Islam Syech Yusuf Tangerang Miftahul Adib menilai kebijakan asimilasi di tengah wabah sejak semula sudah bermasalah. Misalnya logika melepaskan napi agar tak kena wabah, padahal virus justru merajalela di luar lapas. Indonesia Police Watch mewanti-wanti, kriminalitas yang sudah meningkat dua minggu terakhir akan semakin sering dengan dibebaskannya para napi. Realitasnya, dari 36 ribu narapidana yang bebas lebih cepat selama pandemi corona, hingga 16 April sebanyak 12 orang kembali dijebloskan ke penjara lantaran berulah lagi.
“Saya kira KPK dan pihak kepolisian perlu mengusut proses terbitnya Permenkumham ini. Jangan sampai ada agenda terselubung dalam kebijakan ini yang kemudian menguntungkan pihak tertentu,” kata Adib kepada RMOL.